0

Sarjana dan AFTA

Posted by Fadhlan L Nasurung on 1:25 PM in


Beberapa minggu terakhir beberapa kampus besar swasta dan negeri di Makassar menggelar acara wisuda sarjana, ribuan mahasiswa memperoleh gelar kesarjanaan sesuai dengan jurusan/program study masing-masing. Menjadi sarjana merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi mereka yang telah menyelesaikan proses belajarnya di perguruan tinggi, kebanggaan dan kebahagiaan terutama menghampiri para orang tua yang dengan segala daya dan upaya berjuang untuk menyekolahkan anaknya hingga dapat meraih gelar yang dicita-citakan. Khususnya mereka yang hidup dengan kondisi ekonomi lemah, dapat membiayai pendidikan putra/putrinya hingga dapat menggunakan toga sarjana menjadi keberhasilan tersendiri yang tak bisa dihargai dengan angka-angka dan nominal materi, apa yang menjadi harapan mereka adalah agar putra/putrinya dapat menjadi generasi yang berguna bagi agama, bangsa dan negara dengan senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya.

Paradigma Kuliah

Pendidikan adalah panglima bagi pembangunan sumberdaya generasi muda bangsa, sekaligus menjadi sokoguru bagi kemajuan negara dan bangsa dalam berbagai bidang. Pendidikan tidak hanya soal pencapaian angka-angka kuantitatif tetapi lebih jauh dari itu bagaimana menciptakan generasi terbaik. Teringat salah satu pesan Pak Kalend Osen (salah seorang pendiri Kampung Bahasa Pare-Kediri) ketika penulis berkesempatan belajar di kota kecil itu, beliau berkata bahwa “pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga soal pembentukan karakter“. 

Seorang mahasiswa bukanlah mereka yang hanya menghabiskan waktu di dunia sempit bernama “bangku perkuliahan” dan terjebak dalam nalar ruang yang kerapkali membatasi cara pandang (paradigma), berjibaku dengan waktu untuk mengejar angka-angka indeks prestasi kumulatif (IPK) sesempurna mungkin, giat mengikuti perkuliahan, mengerjakan tugas, menghadiri seminar-seminar dan mengerjakan soal-soal ujian secara cermat kemudian tiba di garis finish dengan prestasi cumlaude, namun mahasiswa adalah mereka yang juga memiliki keyakinan yang kuat, moralitas yang baik, peka terhadap realitas dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya, bahkan sebisa mungkin terlibat dalam membela kepentingan masyarakat dan memperjuangkan hak-hak kaum marginal dan tertindas (mustadh’afin), inilah yang kemudian dalam istilah Ali Syariati disebut rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) atau dalam terminologi Antonio Gramsci sebagai  intelektual organik dan dalam bahasa Al-quran diistilahkan sebagai insan Ulul Albab, itulah tingkatan kualitas tertinggi bagi seorang manusia terdidik.

Ada sebuah adagium yang diberpegangi di dunia pesantren bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu adalah untuk amal, yang berarti bahwa pengetahuan harus senantiasa mampu berdialog dengan realitas, bahkan terdapat kondisi dimana pengetahuan harus mampu menjadi spirit dalam merubah realitas yang timpang dan tidak adil. Semua itu harus dimulai dan terus dipupuk serta dilatih sejak dari mahasiswa, karena keyakinan bahwa mahasiswa sejati bukanlah kaum reaksioner yang mengedepankan emosi dan kekuatan fisik dalam menyikapi persoalan, melainkan kaum terpelajar yang senantiasa bertindak atas nama kebenaran dengan rasionalitas dan nilai etis yang dijunjung, karena kaum reaksioner tak ubahnya seperti macan kertas, dalam masyarakat Makassar sikap seperti itu sering diistilahkan pa'bambangngang na tolo.

