0
Halal bi Halal dan Transformasi Sosial
Ramadhan
tahun ini telah berlalu, segudang cerita dan kisah yang mewarnai
perjalanan sebulan penuh menjalankan ibadah shiam merupakan memori yang akan
senantiasa mengawal kualitas dan kuantitas amaliah serta ibadah kita, paling
tidak untuk mengkondisikan suasana ramadhan sebagai motivasi untuk menjaga
konsistensi beribadah dan beramal shaleh, berakhirnya ramadhan bukan berarti
berakhir pula ritus peribadatan yang penuh hikmad, karena ramadhan layaknya
madrasah ruhaniah yang bersifat periodik yang salah satu hikmah terbesarnya
adalah untuk mendidik jiwa dan menempa fisik agar senantiasa tunduk pada
perintah sang Empunya yakni Allah SWT.
Ramadhan
berlalu syawal pun menjemput, berbagai agenda perayaan untuk menyemarakkan hari
raya idul fitri digelar, mulai dari agenda mengunjungi sanak famili, kerabat
dan para sahabat untuk meremajakan jalinan silaturrahim serta saling
maaf-memaafkan atas kesalahan dan dosa-dosa yang pernah diperbuat.
Tradisi
Nusantara
Idul
fitri yang oleh masyarakat Indonesia juga menyebutnya sebagai lebaran,
merupakan sebuah momentum suci dimana manusia kembali kepada fitrah (asal
kejadian) yang berarti kembali kepada kesucian, sebagaimana doa yang senantiasa
dipanjatkan pada hari raya umat islam tersebut, taqabbalallahu minna wa minkum,
shiamana wa shiamakum (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadah kalian,
serta puasa kami dan puasa kalian) dan minal aidzin wal faidzin
(Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali suci dan memperoleh kemenangan)
yang oleh sebagian orang mengartikannya dengan mohon maaf lahir dan batin, hal
ini karena Idul fitri oleh masyarakat Indonesia identik dengan moment saling
maaf-memaafkan, namun hal itu menjadi wajar mengingat akses pengetahuan
tentang berbagai istilah-istilah keislaman sangat terbatas, sehingga masyarakat
hanya menafsirkan secara menduga-duga, apa lagi didukung oleh suasana
berlebaran masyarakat yang telah mentradisi.
Pasca
idul fitri masyarakat Indonesia akan akrab dengan term halal bi halal, ketika
hendak merujuk ke berbagai sumber kesejarahan Islam, halal bi halal
walaupun diambil dari kata bahasa Arab namun secara umum istilah tersebut tidak
populer bahkan kurang dikenal dikalangan masyarakat Arab sendiri, lagi pula
tradisi ini sama sekali tidak ditemukan baik pada masa Rasulullah maupun masa
setelahnya, meskipun tradisi silaturrahim dengan saling kunjung-mengunjungi
pasca idul fitri juga dilakukan oleh seluruh masyarakat islam di berbagai
negara, namun acara tahunan ini memang menjadi salah satu tradisi keislaman
asli dari Indonesia, sebagian pendapat mengatakan bahwa tradisi halal bi halal
merupakan akulturasi dari ajaran islam dengan budaya jawa. Kapan dan dimana
kegiatan ini pertama kali diselenggarakan tak ada yang tahu pasti, namun
beberapa sumber mengatakan yang pertama kali mengadakan halal bi halal adalah
KGPAA Mangkunegara I dari Keraton Surakarta (lahir 8 April 1725) atau lebih
dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, dengan tujuan untuk mengefisienkan waktu
dan tenaga serta menghemat biaya dari pada harus melakukan kunjungan
silaturrahim ke berbagai tempat dengan menguras waktu, tenaga dan biaya maka
setelah shalat Idul Fitri diadakalah semacam pertemuan antara raja dengan
berbagai unsur pejabat dan prajurit kerajaan serta handai taulan. Maka secara
tertib para punggawa dan prajurit kerajaan melakukan sungkem kepada Pangeran
dan permaisuri.
Dalam
perkembangannya acara ini pun menjadi tradisi yang tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat jawa namun juga oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dari
berbagai kalangan masyarakat hingga menjadi agenda rutin tahunan di
instansi-instansi pemerintahan, bahkan juga diselenggarakan oleh masyarakat
negeri jiran Malaisya yang merupakan saudara serumpun.
Dimensi
Sosial
Secara
leksikal halal bi halal berarti boleh dengan boleh, namun karena kata halal
sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia maka bolehlah kita mengartikannya halal
dengan halal, menurut AG.H Sanusi Baco Lc : Halal bi halal berarti bertemunya
dua Insan dalam keadaan saling merelakan untuk saling memaafkan terhadap
berbagai kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat satu sama lain baik
lahir maupun batin, jadi bukan termasuk halal bi halal ketika ada di antara
kaum muslim/muslimah yang secara lisan mengaku telah maaf–memaafkan namun di
hatinya masih terdapat karang benci atau kedengkian yang mengganjal, namun
malah yang terjadi adalah halal bi haram bahkan lebih parah adalah haram bi
haram, karena tidak adanya totalitas untuk secara ikhlas saling memaafkan satu
dengan yang lain.
Kreasi
budaya sperti halal bi halal, merupakan satu kekayaan lokal yang semestinya
tidak hanya sebatas acara seremonial tahunan pasca idul fitri yang kadang masih
cenderung elitis, namun juga seharusnya menjadi satu media penyadaran tentang
pentingnya hablu min annas (hubungan sesama manusia) baik oleh sesama
masyarakat lebih-lebih pemimpin dengan masyarakatnya. Halal bi halal mengandung
dimensi sosial yang sarat dengan nilai-nilai egaliter, dimana masing-masing
orang berkewajiban meruntuhkan ego dirinya untuk tulus meminta maaf dan
memaafkan orang lain. Spirit halal bi halal tidak hanya terbatas pada hubungan
antar personal, tetapi lebih jauh sebagai sarana dan momentum berbenah bagi
para pemegang dan pengawas kebijakan negeri ini untuk memperbaiki hubungan satu
sama lain, dalam rangka mengurai simpul-simpul sosial-ekonomi-politik yang
kusut akibat tata kelola pemerintahan yang hanya bersifat prosedural, agenda
tahunan yang juga diselenggarakan di berbagai lembaga dan instansi ini, juga
selayaknya menjadi ajang memperbaiki dan mencairkan hubungan antar elit partai
di musim pilkada dan pilgub yang tentunya menimbulkan ketegangan dan sentimen
politik antar parpol, sebagai bentuk kedewasaan berpolitik yang akan menjadi
mir’ah (cermin) bagi masyarakat.
Halal
bi halal memang cenderung dikhususkan seusai idul fitri, namun
nilai-nilai dan spirit yang terkandung di dalamnya tidak bersifat
lokal-temporal, dan juga dapat menjadi sebuah momentum positif terjadinya
transformasi sosial ditengah maraknya konflik sosial-komunal yang terjadi di
masyarakat yang merupakan indikasi dari error of human relationship, meskipun
masih menjadi ladang perdebatan dikalangan umat Islam namun lebih memakni halal
bi halal sebagai salah satu kekayaan khazanah budaya bangsa akan menempatkannya
pada proporsi yang semestinya, karena Islam adalah agama yang sarat dengan
nilai-nilai sosial-kemasyarakatan tidak terbatas pada urusan kedekatan
relasional dengan Sang Khalik.
Dimuat
di harian Tribun-timur edisi Jumat 24 Agustus 2012
Dan
harian Fajar edisi Selasa 28 agustus 2012
Post a Comment