0

Diskusi itu Ritus

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:41 AM in

Anda seorang mahasiswa? Atau seorang yang tak lagi menyandang status mahasiswa, seorang pedagang kecil, penarik becak, pemulung, karyawan, pegawai negeri sipil, pengusaha, atau pejabat pemerintah? Apapun profesi yang sedang anda geluti saat ini saya yakin bahwa anda adalah orang-orang yang senantiasa berjibaku dengan berbagai persoalan dan problematika hidup, yah, masalah merupakan teman yang setia menemani perjalanan hidup setiap manusia dari yang remeh-temeh hingga yang membuat kepala serasa ingin pecah. Masalah bukan untuk dihindari dan dijauhi tetapi justru untuk dijadikan sebagai bahan ujian yang akan memproses kita menjadi manusia yang lebih dewasa dalam menyikapi hidup. 

Di banyak tempat, traning motivasi begitu ramai diadakan, seolah-seolah mengabarkan bahwa manusia-manusia modern sangat rentan mengalami kegalauan dan kegelisahan dalam menjalani kehidupan dimana kompetisi menjadi kaedahnya, itu dibuktikan dengan semaraknya setiap training motivasi yang diadakan baik oleh komunitas, organisasi kepemudaan, instansi pemerintahan,  hingga perusahaan. Kehidupan memang berkembang menjadi semakin kompleks sehingga masalah juga kian semakin bertambah dan rumit, sehingga motivator menjadi sebuah profesi baru yang cukup menjanjikan secara materi.

Betulkah manusia tak memiliki sumber motivasi dari dalam dirinya sendiri? Sehingga orang lain harus mengambil peran untuk memotivasinya, atau justru orang lain mampu menjadi sumber motivasi di luar diri kita? Tentunya akan banyak timbul persepsi bergantung perspektif yang digunakan, bagi saya setiap orang telah dianugerahi potensi sebagai modal untuk menjalani kehidupan, tinggal bagaimana potensi itu dimaksimalkan sebaik-baiknya. Harus difahami bahwa diri kita tidak dibentuk secara independen oleh diri pribadi kita, melainkan keluarga, lingkungan tempat kita beraktifitas, sekolah, orang-orang yang berinteraksi dengan kita, konsumsi buku dan produk audio-visual turut menyumbang pembentukan karakter dan kepribadian diri kita. Tanpa kita sadari, seringkali apa yang kita lakukan hanya merupakan imitasi dari apa yang pernah kita lihat dan dengar tanpa proses berfikir lebih jauh, sehingga banyak orang yang hanya mengulang-ulang apa yang telah orang lain lakukan, bicarakan bahkan fikirkan.

Karena kita adalah mahluk sosial, maka sebuah kemestian ketika orang lain turut mengisi kehidupan kita dalam berbagai lini, bahkan pada hal yang sangat privat sekalipun. Ada sebuah naluri alamiah dimana kita ingin orang lain memahami diri kita, walaupun kita tak meminta untuk itu, namun kita juga harus menyadari bahwa dalam relasi sosial kita akan diperhadapkan pada kondisi-kondisi dimana terjadi gesekan antara individu dengan individu lain, hal itu terjadi karena setiap individu memiliki ego masing-masing, baik ego diri  maupun ego identitas sosial-primordial, namun juga harus diingat bahwa kita memiliki potensi dan kekuatan untuk mengatur dan mengolah ego tersebut agar tidak menjadi alasan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain, sehingga tidak terjadi benturan individual yang kerap kali membesar dan memicu konflik sosial-komunal. Sehingga ada ungkapan “when you try to understand another people, another people will try to understand you” sama halnya dengan menuntut hak harus terlebih dahulu dengan memenuhi kewajiban, ketika kita ingin dihargai dan dihormati maka hargai dan hormatilah orang lain, karena tak ada manusia yang ingin diperlakukan secara tidak terhormat. Jika ingin dimanusiakan, memanusiakanlah! Sehingga inginnya kita adalah ketika segala masalah dan persoalan diselesaikan dengan cara dialog, sebagai cara yang paling elegan dan beradab.

Kondisi dimana banyak orang yang mudah dilanda pesimisme dan putus asa sebenarnya disebabkan oleh semakin berkurangnya ruang-ruang publik dimana manusia banyak mengahabiskan waktu luang untuk merajut harmoni kehidupan sosialnya, ruang-ruang kehidupan itu semakin tergusur oleh ruang-ruang komersil dimana gap sosial begitu terasa. Ditambah lagi layar kaca yang diharapkan mampu memberikan hiburan yang mencerahkan dan mendidik justru hanya menjadi ruang kosong yang justru mengarahkan masyarakat pada bentuk hiburan yang nihilistik, dimana orang-orang didalamnya hanya bisa mengolok dan menertawai kebodohan masing-masing, dengan model bercanda yang tak sama sekali menggelitik nalar dan mengandung kritik, semata-mata untuk memancing gelak tawa. 

