2

Karya "Akhir Tahun", Katanya !!!

Posted by Fadhlan L Nasurung on 6:44 AM in
Waktu dlm refleksi angka " 01-01-2013 " . . .

Kita merayakan akhir dari 2012 . . . 
Lalu menyambut Awal dari 2013 . . .
Tak mengerti pasti apa esensi dari simbolitas waktu itu . . .
Keberlaluannya begitu menyita . . .
Banyak yang rela menyatukan persepsi untuk sebuah konsepsi nihil . . .
Perayaan dari sebuah dimensi waktu . . .
Akhir tahun untuk sebuah momen refleksi . . .
Awal tahun (Tahun baru) untuk sebuah parade dan selebrasi . . .
Waktu seolah hanya menjadi ajang perayaan . . .
Semua ingin memeriahkan . . .

Menjelang suksesi tahun . . .
Disanalah waktu terkadang berteriak,, menjerit,, dan menangis . . .
Karena rangkaian tragedi ketersiasiaan . . .
Dimana keberakhirannya begitu dinanti . . .
Dengan pesta poranda . . .
Ritus seksualitas . . .
Hingga kembang hura extravagansa . . .

_ The end of the Time episode _

|
0

Jokowi-Foke, Media dan Kongsi Politik

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:32 AM in
Beberapa minggu yang lalu saya menulis tentang semarak Pemilukada DKI jakarta yang banyak menyita perhatian para kompasianer, sampai saat ini tema-tema politik antara rivalitas Jokowi-Foke masih menjadi trend di kompasiana, entah karena daya tarik kedua pasang calon yang memang fantastis, atau hanya sekedar sarana propaganda untuk meningkatkan grade popularitas ke dua calon gubernur tersebut. Hiruk-pikuk Pemilukada DKI jakarta memang sewajarnya memenuhi list berita di berbagai media, mengingat posisi DKI jakarta sebagai Ibu kota republik Indonesia, ditambah warna politik pada pemilukada ini memang memiliki corak yang sangat khas.

Joko Widodo, walikota solo yang mencalonkan diri pada Pemilukada kali ini secara tak terduga memimpin klasemen perolehan suara pada pemilihan putaran pertama, sosoknya yang sangat berbeda dengan politisi pada umumnya, merupakan jualan politik yang cukup  menjanjikan. Hingga tak heran pemberitaan tentang dirinya selalu menjadi yang incaran media. Apalagi sosok calon pendampingnya, Basuki (Ahok) sempat menjadi pembicaraan hangat akibat pernyataan kontroversial ketua DPR RI, Marzuki Ali yang menyerukan memilih pemimpin yang seiman.

Nampaknya Jokowi pantas menjadi selebriti politik untuk pesta demokrasi pemilukada kali ini, tingkat perhatian publik terhadap sosok dirinya kian hari semakin bertambah, apakah hal itu menjadi sinyal kuat meningkatnya elektabiltas masyarakat terhadap dirinya, atau hanya sekedar ajang fantasi untuk meminimalisir tingkat kekecewaan seandainya nanti dia tidak mampu memenangkan pemilihan gubernur putaran ke dua, tapi yang pasti masa depan jakarta ada di tangan masyarakat yang akan menentukan pilihan politknya sebagai bentuk penyerahan amanah dan tanggung jawab kepada kandidat yang akan terpilih nantinya.

Berbeda dengan Foke yang telah menjabat satu periode sebagai gubernur DKI Jakarta, tentunya sosoknya yang memiliki kedekatan primordial dengan kelompok etnis Betawi, yang merupakan etnis pribumi Ibukota Jakarta, menjadi sebuah kekuatan moral tersendiri untuk optimis bahwa dirinya dapat kembali terpilih untuk memimpin jakarta lima tahun kedepan.

Popularitas tokoh memang sangat mempengaruhi tingkat elektabilitasnya, namun itu bukan satu-satunya dalil untuk secara terburu-buru menentukan pilihan politik di bilik suara, karena jangan sampai arus dan mainstream politik di media adalah sebuah kongsi politik untuk memenangkan salah satu kandidat. Meskipun hal itu hanya merupakan spekulasi, namun kiranya juga perlu menyoal independensi media dalam kontestasinya di panggung politik, karena tidak dapat dipungkiri media memiliki peran yang signifikan dalam melakukan propaganda terhadap alam bawah sadar masyarakat, utamanya yang belum cukup memiliki senjata kritisisme.