Dunia pendidikan kita tidak seharusnya mengajarkan peserta didik untuk bersekolah dengan tujuan bekerja, karena kerja bukanlah tujuan sekolah, bekerja adalah salah satu bagian kehidupan yang harus dijalani setiap manusia yang ingin tetap hidup, termasuk mereka yang tak pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun. Sekolah harus mengajarkan peserta didiknya untuk menjadi insan yang berkarakter, dengan karakter lokal, berkepribadian religius, berwawasan global serta berkemampuan profesional. Seorang sarjana yang merupakan manusia terpelajar harus memiliki tekad yang kuat untuk membangun masyarakat dan bangsanya, bagaimana caranya? Itu bergantung pada kualitas dan kapasitas ikhtiar masing-masing.

AFTA dan Latahnya Kita

Di akhir tahun 2015 Asean Free Trade Area (AFTA) atau yang juga dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan bergulir, keterbukaan interaksi ekonomi kawasan akan menyebabkan tsunami tenaga kerja dari berbagai negara di Asia tenggara, Indonesia sebagai salah satu market destination (tujuan pasar) terbesar di dunia tentunya akan menjadi negara yang paling merasakan dampak dari dibentuknya regionalisme ekonomi Asean, sejak dini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi tantangan tersebut, namun segala upaya tersebut rasa-rasanya akan berjalan timpang jika tidak dimulai dari sektor pendidikan yang memegang peranan paling vital.

Sistem pendidikan formal kita yang umumnya menitikberatkan pada kemampuan kognitif akan mengalami kemandulan menghadapi masyarakat ekonomi Asean, apalagi di era kemajuan teknologi dan open society (masyarakat terbuka) yang meniscayakan terbentuknya paradigma kerja yang mengedepankan kompentensi berbasis penguasaan teknologi informasi dan bahasa asing, justru yang paling merespon tuntutan tersebut adalah dunia pendidikan non-formal dalam bentuk lembaga-lembaga kursus. Sehingga wajar saja ketika lembaga-lembaga kursus information technology (IT) dan bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) semakin menjamur bak cendawan di musim penghujan, karena konsumen penyedia jasa layanan keterampilan tersebut kian membludak karena latah menghadapi persaingan bursa kerja yang akan semakin sulit dan ketat setelah AFTA resmi dimulai.

Tak sedikit sekolah dan kampus yang juga ikut latah mempersiapkan diri untuk menyambut terwujudnya masyarakat ekonomi Asean dengan mengadakan kerjasama-kerjasama untuk meningkatkan kemamapuan peserta didiknya dalam dua kemampuan dasar tersebut. Aneh ketika dunia pendidikan dibuat panik oleh akan digelarnya AFTA, itu menjadi salah satu isyarat bahwa kita memang masih saja memegang prinsip tiba masa tiba akal, kita (khususnya pemerintah) belum cukup pandai membaca gerak dan alur zaman, sehingga tak bisa mencanangkan program jangka panjang bagi negeri ini, dalam dunia pendidikan misalnya, setiap kali berganti periode kepemimpinan, maka berganti pula kurikulum pendidikannya. Belajar kepada negara tetangga kita Malaisya yang nampaknya jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri menghadapi era keterbukaan dan regionalisme dalam berbagai sektor. 

AFTA adalah tantangan terdekat bangsa ini dalam kurun beberapa bulan kedepan, semoga kita tak lagi di buat kalah di negeri sendiri. Produk-produk asing, dari kebudayaan hingga barang dan jasa telah memenuhi segala lini kehidupan sosial-ekonomi di negri ini, semoga kondisi itu tidak bertambah parah setelah dibukanya gerbang AFTA yang dampak negatifnya tentu secara signifikan akan dirasakan oleh mereka yang lemah secara pengetahuan, skill, mental dan finansial. 

Akhirnya selamat datang kepada para sarjana di dunia kerja, sambil menanti genderang AFTA ditabu direpublik tercinta.

|
0

Doa Untuk Gurutta'

