0

Malino di Titik Harmoni dan Ironi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 7:47 AM in
Foto Bersama Team & Sahabat FKBS di Hutan Pinus, Malino

Jalan-jalan mendaki-menurun menjadi lintasan yang menantang adrenalin berkendara, sesekali harus mengurangi laju kecepatan untuk menghindari jalan berlubang dan rusak, di sisi kiri gunung-gunung tak lagi terlihat kokoh menjulang, indahnya hijau pepohonan tergusur, sedang di sisi kanan  jurang curam menganga tak membuat rasa takut datang, hanya saja ada pemandangan yang memancing rasa prihatin, dimana air sungai tak lagi sejernih dahulu, tambang batu kerikil begitu kuasa memporak-porandakan bibir sungai, hingga tak lagi ada cerita tentang sungai dengan riak-riak yang menyegarkan. Memang benar bahwa manusia hari ini tak lagi memandang alam sebagai partner kehidupan, melainkan sekedar sebagai sumber primer yang memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan cara eksploitasi seenak hati. Memasuki kawasan utama tujuan wisata, sebuah tembok berdiri kokoh bertuliskan “Malino 1927”, yang kembali memancing nalar keingintahuan untuk bertanya perihal tahun tersebut, satu dugaan bahwa tahun tersebut adalah tahun kelahiran atau dibentuknya kota-kelurahan ini. 

Gapura tegak berdiri dihiasi sebuah kalimat sambutan “Malino Kota Bunga”, tak perlu lama untuk menemukan jawaban, karena dara-dara cantik nan menawan adalah bunga-bunga yang membuat para pengunjung akan merasa betah berlama-lama untuk bereksplorasi. Penat dan panasnya udara kota Makassar sejenak hilang, berganti udara dingin yang membuat kita terkadang harus menggigil sambil memeluk diri sendiri, jajaran pohon-pohon pinus menyambut dengan penuh kesejukan, merekalah yang masih setia memberi suplai kesegaran bagi nafas kehidupan manusia di kota ini. 

Malino adalah kota kecil yang kerap menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah, daerah ini selain terkenal dengan keindahan wisata alamnya, juga sering menjadi tempat destinasi perundingan-perundingan politik hingga penyelesaian konflik. Yah, kesejukan alam dan kesegaran udaranya  senantiasa mendinginkan emosi dan ego untuk menjernihkan pikiran dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Anging Mammiri, sejak ratusan tahun silam wilayah ini sudah menjadi destinasi para raja-raja dengan berbagai macam hajat, persoalan-persoalan yang menyangkut kerajaan dan masyarakat banyak menemukan titik terang di sini, perundingan-perundingan para raja juga sering berlangsung di sini.
Pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia, tahun seribu 1946 belanda dengan sayap Netherlands Indie Civil Administration (NICA) melakukan agresi militer ke-II dan kembali berhasil menduduki wilayah timur Indonesia secara de facto dan de jure, Malino kemudian menjadi tempat penyelenggaraan perundingan untuk membahas rencana pembentukan Negara-negara federasi di daerah-daerah kawasan timur Indonesia yang kita kenal sebagai Konferensi Malino, saat itu Gubernur Jendral Hindia Belanda Van Mook menghadirkan 39 perwakilan dari 15 daerah dari Kalimantan (Borneo) dan Timur besar (Sulawesi, Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara dan Papua) yang merupakan cikal-bakal dari Republik Indonesia Serikat (RIS) [1].