Dilingkungan generasi muda, utamanya kalangan mahasiswa yang menjadi penghuni laboratorium manusia terpelajar (red-kampus) dimana masa depan dunia dan manusia diteliti, dibincangkan dan diperdebatkan juga nampak mengalami kelusuan, diskusi kian menjadi tabu bagi kebanyakan mahaiswa, jangankan untuk mengobrol tentang masalah sosial, ekonomi dan politik, bahkan untuk mengobrol tentang diri dan masa depan merekapun seolah tak lagi ada waktu dan kesempatan, atau paling tidak mendiskusikan materi-materi perkuliahan untuk sekedar memenuhi tanggungjawab sebagai mahasiswa, yang menyedihkan ketika kampus justru menjadi sarang orang-orang yang mudah mengalami kegalauan, sebenarnya galau itu adalah kemestian ketika yang digalaukan adalah persoalan sosial kemasyarakatan, bukan semata-mata persoalan individu yang kebanyakan menyangkut romantisme yang terlalu didramatisir. Manusiawi memang, tapi menjadi riskan ketika hal itu hanya melahirkan pribadi-pribadi yang manja, cengeng dan tak memiliki prinsip dan visi hidup yang jelas. Yang pasti bahwa masalah itu bukan sekedar untuk digalaukan berlarut-larut, tetapi untuk diselesaikan dengan cara-cara yang baik dan bijak.

Yah, kita sedang berada pada zaman dimana banyak orang tak lagi butuh memaknai hidup, hidup cukup untuk dijalani dan dinikmati sebelum mati. Karena mereka yang mati hanyalah mereka yang tak memberikan sumbangsih apa-apa bagi kehidupan. Setidaknya bukti bahwa tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, kemanusiaan dan keadilan senantiasa hidup dalam ruang idealitas masayarakat dan spirit mereka hadir dalam alam kesadaran mereka yang masih setia di jalur pengabdian dan perjuangan, karena keyakinan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain (masyarakat).

Sebenarnya tak perlu biaya mahal untuk membangun motivasi diri, kita hanya perlu sesering mungkin berdiskusi dengan orang lain, orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan memahami banyak hal, atau paling tidak berdiskusi dengan mereka yang bisa memberikan cara pandang, bukan hanya soal benar dan salah. Dengan berdiskusi kita akan mudah memahami berbagai hal, karena kita dibantu oleh pikiran-pikiran orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan, sehingga pikiran kita semakin terbuka untuk memilah-milih apa yang akan kita sepakati dan tidak, tanpa harus menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda. Dalam diskusi kita diajarkan untuk dewasa dalam menyikapi perbedaan, khususnya menyangkut perbedaan cara pandang bahkan keyakinan sekalipun, sehingga kita akan memahami bahwa di dunia ini pengetahuan itu tidak satu dan sempit, itulah mengapa Rasulullah Muhammad memerintahkan kita untuk belajar sejak dari buaian hingga liang lahat.

Diskusi tak selamanya harus dengan orang lain, kitapun bisa berdiskusi dengan diri kita sendiri, pada kondisi ini orang sering menyebutnya sebagai refleksi, yakni berdiskusi dengan alam kesadaran diri sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang kedirian dan kehidupan, yang jawabannya akan kita temukan lewat kontemplasi dimana kita akan mengulang semua memori masa lalu yang mampu kita jangkau, menyoal masa dimana kita hidup hari ini, lalu belajar memproyeksikan masa depan dengan penuh ketundukan kepada Sang Khalik. Menyadari kesalahan dan dosa, kemudian berkomitmen untuk berbuat kebajikan, inilah  yang kita kenal dalam Islam sebagai taubat, yaitu sebuah proses memaknai kehidupan untuk menghamba kepada Tuhan.