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:08 AM in


Dalam sejarah penyebaran Islam, para Ulama memegang peran nomor wahid dalam proses transmisi dan tranformasi ajaran Islam dari generasi ke generasi dan dari satu tempat ke tempat lainnya, hingga kini Islam menjadi agama yang dianut oleh hampir seperempat dari jumlah manusia yang hidup di bumi dan tersebar dihampir seluruh pelosok jagad. Ajaran Islam disebarkan melalui berbagai cara dan metode, dari pendekatan politik kekuasaan hingga pendekatan kebudayaan. Penyebaran islam melalui otoritas politik dalam sejarah dilakukan oleh para penguasa muslim yang menjadi pemimpin dalam sebuah Negara (daulah) baik dengan cara perjanjian damai (arbitrase), maupun dengan cara penaklukkan wilayah, dengan senantiasa berusaha menghindari pemaksaan keyakinan kepada penganut agama lain diwilayah taklukan. Sedang penyebaran Islam melalui pendekatan kebudayaan dilakukan oleh para Ulama sufi yang senantiasa menempuh jalur dialog untuk mencari titik temu dengan agama dan keyakinan lokal masyarakat setempat yang berlangsung secara kultural dan gradual.

Ulama Ummat

Di Indonesia Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat, masyarakat Islam Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang social dan budaya dengan tingkat pendidikan berbeda-beda, tak mungkin seluruhnya dapat mengkaji dan mengambil produk hukum dari Al-Qur’an dan Hadist secara langsung, sehingga dibutuhkan peranan para Ulama yang diyakini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, hal itu direfleksikan melalui keluhuran ahlak dalam berinteraksi dengan masyarakat luas, tanpa memandang status sosial mereka. Untungnya di Indonesia terdapat banyak organisasi masyarakat (ormas) Islam yang senantiasa berkontribusi aktif dalam mendakwahkan, membangun dan menyebarkan pemahaman kepada Ummat tentang berbagai hal yang menyangkut ajaran Islam. Sebut saja Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Daru Da’wah wal Irsyad (DDI), Sarekat Islam, Wahdah Islamiyah dan banyak lainnya. Masing-masing ormas tersebut memiliki Ulama-ulama yang senantiasa menjadi rujukan dalam menggali pemahaman seputar ajaran Islam, baik yang berdimensi ukhrawi maupun duniawi. 

Ormas-ormas Islam tersebut memiliki perbedaan hanya dalam beberapa soal-soal furuiyyah (cabang-cabang ajaran agama) , namun tetap sama dalam soal ushuliyyah (prinsip ajaran agama), sehingga sering terjadi perdebatan-perdebatan tentang perkara-perkara yang diterima oleh ormas yang satu namun ditolak oleh ormas lainnya. Namun semua itu harus dipandang sebagai bagian dari dinamika pemahaman dan khazanah ajaran agama islam.

Beberapa Ulama dari ormas tersebut diikuti bukan saja oleh ummat Islam dalam komunitas organisasinya, tetapi juga oleh kalanagan ummat Islam secara luas, bahkan terdapat Ulama yang juga diterima dan dihormati oleh tokoh-tokoh agama lain, karena sikap moderasi dan toleransinya yang tinggi.

Ulama yang berasal dari terminologi bahasa arab berarti orang yang memiliki ketinggian ilmu yang berbeda dari kebanyakan mereka yang memiliki ilmu, istilah ini berbeda dengan ‘alim yang berarti orang yang berilmu sebagaimana manusia yang memiliki ilmu pada umumnya. Para Ulama memiliki maqam spiritual yang berbeda-beda, pada beberapa Ulama kharismatik seringkali dijumpai hal-hal istimewa yang diyakini sebagai tanda-tanda kewalian (karamah), kewalian menunjuk pada sebuah kualitas spiritual seorang Ulama yang akan senantiasa memancarkan kerahmatan dan keberkahan karena kedekatannya dengan Sang Khalik. Sehingga tak heran ketika masyarakat seringkali mendatangi Ulama-ulama kharismatik, baik dengan tujuan menuntut ilmu ataupun sekedar bersilaturrahim sebagai wasilah (media) untuk memperoleh keberkahan dari Allah swt. Harus difahami bahwa keulamaan bukanlah gelar yang disematkan kepada sesorang secara legal-formal, tetapi merupakan hasil konsensus masyarakat luas yang lahir dari kesadaran kolektif untuk memuliakan seseorang yang memiliki ketinggian, kedalaman dan keluasan ilmu yang kemudian mengabdikan diri untuk membimbing, mencerahkan dan mengayomi ummat.

