2

Kritik Sosial Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Posted by Fadhlan L Nasurung on 1:27 PM in
Hanya berselang satu minggu setelah film sang proklamator Republik Indonesia Soekarno dirilis, kembali penikmat film tanah air disuguhi oleh kisah roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang diangkat dari novel seorang ulama kharismatik asal tanah minang Buya Hamka, film yang berlatar  peristiwa 1930-an tersebut menceritakan seorang tokoh bernama Zainuddin yang berdarah Bugis-Minang menaruh hati pada seorang gadis jelita bernama Hayati, namun kuatnya adat istiadat tanah minang menjadi aral yang menyebabkan Zainuddin harus merelakan Hayati dipersunting lelaki lain yang memiliki strata sosial sepadan menurut adat setempat, Zainuddin hanyalah lelaki berdarah Minang dari garis keturunan ibunya dan Bugis dari keturunan ayahnya, sedang dalam tradisi adat minang sistem nasab dari jalur ibu tidak diakui, sehingga ia dipandang tidak  memiliki strata sosial yang selayaknya dalam masyarakat Minangkabau. Arus kuat tradisi dan adat yang menghalangi keinginan Zainuddin akhirnya menjadi titik balik kehidupan dalam cerita ini.

Antara Adat dan Agama

Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, struktur sosial masih sangat dipengaruhi oleh sistem adat istiadat, umumnya adat istiadat yang diberpegangi bukan sebagai tembok sosial yang membatasi relasi antar kelompok masyarakat, melainkan untuk menjaga nilai-nilai dalam masyarakat adat, aturan-aturan adat yang sangat ketat umumnya berlaku dalam hal pernikahan, karena menyangkut silsilah keturunan yang akan mempengaruhi struktur sosial masyarakat, sehingga adat bertujuan memproteksi adanya pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat. Berbeda dalam kasus Zainuddin, adat justru digunakan sebagai alat untuk meneguhkan paradigma materialistik, dimana stratifikasi sosial dipandang melalui kacamata harta dan strata kebangsawanan, bukanlagi pada hal yang lebih subtansi, yakni pada keteguhan, visi hidup, sikap beragama dan moralitas. Bagaimanapun tak ada adat istiadat yang bertujuan merendahkan martabat kemanusiaan, oleh sebabnya ia dibuat sebagai sebuah tatanan nilai yang akan menciptakan sikap saling menghargai, melindungi, dan memanusiakan. Seringkali adat berusaha dibenturkan dengan keyakinan agama, padahal keduanya bisa berjalan harmonis jika kita melihatnya sebagai sebuah suprastuktur sosial yang akan menjadi sumber spirit, moralitas serta laku hidup dalam sebuah tatanan masyarakat.

Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang taat pada ajaran agama Islam, sehingga arus Islamisasi tidak serta merta menggusur tradisi yang telah berabad-abad dipelihara oleh masyarakat, justru Islam begitu ramah dengan lokalitas tradisi dan budaya masyarakat setempat, sehingga ajaran Islam justru semakin memperkuat adat istiadat masyarakat dan sebaliknya tradisi masyarakat semakin menegaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama dan adat tersebut berkolaborasi untuk menciptakan sebuah masyarakat yang humanis yang jauh dari sifat-sifat individualis dan materialistis.

Sastra Untuk Kritik Sosial

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan Buya Hamka adalah seolang ulama besar sekaligus sastrawan yang aktif menciptakan karya, khususnya dalam bidang sastra, beberapa karyanya yang bernuansa roman sempat dikritik oleh beberapa ulama semasanya, namun ia berhasil melampaui ortodoksi pemahaman yang masih memandang tabu seorang ulama berbicara atau menuliskan kisah tentang percintaan anak manusia.

Berbeda dengan film-film roman pada umumnya yang lebih menonjolkan kisah percintaan yang mengumbar asmara minim estetika, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak sekedar menceritakan tentang pertautan hati dua insan yang sedang dilanda cinta, tetapi juga tentang bagaimana sikap menghadapi kondisi yang tak berpihak, dimana keinginan hati harus diurungkan atas nama adat, sekaligus berusaha mencibir mereka yang seringkali menggunakan dalih adat dan agama untuk kepentingan-kepentingan materi. Sejatinya karya sastra harus mampu mengkritik ketimpangan-ketimpangan sosial, bahkan segala sesuatu yang tak lagi ideal.