Banyak orang yang tak tertarik untuk berdiskusi, padahal di ruang diskusilah dunia ini didesain sedemikian rupa, kemerdekaan bangsa ini berawal dari diskusi para kusuma negeri, bahkan semua peubahan besar diskenariokan di meja-meja diskusi. Diskusi itu adalah ruang terbaik untuk membangun optimisme hidup, mereka yang jarang apalagi tak pernah berdiskusi atau hadir dalam ruang-ruang diskusi sangat rentan mengalami kegalauan hidup, berdiskusi membuat pikiran menjadi terang dan jiwa menjadi segar, pesimisme hilang. Diskusi adalah ritus dimana idealitas diadu dan realitas diskenariokan, bagiku itulah cara terbaik mengisi separuh dari hidup!
                                                                     

|
0

Ketika Golput Menjadi Pilihan

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:52 PM in

Pesta pemilihan wakil rakyat dari tingkat kabupaten/kota, daerah hingga pusat tinggal menghitung minggu, beberapa hari belakangan agenda kampanye begitu semarak, di beberapa tempat pagelaran kampanye dengan orkes musik masih menjadi pilihan sebagian besar partai politik, memilih dekat dengan para konstituen yang dibungkus dengan acara hiburan musik memang sah-sah saja, tetapi apakah hanya itu satu-satunya cara berkampanye yang mampu meningkatkan elektabilitas partai? Saya kira kita semua sepakat menjawab tidak. 

Partai politik sebenarnya menjadi pihak yang paling bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, karena ia merupakan rumah bagi kontestan-kontestan pesta politik yang meramaikan bursa calon legislatif hingga eksekutif yang akan dipilih oleh rakyat. Panggung kampanye tak seharusnya sekedar menjadi ruang orasi politik para juru kampanye (Jurkam) yang berapi-api, menabur janji-janji lama sebagai harapan baru kepada masyarakat, ketika rakyat diam menyimak dan turut mengiyakan semua yang masuk ke telinga mereka, mulailah suasana dibuat sehikmat dan semelankolis mungkin, dan terakhir  adalah bergoyang dan berjoget bersama untuk merayakan ketidakberdayaan masyarakat menerima janji-janji politik yang hanya menjadi pemanis lidah saat kampanye berlangsung, setelah terpilih rasa manis itu berubah menjadi menjadi pahit getir kehidupan akibat bencana kebijakan yang menyengsarakan.

Atas dasar itu kemudian sekelompok orang mengumandangkan kampanye menjadi Golongan putih (Golput) yaitu ketidakikutsertaan dalam memilih calon pemimpin dan wakil rakyat, sebabnya bisa karena kekecewaan yang terus terjadi berulang-ulang setiap pesta demokrasi berlangsung, atau sebagian kecil memang menolak demokrasi sebagai mekanisme transisi pemerintahan. Namun yang paling banyak terjadi adalah dikarenakan wabah kekecewaan yang mulai menjangkiti umumnya kalangan muda yang merasa bahwa ada sebuah proses yang salah dalam penyelenggaran pesta demokrasi di negeri ini. Kejenuhan melihat fenomena korupsi dan penyelewengan jabatan yang terus ramai diberitakan di layar kaca semakin menambah kegalauan para penganut golongan putih melihat kondisi bangsa ini. Sebenarnya mereka yang memilih untuk tidak memilih alias golput adalah mereka yang sangat peduli terhadap kondisi perpolitikan di negeri ini, hanya saja karena krisis kepercayaan yang mungkin telah mengkristal mendorong mereka untuk membuat pilihan instan untuk abstain dalam pemilihan umum yang akan digelar 9 april nanti. Walaupun bagi saya itu bukan sama sekali pilihan yang bijak.

Memang fenomena Calon legislatif (Caleg) hari ini menjadi sorotan khusus banyak kalangan, selain karena indikasi money politic masih kuat, juga karena sistem pencalonan calon anggota legislatif yang masih sarat dengan nuansa transaksioner, dimana kita bisa melihat daftar caleg banyak dihuni oleh kalangan berduit yang kebanyakan berlatar belakang pengusaha, sehingga kekawatiran bahwa kebijakan akan dikondisikan untuk kepentingan modal tak bisa dielakkan. Jangan sampai animo menjadi anggota legislatif bukan didasari semangat pengabdian kepada masyarakat tetapi semangat kerja proyek untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Maka dalam kondisi ini pilihan golput mungkin ada benarnya, walau hanya sedikit.