AGH Sanusi Baco Lc

Anre Gurutta’ merupakan sebutan lain dari Syaikh (bahasa arab) atau kiyai (bahasa jawa), yang merupakan gelar keulamaan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Hal Ini menjadi isyarat bahwa proses penyebaran Islam di Sulawesi selatan umumnya berlangsung secara kultural, para Ulama senantiasa menggunakan istilah-istilah lokal yang akrab dengan  masyarakat dalam proses dakwahnya, inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai pribimusasi Islam, sehingga ajaran Islam mudah difahami dan diterima oleh masyarakat. 

Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum yang terletak di Kabupaten Maros, pesantren tersebut berdiri tahun 2001 dibawah pimpinan AGH Sanusi baco Lc. Gurutta’ sanusi (sapaan akrab beliau) merupakan Ulama kharismatik Sulsel yang dikenal dengan kelembutan sikap dan tutur katanya, beliau adalah ketua MUI Sulsel yang tak tergantikan sejak diberi amanah untuk menahkodai organisasi para Ulama ini, beliau juga sekaligus sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Sulsel. AGH. Sanusi Baco adalah satu diantara banyak tokoh Islam yang dapat diterima oleh ummat Islam secara luas dari berbagai kalangan dan golongan. Bahkan beliau juga memiliki hubungan yang baik dan penuh keakraban dengan banyak tokoh-tokoh lintas agama, ini menunjukkan kualitas keulamaan beliau yang benar-benar merefleksikan Islam yang rahmatan lil alamin.

Telah beberapa pekan AGH. Sanusi Baco dirawat di rumah sakit, beliau dirawat selama semingu lebih di rumah sakit Awal Bros Makassar, sebelum dirujuk ke rumah sakit Jantung Harapan Jakarta, dimana pada tahun 2009 beliau juga sempat mendapatkan perawatan disana. Pada jumat (5/12/2014) sempat beredar kabar melalui blackberry messenger (BBM) bahwa beliau telah wafat, namun kabar yang mengagetkan banyak kalangan tersebut ternyata hanyalah hoax yang bersumber entah dari siapa. Pasca beredarnya kabar tersebut penulis menyempatkan diri menjenguk beliau di ruang perawatannya, dalam perjumpaan yang sangat singkat itu,kondisi  beliau terlihat semakin membaik. Semoga beliau segera diberi kesembuhan untuk kembali hadir di tengah-tengah Ummat, apalagi di usia beliau yang kini telah menginjak 77 tahun, besar harapan agar beliau senantiasa diberi kesehatan dan usia yang panjang, mengingat Ummat masih sangat membutuhkan sosok Ulama seperti beliau, yang senantiasa mengajarakan ilmu sekaligus ketauladanan.

|
1

Selamat Hari Natal

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:53 AM in
Suasana berbeda di ruang-ruang publik seperti mall, hotel, restaurant dan cafe menjelang perayaan Natal dan Tahun baru, hiruk-pikuk lalu lintas barang dan jasa turut meramaikan hari raya ummat Kristiani tersebut, semarak perayaan Natal dan Tahun baru tidak saja dirasakan oleh penganut agama Kristen, penganut agama lainpun sepertinya sudah terbiasa dengan kemeriahan penyambutannya. Indonesia dengan keragaman agama dan budaya semakin mempertegas kemajemukannya mana kala perayaan hari besar agama-agama digelar, suasana hikmad penuh kehangatan terjalin di antara ummat beragama, tak jarang di hari-hari besar agama tersebut, ungkapan kebahagiaan tak hanya datang dari mereka yang merayakannya, bahkan mereka yang berbeda keyakinan turut mengucapkan selamat, baik melalui pesan digital, telepon, kartu nama, hingga ucapan secara langsung.

Penulis secara pribadi juga sering memberi ucapan selamat kepada kerabat dan sahabat yang sedang merayakan hari besar agama yang dianutnya, dan begitupun sebaliknya. Hal itu dimaksudkan sebagai media untuk semakin menjalin keakraban satu sama lain, tak sama sekali ada hubungannya dengan akidah apalagi sampai mempengaruhinya.

