0

Potret Rivalitas Pemilukada Sulsel

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:17 AM in
Pemilukada Sulawesi-Selatan masih menghitung bulan, proses pendaftaran kandidatpun baru selesai beberapa hari yang lalu, namun tensi politik sudah sangat terasa, media kampanye seperti spanduk dan baliho juga telah tampak membanjiri setiap sudut tempat-tempat strategis di berbagai daerah, berbagai agenda sosialpun mulai gencar dilakukan oleh para kubu calon yang akan meramaikan kontestasi memperebutkan kursi gubernur, dari beberapa pasang calon yang santer diberitakan, pasangan cagub-cawagub Sahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang dan Ilham Arif Sirajuddin-Abdul Aziz Kahar Muzakkar menjadi kandidat pasangan calon yang diprediksi akan bersaing ketat, mengingat dua calon gubernur dari pasangan tersebut merupakan tokoh sentral Sulawesi-selatan, Sahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur Sul-sel dan Ilham Arif Sirajuddin sebagai Walikota Makassar (Ibu kota provinsi Sul-sel), apa lagi kedua paket pasangan calon tersebut diusung oleh dua partai besar dan penguasa, Demokrat di kubu Ilham-Aziz dan Golkar di kubu Sahrul-Agus.

Pemilukada kali ini akan menjadi ajang adu gengsi antara dua tokoh yang juga merupakan pejabat publik yang dikenal luas di masyarakat, dengan mengandalkan jualan politik masing-masing, selain tentunya juga akan menjadi ajang unjuk kekuatan masing-masing partai pengusung yang notabene merupakan partai besar untuk skop sulawesi-selatan, berbagai diskusi dan debat publik yang ramai diadakan hingga kasus pembakaran posko pemenangan dan pengrusakan atribut kandidat yang dilakukan oleh oknum tak dikenal, merupakan sinyalemen tingginya tensi politik, sentimen kepentingan politik memang merupakan satu diantara banyak faktor pendorong terjadinya aksi kriminalitas menjelang pemilukada yang banyak ditunggangi oleh oknum-oknum yang bersaing untuk merebut ruang dengan menggunakan politik konspirasi, disamping politik transaksi sebagai koridor penarik simpati masyarakat secara tidak fair

Elektabilitas Tokoh 

Berkaca pada pemilukada DKI Jakarta putaran pertama dan kedua yang berhasil dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok, merupakan satu potret dunia politik yang mulai mengalami dinamika positif, dengan gaya berpolitik yang sangat khas, Jokowi berhasil menarik simpati masyarakat Jakarta dengan perolehan suara yang cukup signifikan. Sebagai walikota Solo yang dikenal berprestasi Jokowi dengan gaya dan penampilan yang sederhana menjadikan pribadi dirinya nampak menyatu dengan masyarakat dan berusaha sedekat mungkin memahami persoalan-persoalan yang mereka hadapi, Jokowi berhasil menampilkan sosok ketokohan dirinya untuk meyakinkan masyarakat bahwa ia layak memimpin Ibu kota negara Indonesia tersebut.

Untuk konteks pemilukada Sulawesi-selatan sosok calon merupakan hal yang mulai menjadi perhatian dan tolak ukur masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya, mengingat peran partai politik sebagai mesin utama pendulang suara sedang mengalami kemandegan dalam menarik simpati masyarakat, nampaknya masyarakat sudah bosan dengan janji-janji utopis yang sering dilontarkan para elit partai, meskipun dalam banyak agenda kampanye partai politik merupakan penggerak utama untuk memobilisasi massa, namun otoritas pemilih di balik kotak suaralah yang akan menentukan hasil akhirnya (final risult). Partai sebagai wadah politik bersifat kelembagaan lebih merupakan lumbung dana bagi para politisi, dengan daya tawar yang menjanjikan beberapa partai besar menjadi lembaga investasi politik, utamanya dari kalangan pengusaha. Karena nuansa politik transaksional masih menjadi intrik pemilukada, maka wajar ketika politik uang (money politic) masih mewarnai berjalannya suksesi pemerintahan yang diklaim menggunakan sistem demokrasi. Politik pencitraan yang juga menjadi jurus andalan para politisi nampaknya masih menjadi mantra lama untuk meraup simpati masyarakat.