Ada sebuah kaedah yang mengatakan bahwa “jika kita tidak bisa mewujudkan semuanya, jangan tinggalkan seluruhnya” kaedah itu mengisyaratkan bahwa tak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, apalagi menyangkut sistem kehidupan, dalam hal ini kehidupan bernegara. Sehingga ketika sebuah idealitas tidak mampu kita wujudkan dalam realitas secara utuh, bukan berarti kita harus meninggalkan realitas itu kan? Ada banyak cara dimana kita bisa memperjuangkan idealitas itu dalam realitas yang ada. Saya kira semua orang sepakat bahwa pada pemilu kali ini banyak caleg yang tak memiliki kapasitas yang mumpuni, bahkan ada yang sebagian diantara mereka yang merupakan figur karbitan. Namun diantara sekian banyak caleg, mustahil tidak ada yang memiliki kualifikasi yang layak untuk dipilih, itulah mengapa kita harus menjadi pemilih cerdas, cerdas menentukan pilihan. Menjadi pemilih cerdas bukanlah hal yang sulit, untuk memilih calon anggota legislatif di semua level misalnya, kita tak mungkin mau membeli kucing dalam karung atau memancing ikan di air keruh. Mengetahui latar belakang para kandidat akan membantu kita menilai kapasitas mereka, apalagi dipermantap dengan mengecek apa saja yang telah mereka lakukan bagi masyarakat, kalau mereka adalah muka lama yang kembali mencalonkan diri, cara mengecek kelayakannya untuk dipilih kembali atau tidak adalah dengan melihat kontribusi yang telah mereka berikan untuk masyarakat selama menjabat sebagai wakil rakyat, jangan sampai mereka hanya mewakili masyarakatnya untuk hidup sejahtera dan menikmati kekayaan Negara tanpa pernah peduli pada rakyat yang diwakilinya. Bagi kandidat baru, cara mengecek kelayakan mereka bisa dengan melihat kontribusi nyata yang telah mereka lakukan bagi masyarakat sebelum ataupun setelah mencalonkan diri, sehingga  kerja-kerja pengabdian  yang telah  mereka lakukan teruji sebagai bentuk keshalehan sosial yang tidak dibuat-buat, melainkan telah menjadi karakter pribadi. Maka  ketika terpilih untuk duduk di parlemen mereka akan senantiasa memperjuangkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat.

Memilih golput memang menjadi hak setiap warga Negara, namun memilih untuk berpartisipasi memberi suara dalam pemilu nanti merupakan cerminan seorang warga Negara yang baik, mementingkan urusan banyak orang dari pada kekecewaan dan kejenuhan pribadi melihat problematika politik di negeri ini yang sebenarnya belum terlalu akut, saya kira optimisme untuk kehidupan politik bangsa yang lebih baik harus senantiasa dihidupkan, sehingga kita tidak terjebak dalam apatisme yang akan berujung pada sikap skeptis melihat bangsa kita didera berbagai macam persoalan.

Janganlah memilih mereka yang hanya menjadi penggembira atau yang hanya turut meramaikan pesta baliho dan spanduk dimana-mana yang membuat estetika kota dan jalan raya menjadi terusik, lalu setelah pesta demokrasi selesai mereka hilang entah kemana. Jangan pula memilih mereka yang mau membeli suara anda dengan nominal, karena sesungguhnya mereka itulah yang sama sekali tak pantas untuk dipilih, jika anda tetap ngotot menerima harga yang diberikan, maka anda secara sadar telah menyukseskan agenda korupsi di negeri ini. Pilihlah mereka yang masih berani berpolitik nilai ditengah maraknya gaya berpolitik transaksioner, karena mereka itulah para pejuang sejati yang akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.  Jangan biarkan kehidupan negeri ini ditentukan oleh price (harga) bukan lagi oleh value (nilai), jadilah pemilih yang cerdas dan bijak, suara anda tak begitu murah untuk dibeli dengan recehan, hasil di kotak suara menentukan arah kebijakan negeri ini, maka jangan sampai kehidupan politik anda digadaikan dengan selembar kertas.

|
0

Bait Pagi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:43 AM in

Pelan-pelan ada yang mengintip dari jendela
Seolah melirik penuh curiga
Kepalanya mendongkak
Matanya menyilaukan mata
Perlahan cahayanya terurai melingkupi kota
Menyingkirkan embun yang hinggap di bibir daun dan atap rumah warga

Ku lirik pergelangan tangan
Telah pukul enam lewat sekian
Samar-samar mulai terdengar dentuman roda-roda
Aku beranjak

Hasilnya belum seperdua
Kembali ku duduk menatap layar binar
Jari-jari beradu memberi kecupan
Maaf kalau sedikit kasar

Tinggal butuh sepenggal rangkaian
Ku tambah laju kerja komputer di balik jidad yang mulai berkerut
Komputer berpentium semesta
Singkatnya, bait-bait itu akhirnya utuh
Menjadi Kau ...

|
0

Jujur Vs Pura-Pura

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:51 AM in

Lebih baik kita jujur
Jujur tentang apa adanya
Dari pada kita terus berpura-berpura
Berpura-pura tentang apa yang ada

Jujurlah bahwa kita memang berpura-pura
Berpura-pura bahwa selama ini kita jujur
Jujur akan kepura-puraan
Lebih baik dari berpura-pura akan kejujuran

Nilailah diriku dan aku akan menilai dirimu
Dengan kejujuran
Bukan kepura-puraan
Karena kita akan bahagia karena kejujuran
Bukan karena kepura-puraan ...

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.