Masih hangat di benak kita ketika mantan wakil presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla menjadi inisiator perjanjian damai dari konflik sosial-komunal yang terjadi di Poso, Sulawesi tengah, Malino kembali menjadi tempat perundingan yang akhirnya melahirkan butir-butir kesepakatan damai yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik. Sebelumnya upaya rekonsiliasi menemukan jalan terang ketika perundingan damai konflik Ambon juga diselenggarakan di kota yang menjadi jalur utama bagi  para penggiat adventure, penyuka tantangan dan pecinta-pecinta pemandangan eksotik lembah dan puncak gunung bawakaraeng ini. Malino berada pada sebuah titik harmoni geografis-historis, maka tak heran banyak yang memilih tempat ini untuk mengobati lelah aktifitas kerja, menyelami keintiman pasca nikah yang penuh hikmad,  meremajakan jalinan emosional keluarga, membangun keakraban dalam komunitas, hingga mempererat relasi dengan kolega bisnis.

Betapa Tuhan telah menjadikan bumi sebagai hamparan yang merupakan refleksi dari citra keagungan-Nya. Malino adalah ikon negara dan bangsa yang harus senantiasa kita jaga kelestarian alamnya, regulasi-regulasi tentang lingkungan hidup harus mampu menjadi tameng dari syahwat eksploitasi yang tak terkontrol, kita telah cukup banyak menyaksikan ironi kerusakan alam yang membuat kita tak lagi mampu berjumpa dengan ragam jenis flora dan fauna yang telah melewati ambang kepunahan, tentunya kita tak ingin eksistensi kita hanya mampu dijangkau melalui fosil-fosil sejarah oleh generasi-generasi beberapa puluh hingga ratus tahun yang akan datang, karena kita tak lagi mampu bersahabat dengan alam.

Ada angin semilir
Ada sungai mengalir
Ada pohon-pohon menjulang dengan rimbun daun menari
Dan laut, gunung, planet-planet yang tak pernah bergeming, senantiasa bertasbih, mendeklamasikan kebesaran & keagungan-Nya.

" Catatan Ketika Menjumpai Malino "


[1] Sumber : Wikipedia

|
2

Hitam-Putih Perguruan Tinggi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 2:20 PM in
Entah sampai kapan kita akan terus menyaksikan fenomena tawuran mahasiswa yang tak kunjung mengenal lelah, kerusakan materil dan moril hingga tak lagi terhitung jumlah korban yang harus menjadi tumbal dari bencana sosial itu, upaya rekonsiliasi telah sering terdengar nyaring di telinga kita, namun  bentrok antar kelompok di kalangan mahasiswa rasanya kian ramai. Mencari kambing hitam untuk dipersalahkan, itulah jurus paling jitu yang seolah akan menyelesaikan semua masalah, dan mahasiswa menjadi objek yang harus selalu berada di pihak yang bersalah. Melihat fenomena konflik yang kerap terjadi di dunia kampus, penulis mencoba menarik dua hipotesa yang menjadi sebab utama terjadinya konflik yang kerap terjadi di laboratorium manusia-manusia terdidik bernama perguruan tinggi itu, yaitu “kenakalan mahasiswa” dan “kekalahan birokrasi kampus”.

Tribalisme Mahasiswa

Mahasiswa adalah golongan usia produktif yang menjadi bakal pasti pemimpin di masa depan, dimana ego dan emosi belum menemukan titik pijak yang betul-betul stabil, sehingga persoalan sepele lagi remeh-temeh terkadang disikapi secara berlebih-lebihan. Apa yang penulis sebut sebagai sebuah “kenakalan” tak lain adalah mewabahnya perilaku sektarian, dimana relasi antar individu atau kelompok seringkali dibatasi oleh sekat identitas atau simbol-simbol primordial yang seakan menjadi tembok sosial,  tak jarang konflik antar individu berakibat sangat jauh menjadi konflik antar kelompok (komunitas, organisasi, daerah dsb), ini membuktikan belum terbangunnya sikap dewasa di kalangan sebagian mahasiswa dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi, ditambah adanya disorientasi kaderisasi di beberapa lembaga kemahasiswaan yang memiliki peran strategis dalam proses sosialisasi nilai dan transformasi pengetahuan tempat mahasiswa banyak bergelut, fanatisme kelompok nampaknya masih menjadi benalu yang banyak menggorogoti akal sehat mereka yang sering mengklaim diri sebagai intelektual muda, yang justru membuktikan sebuah banalitas pengetahuan.