Salah satu sisi strategis dari pertarungan politik di pilgub kali ini adalah komposisi paket pasangan calon, Agus arifin nu’mang masih setia menjadi pasangan duet sang komandan (Sahrul), sementara Abdul aziz kahar muzakkar akan mendampingi sang walikota (Ilham) setelah pada pemilukada sebelumnya menjadi calon gubernur. Dari proporsionalitas ke dua pasang kandidat, dimensi ketokohan menjadi yang paling mencolok, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap elektabilitas keduanya, apalagi masing-masing tokoh memiliki basis dukungan yang real.

Popularitas tokoh memang sangat mempengaruhi tingkat elektabilitasnya, namun itu bukan satu-satunya dalil untuk secara terburu-buru menentukan pilihan politik di bilik suara, karena jangan sampai arus dan mainstream politik populer dengan peran aktif media adalah sebuah kongsi politik untuk memenangkan salah satu kandidat.

“Bunglonisme” Politisi

Dandanan politik seperti sikap peduli dan empati kepada masyarakat sangatlah semarak di hari-hari kampanye hingga menjelang berlangsungnya prosesi pemilihan, sehingga para kandidat akan berusaha menjadwalkan sepadat mungkin agenda-agenda sosial yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, terjun langsung ke lapak-lapak pedagang di pasar tradisional, menjalin komunikasi dengan para supir angkot, tukang becak dan masyarakat kecil lainnya dengan berbagai profesi akan menjadi pemandangan yang sangat mengharukan sekaligus menggelitik, mengharukan karena demi meraih grade popularitas untuk meningkatkan elektabilitas ketika pemilihan berlangsung para calon siap bersandiwara menjadi “pengemis” suara masyarakat untuk memilih dirinya. Dan sangat menggelitik karena ternyata para calon juga memiliki skill berakting yang tidak kalah saing dengan para selebriti, dari memperagakan ekspresi empati dan sedih hingga tersenyum dan tertawa bersama masyarakat yang merupakan target politik (political targets). Semua itu merupakan bentuk sandiwara politik para kandidat gubernur sebagai sebuah fenomena “bunglonisme” politisi. Dimana para kandidat gubernur dituntut untuk siap berperan ganda di berbagai situasi dan kondisi masyarakat. Selain sebagai produk politik yang bakal laris, skill adaptif (bunglonisme) para kandidat  juga terbukti lebih maksimal dan irit (economical) daripada sekedar hanya berkoar-koar di pangung-panggung politik dengan semangat memobilisasi massa. Hanya saja pemandangan seperti itu hanya ramai di musim-musim kampanye politik, setelahnya hal itu menjadi sangat langka, mungkin inilah bukti bahwa sikap empati dan simpati para politisi, hanya merupakan fenomena musiman jelang perhelatan politik.

Pemilihan Gubernur (pilgub) kali ini akan menjadi pertarungan politik yang akan sulit diprediksi bahkan cenderung unpredictable, melihat kekuatan dan peluang masing-masing kandidat, selain tentunya menjadi ajang pembuktian kuat atau kroposnya bangunan demokrasi di Sulawesi-selatan. Ketika dalam prosesi kampanye nantinya banyak melahirkan sikap pragmatisme politik seperti politik uang (money politik), maka proses demokratisasi di tengah-tengah masyarakat masih jauh panggang dari api, namun ketika yang dihasilkan adalah apatisme politik seperti fenomena Golput massal, berarti masyarakat tengah mengalami fase kejenuhan karena melihat realitas kepemimpinan yang sedang mengalami krisis dimensional.


Siapapun yang akan terpilih nantinya semoga murni lahir dari prosesi demokrasi yang sehat, sehingga juga akan melahirkan pemimpin yang sehat baik secara moral maupun sosial. Karena sebuah kemenangan politik yang dicapai melalui cara-cara yang jujur dan adil, juga menjadi kemenangan rakyat yang selanjutnya akan termanifestasikan dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat. 

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.