Para pemilih dengan berbagai latarbelakang sosialnya kiranya dapat menjadi pemilih yang selektif, menjauhi pragmatisme politik serta menghindari apatisme politik. Karena menjadi pemilih yang cerdas dan tidak sekedar ikut-ikutan akan menghasilkan pemimpin yang benar-benar cakap dan memiliki integritas tinggi, sehingga nantinya mampu menyelasaikan berbagai persoalan yang pelik sekalipun. Dan semua itu diabdikan semata-mata untuk masyarakat dan kemajuan kota bekas Batavia itu.

|
0

Pak Jokowi, Ini Jakarta Bukan Solo!

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:18 AM in
banjir jakarta (sumber : news.viva.co.id)

Popularitas Joko widodo alias Jokowi semakin hari kian meningkat, mengungguli rival-rivalnya pada  Pilkada jakarta putaran pertama, semakin menjadikan optimisme sang walikota solo itu menjulang, apalagi dengan ikon politik “kotak-kotak” menjadikan tampilannya sangat khas dan unik, hingga membuat ibu kota Jakarta demam kotak-kotak.

Memang banyak pihak yang memprediksikan Jokowi dengan pasangan duetnya Ahok akan mengulang kemenangan pada putaran kedua nanti, dari tingkat elektabilitas pada putaran pertama, masyarakat terlihat antusias menyumbangkan suaranya untuk pasangan Jokowi-Ahok, meningkatnya tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi tidak terlepas dari biografi politiknya sebagai Walikota Solo. Prestasi Jokowi dalam memimpin Solo oleh banyak kalangan menilainya sangat membanggakan, bahkan Jokowi di elu-elukan warganya di Solo karena keberpihakannya kepada masyarakat kecil, sehingga menjadi salah satu Walikota terbaik di dunia layak disematkan kepada dirinya.

Lalu bagaimana dengan Fauzi Bowo, sang Gubernur yang bercokol di urutan kedua pilkada putaran pertama, nampaknya boleh mengidap sindrom was-was melihat ketokohan seorang Jokowi, bagaimana tidak sebagai seorang tuan rumah di kota Betawi dia harus menerima keunggulan sementara sang tamu “kotak-kotak”. Foke bisa saja berlagak sangat optimis dapat memenangkan pilkada putaran kedua nanti, namun melihat track recordnya selama menjadi gubernur DKI yang biasa-biasa saja tanpa sepak-terjang yang wah, membuat dirinya harus bekerja ekstra meyakinkan masyarakat untuk memilihnya kembali.

Jakarta denagan tingkat kesemrawutan yang kompleks, memang akan menjadi tantangan bagi siapa saja yang diamanahkan untuk memimpinnya, berbagai problematika sosial, sarana dan infrastruktur kota jakarta yang pelik membuat tingkat pengelolaanya harus extra full. Saat-saat kampanye sekarang ini memang menjadi ladang subur untuk melahirkan sejuta konsep untuk Jakarta kedepannya, namun kembali lagi bahwa sebuah konsep sebagus apapun terkadang akan bisu menghadapi realitas sosial yang akut, karena sebuah konsep tidaklah selalu dapat berjibaku dengan kenyataan yang selalu berdinamika. Jadi siapapun yang terpilih nantinya maka harus siap secara nalar dan mental untuk memberikan segala daya untuk mengelolah Jakarta.

Jokowi boleh saja dikatakan sukses memimpin Solo, namun untuk konteks Jakarta hal itu sama sekali tidak memberikan garansi, karena Solo dan Jakarta memiliki tingkat perbedaan aspek dan sektorial yang sangat jauh, maka kalau memang Jokowi benar terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta nantinya, maka selamat mengabdikan dirimu dan masyarakat akan selalu sigap menanti karya-karya mu...  

|
4

SABDA CINTA

Posted by Fadhlan L Nasurung on 6:33 PM in
Sebenarnya aku tak ingin ada air mata duka-luka
Aku hanya ingin semua bersuka-cita
Karena aku diciptakan sebagai anugerah terindah
Bagi semesta, sebagai sebuah manifestasi Empunya