Kasus yang menimpa Zainuddin masih seringkali dijumpai dalam masyarakat kita, strata sosial seringkali diukur dari harta dan jabatan, si miskin dan si kaya tak sepantasnya menjalin sebuah ikatan, akhir cerita dari Nurhayati dan suaminya menjadi bukti bahwa kebahagiaan yang diukur melalui perpektif materi tidak akan berumur lama, sedangkan ditengah puing-puing kehancuran hati, Zainuddin bangkit dengan dengan penuh keteguhan sambil melanjutkan hidup dengan semangat untuk berkarya dan berbagi kepada sesama di sela-sela kesuksesan yang akhirnya berhasil ia raih. Itu karena darah Bugis-Minang masih mengalir dalam tubuhnya, sehingga ia senantiasa menegakkan nilai-nilai yang diwarisi kedua orang tuanya, apalagi ajaran Islam adalah ruh yang menggerakkan kesadarannya untuk tidak berputus asa. Inilah jejak kehidupan seorang manusia yang tak pernah lepas dari organ spiritual, kultural dan sosialnya.

|
0

Hari Ibu, Hari Semesta

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:06 AM in


Kudengar ada perayaan
Dari bocah-bocah yang ingin memberi persembahan
Teruntuk sosok penuh darma
Entah itulah bakti, atau untuk menebus pamrih?

Suatu ketika hening beradu dengan tangis seonggok jasad suci
Sikecil yang belum berdaya mengurus diri
Bahkan untuk menyuarakan ingin
Dahsyatnya, ada jalinan yang membuat ia mengerti isyarat-isyarat sikecil
Bahkan tanda yang tak seorangpun tahu

Ada sejarah, dimana kita menjadi lakon utama
Waktu itu kita belum cukup usia
Sehingga kita pastilah sama sekali lupa
Hanya, orang-orang sering bercerita tentang ini dan itu, begini dan begitu !

Aku memanggilnya Mama
Yang lain memanggilnya dengan sapaan mesra Ibu dan Bunda
Itulah panggilan-panggilan terkasih
Bagiku, Ia setengah dari semesta

Tak usah memberinya tanda kehormatan
Ia hidup bukan untuk menerima hadiah-hadiah nobel
Layaknya pahlawan-pahlawan kemanusiaan dan perdamaian di seberang sana
Ia dicipta sebagai manifestasi dari keagungan Sang Hiyang Taya

Jika harus ada hari yang dipersembahkan untuk dirinya
Itulah hari semesta
Maka, jadilah generasi yang hidup untuk semesta
Kiranya itu, tak lagi perlu ada kata durhaka
Kita seketika itu, telah memenuhi janji dari alam azali
Sabda berbakti ...

|
0

Hangat Dalam Dingin

Posted by Fadhlan L Nasurung on 6:53 AM in
Di atas dipan buram
tak ada suram
dingin hadir dengan kesejukan
ada angin coba datang menawarkan kesegaran

tapi maaf, tak lagi peduli akan angin dan dingin
semangat berpacu
menyebar merata dihampir semua yang bercengkrama
suasana hikmad membuat semua larut dalam intimnya keakraban

ada selimut kehangatan dari setiap butiran ide yang terbenak
di balik rimbun harapan-keinginan
ada satu-dua buah yang begitu brilian
hingga tak ada yang mampu berkata, tidak !

kabut tebal
dari celah dinding papan
berdamai dengan pekat malam, menyambut guyuran hujan
dan kita tak lagi takut dingin datang merenggut kehangatan


Suasana Workshop Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS)

Malino, ia titik harmoni sejarah
kita, manusia-manusia biasa yang coba belajar mengukir nama, dalam sejarah !



:. Minggu, 1 Desember 2013 @Malino .:

|
0

Malino di Titik Harmoni dan Ironi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 7:47 AM in
Foto Bersama Team & Sahabat FKBS di Hutan Pinus, Malino

Jalan-jalan mendaki-menurun menjadi lintasan yang menantang adrenalin berkendara, sesekali harus mengurangi laju kecepatan untuk menghindari jalan berlubang dan rusak, di sisi kiri gunung-gunung tak lagi terlihat kokoh menjulang, indahnya hijau pepohonan tergusur, sedang di sisi kanan  jurang curam menganga tak membuat rasa takut datang, hanya saja ada pemandangan yang memancing rasa prihatin, dimana air sungai tak lagi sejernih dahulu, tambang batu kerikil begitu kuasa memporak-porandakan bibir sungai, hingga tak lagi ada cerita tentang sungai dengan riak-riak yang menyegarkan. Memang benar bahwa manusia hari ini tak lagi memandang alam sebagai partner kehidupan, melainkan sekedar sebagai sumber primer yang memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan cara eksploitasi seenak hati. Memasuki kawasan utama tujuan wisata, sebuah tembok berdiri kokoh bertuliskan “Malino 1927”, yang kembali memancing nalar keingintahuan untuk bertanya perihal tahun tersebut, satu dugaan bahwa tahun tersebut adalah tahun kelahiran atau dibentuknya kota-kelurahan ini. 