Salah seorang sastrawan dan novelis terkemuka Pramoediya Ananta Toer dalam magnum opusnya (Tetralogi Buru) menitahkan bahwa mereka yang terpelajar harus senantiasa berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan, hal ini mengisyaratkan bahwa mahasiswa sebagai representasi kaum masyarakat terpelajar semestinya menjadikan pengetahuan sebagai panglima yang akan menjadi komando terhadap kecenderungan-kecenderungan yang bersifat negatif-destruktif, sehingga dapat dengan jernih mengambil langkah konstruktif dengan mengedepankan terciptanya titik harmoni dalam menyelesaikan berbagai persoalan, mengingat salah satu fungsi dan tanggungjawab mahasiswa adalah menjadi source of moral force (sumber referensi moralitas) bagi masyarakat. 



Tawuran Mahasiswa UNM (Sumber : Kompas.co.id)


Punahnya Dialog

Akhir-akhir ini seolah ada hilang dalam penyelenggaraan kebijakan di dunia kampus, konsep demokrasi yang telah kita amini bersama seakan hanya menjadi bunyi-bunyian yang tak berarti apa-apa, terkadang kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi besar terhadap hidup-matinya kegiatan kemahasiswaan diputuskan secara sepihak tanpa perlu lagi melirik aspirasi dari mahasiswa, sehingga ketika terjadi gugatan-penolakan terhadap kebijakan yang dirasa tak berpihak kepada mahasiswa, jalan hitam adu jotos dan membuat kericuhan hingga aksi pengrusakan menjadi pemandangan yang tak sama sekali mencerminkan lembaga pendidikan agung tersebut sebagaimana mestinya, bahkan menjadi sangat ironis ketika harus berujung pada tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip humanitas.

Kekalahan birokrasi kampus adalah ketidakmampuan para pejabatnya untuk menjaga iklim dialogis dalam proses pengambilan kebijakan entah atas dalih untuk peningkatan mutu pendidikan ataupun sekedar ajang unjuk eksistensi. Padahal hulu dari konflik yang sering terjadi berawal dari pola komunikasi-interaksi yang tidak sehat sehingga bermuara pada miss understanding yang menjadi penyulut tindak anarkisme, maka konflik antar kelompok mahasiswa di beberapa kampus bisa saja menjadi buntut dari kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak mengakomodir aspirasi mereka.

Spirit Kebudayaan

Hendaknya kita kembali merujuk pada spirit kebudayaan kita yang menjunjung tinggi prinsip Sipakatau, yaitu meletakkan sisi kemanusiaan  pada posisi tertinggi dalam relasi sosial, sehingga permasalahan apapun yang timbul dalam kampus senantiasa diselesaikan dengan maksud utama untuk saling memanusiakan. Sipakalebbi, adalah sebuah sikap yang senantiasa menempatkan kebaikan sebagai motivasi untuk saling menjaga harkat dan kehormatan, sehingga dalam proses penyelesaian masalah, kemaslahatan bersama menjadi tujuan yang paling utama. Sipakainge, sikap ini lahir dari kesadaran bahwa tak ada manusia yang alpa dari kesalahan dan kekurangan, oleh karenanya saling tegur-mengingatkan merupakan sebuah nilai yang akan menjaga tatanan kehidupan yang harmonis. Karena mereka yang berada di perguruan tinggi adalah manusia-manusia terpelajar maka sejatinya setiap persoalan harus diselesaikan dengan cara terpelajar pula.