Aku teringat kisah tentang adam-hawa
Sebuah epos tentang kontestasi Cinta di tanah surga
Berakhir dengan linangan air mata dosa
Bukan karena aku ternoda
Tetapi karena kebutaan melihat realitas Cinta
Menjelma derita atas penghianatan perintah Illahiah
Hingga jatuh dalam kumbangan sesal seribu tahun lamanya
Kemudian memeristiwai kodrat pertaubatan dirinya

Reka cerita Adam dan Hawa
Adalah diorema cinta paling menggetarkan dada
Ketika harus terpisah di dua kutub berbeda
Allah memenuhi janji pertemuan mereka
Dalam sebuah erotisme Cinta dua insan jelata
Ditengah eksotika Jabal rahmah
Mereka melepas beban kerinduan tiada tara
Berhikmad dalam nuansa hasrat penuh romantika
Itulah cikal bakal Kita (Generasi Manusia)

Pernah aku terlena oleh euforia selebrasi rasa
Karena candu akan silau arogansi citra
Ketika itu aku mengidap amnesia
Akan ajaran paripurna agama (Islam)
Akan existnya partikel Kebenaran logika
Akan Keluhuran norma-etika
Hingga harmoni estetika
Dalam totalitas nilai menghamba hanya kepada Zat dengan Universalitas_Nya yang tak terhingga
Maka sebuah ritus Cinta anak manusia
Harus tunduk tak berdaya
Di atas nikmat ibadah Cinta antara Hamba dengan Sang Maharaja
Allah Azza wa Jallah . . .


|
0

Aksara Romantika

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:04 PM in
Meluangkan waktu, menyisihkan tenaga dan pikiran, sejenak membawa diri menuju ruang utopis, skeptis, nan kasuistis. Mencoba memintal rangka-rangka kata menjadi sebuah rangkaian yang tak utuh, menyapa langit-langit imaji, bersenda dengan sekelumit partikel-partikel rasa dan emosi jiwa, menjelajah khazanah semiotik dengan sedikit menerawang kedalaman psiko-analitik,  sekedar untuk berefleksi.

Inilah lembar penuh tanda dan kata, mencoba berwacana tentang romantika dengan bahasa yang mungkin sedikit lebay, dan pesan yang mungkin tak sampai. Yah, maklumi saja, karena memang sang penulis bukanlah orang yang pandai merangkai. Sungguh tulisan ini hanya bermodalkan keberanian, dengan secuil pengetahuan, kedangkalan pemahaman, dan kelemahan intuisi, dengan sedikit intrik pengalaman pribadi.

Ini tentang sesuatu yang mungkin tak kita mengerti adanya, yang membuat kita bertanya-tanya, dan memang aneh selayaknya, hingga terkadang kita ragukan kebenarannya, karena mungkin kita  yang tak sepantasnya. Sesuatu itu bernama Romantika, yang terkadang tak mampu dijangkau oleh logika, karena ia bersemayam dalam kerumitan yang niscaya, maka biarlah subyektifitas berbicara.

Setiap manusia memiliki rasa dengan potensi suka dan cinta. Suka tidaklah berarti cinta, karena masing-masing memiliki tingkat totalitas rasa yang berbeda.  Suka merupakan kecenderungan rasa terhadap sesuatu yang lahir secara alamiah, sedangkan Cinta merupakan akumulasi rasa suka  yang telah mengkristal sedemikian rupa, ia bersifat naluriah, tak dapat direkayasa, apa lagi dipaksa.

Menjelaskan cinta secara teoritis adalah sebuah kegilaan, karena cinta masuk dalam kategori sesuatu yang tak terjelaskan (unexplainable), sungguhpun ada yang mampu berteori tentang cinta, itu hanya sekedar usaha nekat yang entah akan menemui penerimaan atau malah gugatan-penolakan. Bagi mereka yang mungkin tak percaya akan existnya Cinta, akan menganggap hal itu sebagai sebuah prasangka, dugaan belaka, dan spekulasi semata. Tetapi bagi mereka sang pecinta, cinta merupakan kebenaran yang tak terelakkan, dengan klaim bahwa karena cinta ada maka segala sesuatu itu ada (Causality).