Setiap tahunnya tokoh-tokoh agama (khususnya Islam) tak pernah berhenti berdebat soal keharaman dan kebolehan memberikan ucapan selamat atas perayaan hari besar agama lain, entah sampai kapan perdebatan itu akan berakhir, atau hal itu memang akan terus menjadi siklus tahunan, entahlah. Kiranya itu hanya menjadi bagian dari dinamika keberagamaan yang hampir ada di seluruh belahan dunia. Tetapi yang memprihatinkan jika harus beredar stigma salah dan sesat kepada sesama penganut agama Islam, apalagi jika stigma tersebut harus dialamatkan kepada sosok Ulama seperti Quraish Shihab, penulis Tafsir Al-Misbah yang menjadi rujukan tafsir Al-Qur’an banyak muslim di Indonesia bahkan Asia Tenggara, yang secara pribadi membolehkan ucapan selamat Natal kepada mereka yang merayakan. Sedang mereka yang tidak membolehkan ucapan selamat atas perayaan hari-hari besar agama lain dengan berbagai dalil dan pendapat, kiranya tak memaksakan pendapat tersebut kepada orang lain yang memiliki pemahaman berbeda, karena perbedaan pandangan dalam hal yang satu ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah ada jauh sebelumnya.

Hal ini harus didudukkan sebagai akibat dari perbedaan cara pandang, baik dalam memahami dalil agama maupun pemahaman yang berkembang dari masa ke masa. Sehingga tak ada alasan ummat Islam saling salah-menyalahkan justru ditengah kebahagiaan peganut agama lain. Ucapan selamat Natal kiranya ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan baik antar penganut Islam-Kristen yang dalam beberapa kasus kerapkali berbenturan. Bukan justru dihubung-hubungkan dengan soal akidah yang sudah sangat jelas berbeda.

Ucapan selamat Natal untuk memperbaiki simpul-simpul hubungan antar penganut agama kiranya juga dilakukan tidak secara tidak berlebih-lebihan, cukuplah itu dilakukan seperlunya saja dengan senantiasa memperhatikan batasan-batasan yang telah diatur dalam ajaran agama Islam tentunya melalui pendapat para Ulama yang diakui kapasitas keulamaannya oleh masyarakat luas.

|
0

Gus Dur : Teks yang Tak Usai

Posted by Fadhlan L Nasurung on 6:20 AM in


Tanggal 30 Desember 2014, tepat lima tahun wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, beliau dikenal sebagai seorang kiyai, intelektual, budayawan, politikus sekaligus sufi, sesuatu yang begitu kompleks hadir dalam diri seorang manusia yang lahir dan tumbuh dalam kultur keagamaan pesantren, kemudian besar dalam tradisi dua kutub pemikiran yang sering berbenturan, yaitu timur tengah (tradisional) dan eropa (liberal). Perjalanan panjang Gus Dur dalam mengarungi samudera intelektualitas dengan keragaman realitas yang dijumpainya kiranya turut membentuk pemikiran dan cara pandangnya terhadap banyak hal yang kemudian ia perjuangkan.

Jejak dan Legasi

Gus Dur hadir sebagai tokoh yang terlalu maju bagi era diamana ia banyak menyampaikan gagasannya tentang Agama, kemanusiaan, kebudayaan dan kebangsaan. Di awal tahun 80-an ketika belum banyak yang berbicara soal relasi agama, negara dan budaya beliau  menyampaikan ide-idenya tentang tema-tema itu di banyak forum dan media (baik secara lisan maupun tulisan), bahkan beliau menjadi salah satu tokoh yang memprakarsai penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pancasila sebagai sebuah dasar negara dan NKRI sebagai bentuk negara yang final bagi masyarakat muslim Indonesia, upaya itu untuk memperkuat gagasan nasionalisme yang sama sekali tak bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau juga melahirkan gagasan tentang Pribumisasi Islam yang belakangan menelurkan gagasan tentang konsep Islam Indonesia, sebagai sebuah konsepsi yang berusaha mendialogkan Islam dan kebudayaan Indonesia dengan akar historis yang tak boleh sama sekali dilupakan.

