2
Hitam-Putih Perguruan Tinggi
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
2:20 PM
in
Opini
Entah
sampai kapan kita akan terus menyaksikan fenomena tawuran mahasiswa yang tak
kunjung mengenal lelah, kerusakan materil dan moril hingga tak lagi terhitung
jumlah korban yang harus menjadi tumbal dari bencana sosial itu, upaya
rekonsiliasi telah sering terdengar nyaring di telinga kita,
namun bentrok antar kelompok di kalangan mahasiswa rasanya kian
ramai. Mencari kambing hitam untuk dipersalahkan, itulah jurus paling jitu yang
seolah akan menyelesaikan semua masalah, dan mahasiswa menjadi objek yang harus
selalu berada di pihak yang bersalah. Melihat fenomena konflik yang kerap
terjadi di dunia kampus, penulis mencoba menarik dua hipotesa yang menjadi
sebab utama terjadinya konflik yang kerap terjadi di laboratorium
manusia-manusia terdidik bernama perguruan tinggi itu, yaitu “kenakalan
mahasiswa” dan “kekalahan birokrasi kampus”.
Tribalisme
Mahasiswa
Mahasiswa
adalah golongan usia produktif yang menjadi bakal pasti pemimpin di masa depan,
dimana ego dan emosi belum menemukan titik pijak yang betul-betul stabil,
sehingga persoalan sepele lagi remeh-temeh terkadang disikapi secara
berlebih-lebihan. Apa yang penulis sebut sebagai sebuah “kenakalan” tak lain
adalah mewabahnya perilaku sektarian, dimana relasi antar individu atau
kelompok seringkali dibatasi oleh sekat identitas atau simbol-simbol primordial
yang seakan menjadi tembok sosial, tak jarang konflik antar individu
berakibat sangat jauh menjadi konflik antar kelompok (komunitas, organisasi,
daerah dsb), ini membuktikan belum terbangunnya sikap dewasa di kalangan
sebagian mahasiswa dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi, ditambah
adanya disorientasi kaderisasi di beberapa lembaga kemahasiswaan yang memiliki
peran strategis dalam proses sosialisasi nilai dan transformasi pengetahuan
tempat mahasiswa banyak bergelut, fanatisme kelompok nampaknya masih menjadi
benalu yang banyak menggorogoti akal sehat mereka yang sering mengklaim diri
sebagai intelektual muda, yang justru membuktikan sebuah banalitas pengetahuan.
Salah
seorang sastrawan dan novelis terkemuka Pramoediya Ananta Toer dalam magnum
opusnya (Tetralogi Buru) menitahkan bahwa mereka yang terpelajar harus
senantiasa berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan, hal
ini mengisyaratkan bahwa mahasiswa sebagai representasi kaum masyarakat
terpelajar semestinya menjadikan pengetahuan sebagai panglima yang akan menjadi
komando terhadap kecenderungan-kecenderungan yang bersifat negatif-destruktif,
sehingga dapat dengan jernih mengambil langkah konstruktif dengan mengedepankan
terciptanya titik harmoni dalam menyelesaikan berbagai persoalan, mengingat
salah satu fungsi dan tanggungjawab mahasiswa adalah menjadi source of
moral force (sumber referensi moralitas) bagi masyarakat.
Punahnya
Dialog
Akhir-akhir
ini seolah ada hilang dalam penyelenggaraan kebijakan di dunia kampus, konsep
demokrasi yang telah kita amini bersama seakan hanya menjadi bunyi-bunyian yang
tak berarti apa-apa, terkadang kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi
besar terhadap hidup-matinya kegiatan kemahasiswaan diputuskan secara sepihak
tanpa perlu lagi melirik aspirasi dari mahasiswa, sehingga ketika terjadi
gugatan-penolakan terhadap kebijakan yang dirasa tak berpihak kepada mahasiswa,
jalan hitam adu jotos dan membuat kericuhan hingga aksi pengrusakan menjadi
pemandangan yang tak sama sekali mencerminkan lembaga pendidikan agung tersebut
sebagaimana mestinya, bahkan menjadi sangat ironis ketika harus berujung pada
tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip humanitas.
Kekalahan
birokrasi kampus adalah ketidakmampuan para pejabatnya untuk menjaga iklim
dialogis dalam proses pengambilan kebijakan entah atas dalih untuk peningkatan
mutu pendidikan ataupun sekedar ajang unjuk eksistensi. Padahal hulu dari
konflik yang sering terjadi berawal dari pola komunikasi-interaksi yang tidak
sehat sehingga bermuara pada miss understanding yang menjadi penyulut
tindak anarkisme, maka konflik antar kelompok mahasiswa di beberapa kampus bisa
saja menjadi buntut dari kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak mengakomodir
aspirasi mereka.
Spirit
Kebudayaan
Hendaknya
kita kembali merujuk pada spirit kebudayaan kita yang menjunjung tinggi prinsip
Sipakatau, yaitu meletakkan sisi kemanusiaan pada posisi tertinggi
dalam relasi sosial, sehingga permasalahan apapun yang timbul dalam kampus
senantiasa diselesaikan dengan maksud utama untuk saling memanusiakan.
Sipakalebbi, adalah sebuah sikap yang senantiasa menempatkan kebaikan sebagai
motivasi untuk saling menjaga harkat dan kehormatan, sehingga dalam proses
penyelesaian masalah, kemaslahatan bersama menjadi tujuan yang paling utama.
Sipakainge, sikap ini lahir dari kesadaran bahwa tak ada manusia yang alpa dari
kesalahan dan kekurangan, oleh karenanya saling tegur-mengingatkan merupakan
sebuah nilai yang akan menjaga tatanan kehidupan yang harmonis. Karena mereka
yang berada di perguruan tinggi adalah manusia-manusia terpelajar maka
sejatinya setiap persoalan harus diselesaikan dengan cara terpelajar pula.
Sudah
saatnya kita berdewasa dalam melihat berbagai persoalan yang timbul di
tengah-tengah kita, perguruan tinggi merupakan harapan dan tumpuan bangsa dalam
melahirkan kader-kader terbaik untuk menahkodai Negara ini di masa depan,
mahasiswa dengan berbagai tanggungjawab intelektualnya seyogyanya mampu menjadi
refleksi sosok dengan sikap kritis dan berkepribadian luhur, sedang para
pemangku kebijakan kampus sudah seharusnya menciptakan iklim kehidupan kampus
yang dialogis dan kondusif yang akan mendorong para mahasiswanya untuk kaya
karya dan pengetahuan, demi tercapainya tridarma perguruan tinggi.