Gapura tegak berdiri dihiasi sebuah kalimat sambutan “Malino Kota Bunga”, tak perlu lama untuk menemukan jawaban, karena dara-dara cantik nan menawan adalah bunga-bunga yang membuat para pengunjung akan merasa betah berlama-lama untuk bereksplorasi. Penat dan panasnya udara kota Makassar sejenak hilang, berganti udara dingin yang membuat kita terkadang harus menggigil sambil memeluk diri sendiri, jajaran pohon-pohon pinus menyambut dengan penuh kesejukan, merekalah yang masih setia memberi suplai kesegaran bagi nafas kehidupan manusia di kota ini. 

Malino adalah kota kecil yang kerap menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah, daerah ini selain terkenal dengan keindahan wisata alamnya, juga sering menjadi tempat destinasi perundingan-perundingan politik hingga penyelesaian konflik. Yah, kesejukan alam dan kesegaran udaranya  senantiasa mendinginkan emosi dan ego untuk menjernihkan pikiran dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Anging Mammiri, sejak ratusan tahun silam wilayah ini sudah menjadi destinasi para raja-raja dengan berbagai macam hajat, persoalan-persoalan yang menyangkut kerajaan dan masyarakat banyak menemukan titik terang di sini, perundingan-perundingan para raja juga sering berlangsung di sini.
Pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia, tahun seribu 1946 belanda dengan sayap Netherlands Indie Civil Administration (NICA) melakukan agresi militer ke-II dan kembali berhasil menduduki wilayah timur Indonesia secara de facto dan de jure, Malino kemudian menjadi tempat penyelenggaraan perundingan untuk membahas rencana pembentukan Negara-negara federasi di daerah-daerah kawasan timur Indonesia yang kita kenal sebagai Konferensi Malino, saat itu Gubernur Jendral Hindia Belanda Van Mook menghadirkan 39 perwakilan dari 15 daerah dari Kalimantan (Borneo) dan Timur besar (Sulawesi, Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara dan Papua) yang merupakan cikal-bakal dari Republik Indonesia Serikat (RIS) [1].

Masih hangat di benak kita ketika mantan wakil presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla menjadi inisiator perjanjian damai dari konflik sosial-komunal yang terjadi di Poso, Sulawesi tengah, Malino kembali menjadi tempat perundingan yang akhirnya melahirkan butir-butir kesepakatan damai yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik. Sebelumnya upaya rekonsiliasi menemukan jalan terang ketika perundingan damai konflik Ambon juga diselenggarakan di kota yang menjadi jalur utama bagi  para penggiat adventure, penyuka tantangan dan pecinta-pecinta pemandangan eksotik lembah dan puncak gunung bawakaraeng ini. Malino berada pada sebuah titik harmoni geografis-historis, maka tak heran banyak yang memilih tempat ini untuk mengobati lelah aktifitas kerja, menyelami keintiman pasca nikah yang penuh hikmad,  meremajakan jalinan emosional keluarga, membangun keakraban dalam komunitas, hingga mempererat relasi dengan kolega bisnis.

Betapa Tuhan telah menjadikan bumi sebagai hamparan yang merupakan refleksi dari citra keagungan-Nya. Malino adalah ikon negara dan bangsa yang harus senantiasa kita jaga kelestarian alamnya, regulasi-regulasi tentang lingkungan hidup harus mampu menjadi tameng dari syahwat eksploitasi yang tak terkontrol, kita telah cukup banyak menyaksikan ironi kerusakan alam yang membuat kita tak lagi mampu berjumpa dengan ragam jenis flora dan fauna yang telah melewati ambang kepunahan, tentunya kita tak ingin eksistensi kita hanya mampu dijangkau melalui fosil-fosil sejarah oleh generasi-generasi beberapa puluh hingga ratus tahun yang akan datang, karena kita tak lagi mampu bersahabat dengan alam.

Ada angin semilir
Ada sungai mengalir
Ada pohon-pohon menjulang dengan rimbun daun menari
Dan laut, gunung, planet-planet yang tak pernah bergeming, senantiasa bertasbih, mendeklamasikan kebesaran & keagungan-Nya.

" Catatan Ketika Menjumpai Malino "


[1] Sumber : Wikipedia

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.