Di awal tahun 90-an ketika belum banyak aktivis yang fokus berbicara soal demokrasi dan civil society, beliau bersama beberapa tokoh kemudian membentuk Forum Demokrasi (FORDEM) untuk mengkampanyekan issu-issu demokrasi dalam rangka melawan otoritarianisme orde baru yang kian represif. Beliau aktif membasis dikalangan organisasi kepemudaan  (OKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga organisasi masyarakat (Ormas) untuk mengkonsolidasikan gerakan dalam merespon issu-issu strategis menyangkut agama, bangsa dan negara.

Aktif sebagai Ketua PBNU selama tiga periode (1984-1999) tak membuat ruang gerak perjuangan Gus Dur menjadi terbatas hanya untuk kalangan nahdliyyin, justru ia semakin menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, itu dibuktikan dengan pembelaan beliau terhadap mereka yang diperlakukan tidak adil, dari berbagai latar belakang agama dan kelompok.

Perhatian beliau yang begitu besar terhadap supremasi hukum dan HAM membuatnya harus dibenci oleh banyak pihak yang merasa kepentingannya diusik, secara aktif beliau  berkomunikasi dengan para tahanan politik orde baru yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa, seringkali beliau harus bersitegang dengan penguasa dan acapkali mendapat teror dan ancaman, namun langkah beliau tak pernah sedikitpun mundur. Dalam bidang politik Gus Dur pada tahun 1998 mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aktualisasi gagasannya politik kebangsaannya, sekaligus mengantarkan beliau menjadi Presiden ke-4 RI.

Gagasan yang paling akrab dengan Gus Dur adalah pluralisme, Seiring terjadinya konflik bermotif perbedaan golongan (agama dan suku) di beberapa tempat, Gus Dur intens membangun kerjasama lintas iman dan kelompok untuk membangun rekonsiliasi dan menyebarkan doktrin keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dimasa ia menjabat sebagai Presiden RI ke-4, Konghucu menjadi agama resmi yang diakui oleh negara. Hal itu menjadi bukti otentik bahwa kesetaraan rakyat dihadapan negara menjadi prinsip dasar yang diperjuangkan oleh Gus Dur untuk menciptakan negara yang rukun dan damai (darus salam). Setelah wafat gagasan-gagasan Gus Dur lalu dilanjutkan oleh murid-murid beliau yang senantiasa merawat spirit dan pemikiran dan mengikuti jejak perjuangannya.

Gusdurian

Gusdurian adalah siapa saja yang punya minat dan tertarik pada segala hal yang menyangkut Gus Dur. Gusdurian berasal dari berbagai latar belakang sosial, kelompok lintas agama, organisasi masyarakat dan organisasi pemuda yang ingin terlibat dalam menjaga legacy Gus Dur yang tak berupa harta materi, melainkan semangat dan gagasan yang harus terus dihidupkan dan diperjuangkan, sedang Jaringan Gusdurian adalah sebuah komunitas kultur yang fokus bagaimana merawat dan mengembangkan spirit dan pemikiran Gus Dur, komunitas ini tak memiliki struktur layaknya organisasi modern pada umumnya, komunitas ini menggunakan mekanisme kerja yang mengandalakan volunterism (kesukarelawanan) karena kesadaran bahwa banyaknya kalangan yang ingin secara intens dan aktif meneruskan perjuangan Gus Dur tanpa dibatasi oleh sekat identitas golongan.

Mengingat begitu kompleksnya pemikiran Gus Dur yang tak mungkin dapat diurai secara gamblang, sehingga dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk merumuskan kerangka besar gagasan Gus Dur yang kemudian disepakati sebagai nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur yang menyangkut sembilan prinsip utama, yakni : Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kekesatriaan dan Kearifan Lokal.

Sembilan nilai Gus Dur tersebut yang melandasi setiap gerak perjuangan jaringan Gusdurian, dan kesemuanya tak boleh dilandasi oleh pamrih keduniaan. Tak banyak orang yang tahu bahwa hingga akhir hayatnya Gus Dur tak sedikitpun memiliki warisan kepada istri dan anak-anak serta murid-muridnya kecuali agenda perjuangan yang kemudian dibagi sesuai dengan segmentasi masing-masing, itulah yang diungkap oleh Alissa Wahid (putri sulung Gus Dur) yang juga sebagai nahkoda jaringan Gusdurian nasional.