Sudah saatnya kita berdewasa dalam melihat berbagai persoalan yang timbul di tengah-tengah kita, perguruan tinggi merupakan harapan dan tumpuan bangsa dalam melahirkan kader-kader terbaik untuk menahkodai Negara ini di masa depan, mahasiswa dengan berbagai tanggungjawab intelektualnya seyogyanya mampu menjadi refleksi sosok dengan sikap kritis dan berkepribadian luhur, sedang para pemangku kebijakan kampus sudah seharusnya menciptakan iklim kehidupan kampus yang dialogis dan kondusif yang akan mendorong para mahasiswanya untuk kaya karya dan pengetahuan, demi tercapainya tridarma perguruan tinggi.




|
0

Titik Kita

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:24 AM in

Coretan di papan
lukis patahan yang membuat kita alami tipu daya
kausalitas bertarung menuju satu titik, kuasa!
ada lika-liku yang membuat kita harus diam, harap secercah pencerahan

mata, telinga menghamba begitu seksama
dibalik selubung-selubung manipulasi sejarah
bertanyalah pada langit tempat kau menengadahkan tangan
adakah bulir-bulir jawaban semesta?

kita mengaku beragama
tapi di ujung lorong rumah ada tangis meronta
mata bersembunyi dibalik punahnya peduli
angkuh menatap masa depan, mobil mentereng dengan rumah mewah

kulihat ada yang sampai menangis memakai toga disisi tangga
menggenggam bunga
lalu beranjak menuju wajah yang telah tua renta
mengucap sampai jumpa

dunia tak lagi seperti saat kita bercengkrama di serambi mushalla
saat guyuran panjang menahan kepergian seorang sahabat
hendak bertukar nama demi sesuap nafkah
melanggar akidah

ini hanya soal lupa
matahari tak pernah jauh berpaling muka
ia milik semesta yang giat membagi berkah cahaya
surya negeri-negeri dipantara

lalu bukankah kita manusia?
khalifah Sang Kausa Prima
tangan-tangan Tuhan yang memikul berderek risalah
melawan takut, lapar dan dahaga


|
0

Hitam-Putih

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:15 AM in

Pada mendung di ufuk terdalam ruang kontemplasi
sampaikan salam pada ilusi
jelajah ruang hari ini, usai !
sabar telah hingga di puncak kulminasi

saban hari
ditengah temaram cahaya neon
lantunan lagu-lagu lawas mencibir
asketisme para sufi
...
skenario berganti
tikus-tikus berlari ke jeruji besi
tersandung kasus korupsi
takluk oleh dunia yang profan

Lelaki berjubah-kopiah terdiam pulas
di serambi-serambi suci
menenteng surga
mengais pahala

Aku memilih menutup mata

|
0

Jelang Hari Bahagiamu

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:16 AM in
Bukan tak peduli
rasa-rasanya waktu belum juga rela
aku pulang lebih awal
menjadi penyaksi rona kebahagiaan yang kau gurat

beberapa pekan
harus berjibaku dengan ritual-ritual kehidupan
sebagai bidak-bidak risalah kenabian
lakon yang mesti aku perankan

bahagia
biarlah hanya bahagia
yang akan kubawa pulang
bersimpuh di bawah linang air mata syukur

dari jarak ini gapura itu nampak megah
semarak doa dan harapan bergelantungan di semua sisi
sediakan satu tempat untukku
jadilah khadijah-khadijah kecil

" Barakallahu lak, wabaraka alaikuma, wa jama'ah bainakuma fi khair "

|
0

Kabar Dari Seberang

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:11 AM in

Ada suara
memanggil-manggil dalam gelap
di ujung meditasi
ia dekap sepucuk maksud

hanya tentang siapa dan bagaimana dia
berita itu tiba
jatuh dari langit-langit imaji
pecah dengan keping-keping tanda

lalu pergi dengan segudang tanya
seberkas cahaya
menyelinap dari lubang dinding rumbia
isyarat dari dunia seberang

sekian dulu
kunang-kunang terlalu berisik
suara itu memang mengusik hening
hikmad sepertiga malam

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.