Berbicara tentang cinta, maka kita akan memasuki sebuah dimensi kehidupan yang sangat dramatis, ia telah banyak  menelan korban raga dan jiwa, karena banyak yang rela terjatuh karena cinta, mabuk karena cinta, diperbudak oleh cinta, bahkan ada yang rela dan harus mati demi cinta. Sebenanya tidak ada yang salah dengan cinta, yang banyak terjadi adalah kesalahan dalam mencinta. Ada yang mendeklarasikan cinta karena motif nafsu belaka, ada  yang mendeklamasikan cinta karena motif materi semata, serta adapula yang mengaku cinta karena  cinta telah benar-benar memenuhi rongga rasa dalam dirinya.

Harus berkata apa lagi, huruf-huruf tak lagi mampu menjelma kata, karena apa yang bernama rasa adalah entitas tak terdefinisi. Sesungguhnya kata tak sepenuhnya dapat memanifestasikan rasa, hanya mampu sebatas merepresentasi dengan sedikit sentuhan-sentuhan estetis, dan polesan retoris.

Maka ketika beranjak menuju sebuah konklusi rasa, logika perlu mengambil tempat untuk mengeksplorasi lebih jauh dan dalam, karena terkadang ungkapan rasa hanyalah bualan penuh dusta, meminjam makna-makna yang menggetarkan dada, bak jelata mengharap derma.

Ekstasi cinta kadang menimpa mereka yang begitu menghamba kepada cita, bahagia, dan suka.  Dalam kedangkalan analisa mereka larut dalam euforia penuh absurditas. Mengharukan memang, karena cinta akan menguras segenap energi rasa dengan begitu polos, sehingga terkadang kita akan terbawa kedalam sebuah kondisi penuh dilema. Hingga akhirnya ketika cinta ternyata tak lagi mampu mencipta suasana hikmad, kita akan mudah mengidap ambivalensi, bahkan rentan mengalami kegalauan. Galau merupakan kondisi dimana jiwa dan pikiran berada diambang ketidakpastian, karena ego, emosi, dan rasa telah saling tumpang tindih, sehingga kestabilan psikis menjadi tertanggu.

Oleh karena fitrah manusia senantiasa ingin dicinta, maka Tuhan telah menganugerahi kita dengan segenap potensi kepekaan, agar mampu menangkap sasmita bahwa dimensi rasa ibarat sebuah panggung orkestra, dimana lantunan nada dan lirik akan membentuk sebuah estetika suara yang membahana, mengundang decak kagum dan takjub.

Kata merupakan satu variabel yang mungkin mampu memediasi rasa dan merefleksikan citra, sebelum sampai pada titik kulminasi dimana magma cinta tak lagi mampu membendung hasrat untuk memiliki dia yang dicinta, karena memendam hanya akan menyengsarakan jiwa.

Mencintai adalah sebuah ritus hidup yang sakral, jangan biarkan ia ternoda oleh profanitas nafsu sesat dan sesaat, hingga hanya akan menjadi epos sejarah yang kusam penuh bercak hitam, cerita cinta tak perlu didramatisir layaknya kisah laila-majenun atau romeo dan juliet, meskipun keduanya mewakili drama cinta dari timur dan barat. Cinta bukan untuk berakhir air mata duka, tetapi untuk membawa suka dan cita dalam hikmad ibadah hidup, memaknai cinta sebagai sebuah entitas illahiah akan mengantarkan kita pada kesadaran bahwa cinta hanya berhak dialamatkan kepada Dia Sang pemilik cinta, yang akan senantiasa memberi cinta kepada para hamba-Nya yang melakukan aktivitas, rutinitas, ritualitas dan aktualitas diri hanya karena dalih Cinta. Maka biarkan cinta menjadi alasan mengapa kita harus hidup dan mati, karena cinta adalah aksara Tuhan yang bersemayam di lauhul mahfudz, hanya mampu terjamah oleh cakrawala mahabbah, hakikat, dan ma’rifah.