Mungkin banyak orang yang masih beranggapan bahwa Gus Dur adalah sosok yang “nyeleneh” dan penuh kontroversi, tapi bagi mereka yang secara jernih membaca seorang Gus Dur, akan mendapati sebuah kompleksitas yang tak serta merta bisa difahami dengan menggunakan paradigma hitam-putih, karena Gus Dur ibarat sebuah teks yang begitu rumit, meminjam ungkapan budayawan Muhammad Sobary “Gus Dur adalah kitab kuning yang terbuka, seterbuka apapun kitab tersebut, tetap saja tak mudah dibaca apalagi difahami, selain karena kata-kata didalamnya tak disertai tanda baca, muatan informasi yang disuguhkanpun sangat mungkin memunculkan aneka interpretasi”. Gus Dur memang tak pernah meminta untuk dimengerti dan difahami, itulah karakter beliau sebagai Guru Bangsa, yang mendidik dan mengajarkan bangsanya untuk banyak belajar. 

Gus Dur memang tak lagi ada di tengah-tengah kondisi bangsa yang kian repot, tapi yang pasti beliau senantiasa hidup sebagai sebuah spirit dan menjelma dalam banyak gagasan yang diwariskannya. Karena pada hakikatnya, beliau tidak sama sekali pergi apalagi mati, beliau hanya berpulang, kembali kepada Sang Maha Pencipta.

|
0

Kekuatan Pesan Berantai BBM

Posted by Fadhlan L Nasurung on 6:13 AM in ,


Di era digitaliasasi informasi yang kini semakin praktis, informasi-informasi menjadi begitu sulit dikendalikan, keterbukaan akses informasi kian memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang berbagai hal yang terjadi dengan mudah. Globalisasi meniscayaakan lahirnya sebuah dunia baru dimana segala jenis interaksi manusia berlangsung, dunia yang secara demografi begitu sangat luas, menjadi semakin mengecil dalam dunia virtual, kejadian-kejadian di suatu wilayah dapat dengan mudah diketahui oleh masyarakat umum dibelahan dunia lain.

Keterbukaan informasi lewat berbagai media bagaikan buah simalakama yang memiliki dampak positif sekaligus memiliki dampak negatif bagi relasi antar manusia. Sistem telekomunikasi yang semakin instan membuat ruang interaksi antar manusia menjadi begitu sangat praktis dan semakin mereduksi keterlibatan emosi dalam proses penyampainnya. Bahkan dalam sistem Instant Message yang kini semakin trend dikalangan pengguna alat komunikasi digital, emosi kemudian diwakili oleh image yang berisi beragam karakter bergantung keinginan si penyampai kabar, entah itu benar-benar mewakili ekspresi diri atau tidak. Tetapi di sisi lain tak dapat dipungkiri, sistem pesan digital begitu sangat memudahkan komunikasi manusia tanpa lagi dibatasi oleh jarak spasial.

Blackberry Messenger (BBM)

Kemajuan teknologi di era informasi gital menciptakan sebuah budaya baru dimana masyarakat begitu mudah mengenal istilah-istilah baru yang umumya trend digunakan di dunia maya (cyber space), muncul istilah-istilah populer yang kebanyakan digunakan oleh kaum muda yang aktif memanfaatkan fasilitas gadget dengan fitur-fitur dan aplikasi yang setiap waktu semakin canggih. Salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan adalah Blackberry Messenger (BBM). Blackberry messenger yang awalnya hanya merupakan aplikasi milik handphone (HP) Blackberry, kini dapat digunakan oleh semua jenis Smartphone dari berbagai merek handphone.

Banyak hal yang bisa disebarkan melalui sistem aplikasi Blackberry Messenger (BBM), utamanya menyangkut informasi penting dan bermanfaat. Mulai dari berita kecelakaan lalu lintas, kehilangan, peristiwa penting, penggalangan dukungan (kampanye), promosi produk dan banyak lainnya. Sistem penyebaran informasi melalu BBM terbilang sangat efektif bagi mereka pengguna aplikasi BBM, pesan berantai yang diterima melalui broadcast message, akan dilanjutkan ke pengguna BMM lainnya jika informasi itu dianggap penting apalagi darurat, sehingga dalam hitungan menit sebuah informasi dapat tersebar ke banyak orang hingga membentuk sebuah issu publik. Ditambah penyebaran informasi juga dilakukan melalui media sosial seperi facebook, twitter, instagram, path, dan line, yang juga kian massif digunakan oleh hampir semua kalangan masyarakat.

Tetapi jangan kira semua informasi yang tersebar melalui BBM adalah benar, karena banyak pula informasi tidak benar dan beredar dengan begitu cepat hingga tak terkontrol lalu menjadi issu publik, seperti misalnya berita meninggalnya Ulama kharismatik yang merupakan Ketua MUI dan Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Sulawesi selatan AG.H Sanusi Baco Lc, yang beberapa waktu lalu. Informasi itu tersebar begitu cepat dikalangan pengguna BBM, tak sedikit pejabat instansi pemerintah, pejabat kampus, tokoh ormas dan tokoh masyarakat yang juga menerima pesan tersebut, bahkan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam akun twitternya juga telah menulis ucapan belasungkawa menanggapi informasi yang beredar. Ternyata setelah dikonfirmasi kepada pihak keluarga, informasi yang beredar melalui Broadcast Message tersebut sama sekali tidak benar, berbagai pihak menyayangkan beredarnya informasi tersebut, termasuk Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Nahdlatul ‘Ulum (IKA PPNU) yang merupakan wadah silaturrahim alumni sebuah Pesantren di kabupaten Maros dimana AG.H Sanusi Baco Lc sebagai pimpinanya.

Kritis dan Selektif

Tersebarnya berita tidak benar meninggalnya AG.H Sanusi Baco Lc yang beredar melalui BBM kiranya dapat menjadi pelajaran bagi pengguna BBM, agar lebih teliti dan hati-hati dalam menyebarkan sebuah informasi yang diterima melalui broadcast, apalagi jika berita itu tidak memiliki sanad yang jelas dan belum bisa dipastikan kebenarannya. Karena harus difahami bahwa psikologi pengguna BBM apabila menerima berita yang dinilai sangat penting seringkali tak menggunakan nalar kritisnya untuk sejenak menganalisis benar tidaknya berita tersebut, jangan sampai kita menjadi bagian dari penyebar berita yang tidak benar, apalagi menyangkut kabar tentang hidup dan wafatnya seseorang, terlebih jika ia adalah seorang tokoh yang dikenal oleh masyarakat luas, selayaknya AG.H Sansi baco Lc.

Bersikap kritis dalam menerima informasi dan selektif dalam menyebarkan informasi adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh para pengguna media informasi digital, karena nalar publik hari ini ditentukan oleh informasi yang beredar melalui berbagai media sosial dan media massa. Informasi yang benar menjadi hak publik yang harus diupayakan dengan berangkat dari kearifan dan ketelitian para pengguna berbagai fasilitas kecanggihan sistem informasi tersebut.

Media informasi digital menempati peran penting dalam lalu lintas interaksi manusia yang tak lagi dibatasi oleh jarak dan batas-batas territorial di zaman dimana kemudahan demi kemudahan dicapai berkat penemuan teknologi yang semakin maju. Aplikasi pesan digital seperti blackberry messenger dengan keunggulan broadcast message-nya, menjadi salah satu yang paling banyak dimiliki oleh pengguna HP Smartphone, sehingga fungsinya dibutuhkan untuk menyebarkan informasi-informasi penting dan bermanfaat secara berantai antar pengguna BBM yang langsung bisa tersebar secara cepat dan massif. Tinggal bagaimana para pengguna BBM dapat bersikap kritis kemudian terlebih dahulu mencari tahu kebenaran informasi yang diterimanya, sehingga peyebaran informasi yang tidak benar bisa diminimalisir bahkan dicegah.

Dimuat di Rubrik Opini Tribun Timur Edisi Sabtu 06 Desember 2014 :-)

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.