|
0

Potret Rivalitas Pemilukada Sulsel

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:17 AM in
Pemilukada Sulawesi-Selatan masih menghitung bulan, proses pendaftaran kandidatpun baru selesai beberapa hari yang lalu, namun tensi politik sudah sangat terasa, media kampanye seperti spanduk dan baliho juga telah tampak membanjiri setiap sudut tempat-tempat strategis di berbagai daerah, berbagai agenda sosialpun mulai gencar dilakukan oleh para kubu calon yang akan meramaikan kontestasi memperebutkan kursi gubernur, dari beberapa pasang calon yang santer diberitakan, pasangan cagub-cawagub Sahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang dan Ilham Arif Sirajuddin-Abdul Aziz Kahar Muzakkar menjadi kandidat pasangan calon yang diprediksi akan bersaing ketat, mengingat dua calon gubernur dari pasangan tersebut merupakan tokoh sentral Sulawesi-selatan, Sahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur Sul-sel dan Ilham Arif Sirajuddin sebagai Walikota Makassar (Ibu kota provinsi Sul-sel), apa lagi kedua paket pasangan calon tersebut diusung oleh dua partai besar dan penguasa, Demokrat di kubu Ilham-Aziz dan Golkar di kubu Sahrul-Agus.

Pemilukada kali ini akan menjadi ajang adu gengsi antara dua tokoh yang juga merupakan pejabat publik yang dikenal luas di masyarakat, dengan mengandalkan jualan politik masing-masing, selain tentunya juga akan menjadi ajang unjuk kekuatan masing-masing partai pengusung yang notabene merupakan partai besar untuk skop sulawesi-selatan, berbagai diskusi dan debat publik yang ramai diadakan hingga kasus pembakaran posko pemenangan dan pengrusakan atribut kandidat yang dilakukan oleh oknum tak dikenal, merupakan sinyalemen tingginya tensi politik, sentimen kepentingan politik memang merupakan satu diantara banyak faktor pendorong terjadinya aksi kriminalitas menjelang pemilukada yang banyak ditunggangi oleh oknum-oknum yang bersaing untuk merebut ruang dengan menggunakan politik konspirasi, disamping politik transaksi sebagai koridor penarik simpati masyarakat secara tidak fair

Elektabilitas Tokoh 

Berkaca pada pemilukada DKI Jakarta putaran pertama dan kedua yang berhasil dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok, merupakan satu potret dunia politik yang mulai mengalami dinamika positif, dengan gaya berpolitik yang sangat khas, Jokowi berhasil menarik simpati masyarakat Jakarta dengan perolehan suara yang cukup signifikan. Sebagai walikota Solo yang dikenal berprestasi Jokowi dengan gaya dan penampilan yang sederhana menjadikan pribadi dirinya nampak menyatu dengan masyarakat dan berusaha sedekat mungkin memahami persoalan-persoalan yang mereka hadapi, Jokowi berhasil menampilkan sosok ketokohan dirinya untuk meyakinkan masyarakat bahwa ia layak memimpin Ibu kota negara Indonesia tersebut.

Untuk konteks pemilukada Sulawesi-selatan sosok calon merupakan hal yang mulai menjadi perhatian dan tolak ukur masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya, mengingat peran partai politik sebagai mesin utama pendulang suara sedang mengalami kemandegan dalam menarik simpati masyarakat, nampaknya masyarakat sudah bosan dengan janji-janji utopis yang sering dilontarkan para elit partai, meskipun dalam banyak agenda kampanye partai politik merupakan penggerak utama untuk memobilisasi massa, namun otoritas pemilih di balik kotak suaralah yang akan menentukan hasil akhirnya (final risult). Partai sebagai wadah politik bersifat kelembagaan lebih merupakan lumbung dana bagi para politisi, dengan daya tawar yang menjanjikan beberapa partai besar menjadi lembaga investasi politik, utamanya dari kalangan pengusaha. Karena nuansa politik transaksional masih menjadi intrik pemilukada, maka wajar ketika politik uang (money politic) masih mewarnai berjalannya suksesi pemerintahan yang diklaim menggunakan sistem demokrasi. Politik pencitraan yang juga menjadi jurus andalan para politisi nampaknya masih menjadi mantra lama untuk meraup simpati masyarakat.

Salah satu sisi strategis dari pertarungan politik di pilgub kali ini adalah komposisi paket pasangan calon, Agus arifin nu’mang masih setia menjadi pasangan duet sang komandan (Sahrul), sementara Abdul aziz kahar muzakkar akan mendampingi sang walikota (Ilham) setelah pada pemilukada sebelumnya menjadi calon gubernur. Dari proporsionalitas ke dua pasang kandidat, dimensi ketokohan menjadi yang paling mencolok, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap elektabilitas keduanya, apalagi masing-masing tokoh memiliki basis dukungan yang real.

Popularitas tokoh memang sangat mempengaruhi tingkat elektabilitasnya, namun itu bukan satu-satunya dalil untuk secara terburu-buru menentukan pilihan politik di bilik suara, karena jangan sampai arus dan mainstream politik populer dengan peran aktif media adalah sebuah kongsi politik untuk memenangkan salah satu kandidat.

“Bunglonisme” Politisi

Dandanan politik seperti sikap peduli dan empati kepada masyarakat sangatlah semarak di hari-hari kampanye hingga menjelang berlangsungnya prosesi pemilihan, sehingga para kandidat akan berusaha menjadwalkan sepadat mungkin agenda-agenda sosial yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, terjun langsung ke lapak-lapak pedagang di pasar tradisional, menjalin komunikasi dengan para supir angkot, tukang becak dan masyarakat kecil lainnya dengan berbagai profesi akan menjadi pemandangan yang sangat mengharukan sekaligus menggelitik, mengharukan karena demi meraih grade popularitas untuk meningkatkan elektabilitas ketika pemilihan berlangsung para calon siap bersandiwara menjadi “pengemis” suara masyarakat untuk memilih dirinya. Dan sangat menggelitik karena ternyata para calon juga memiliki skill berakting yang tidak kalah saing dengan para selebriti, dari memperagakan ekspresi empati dan sedih hingga tersenyum dan tertawa bersama masyarakat yang merupakan target politik (political targets). Semua itu merupakan bentuk sandiwara politik para kandidat gubernur sebagai sebuah fenomena “bunglonisme” politisi. Dimana para kandidat gubernur dituntut untuk siap berperan ganda di berbagai situasi dan kondisi masyarakat. Selain sebagai produk politik yang bakal laris, skill adaptif (bunglonisme) para kandidat  juga terbukti lebih maksimal dan irit (economical) daripada sekedar hanya berkoar-koar di pangung-panggung politik dengan semangat memobilisasi massa. Hanya saja pemandangan seperti itu hanya ramai di musim-musim kampanye politik, setelahnya hal itu menjadi sangat langka, mungkin inilah bukti bahwa sikap empati dan simpati para politisi, hanya merupakan fenomena musiman jelang perhelatan politik.

Pemilihan Gubernur (pilgub) kali ini akan menjadi pertarungan politik yang akan sulit diprediksi bahkan cenderung unpredictable, melihat kekuatan dan peluang masing-masing kandidat, selain tentunya menjadi ajang pembuktian kuat atau kroposnya bangunan demokrasi di Sulawesi-selatan. Ketika dalam prosesi kampanye nantinya banyak melahirkan sikap pragmatisme politik seperti politik uang (money politik), maka proses demokratisasi di tengah-tengah masyarakat masih jauh panggang dari api, namun ketika yang dihasilkan adalah apatisme politik seperti fenomena Golput massal, berarti masyarakat tengah mengalami fase kejenuhan karena melihat realitas kepemimpinan yang sedang mengalami krisis dimensional.


Siapapun yang akan terpilih nantinya semoga murni lahir dari prosesi demokrasi yang sehat, sehingga juga akan melahirkan pemimpin yang sehat baik secara moral maupun sosial. Karena sebuah kemenangan politik yang dicapai melalui cara-cara yang jujur dan adil, juga menjadi kemenangan rakyat yang selanjutnya akan termanifestasikan dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat. 

|
0

Kisah-Klasik Tawuran Antar Pelajar

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:10 PM in
Tawuran, dulu, kini dan entah sampai kapan 
(sumber : siradel.blogspot.com)


Jakarta . . .

Pagi itu udara tak begitu sejuk, layaknya di desa-desa yang masih asri, jalananpun sudah nampak ramai dengan kendaraan yang berjubel, saling kebut, dahulu-mendahului karena sang pengendara sedang berburu waktu. Jalan-jalan ibu kota memang senantiasa ramai-padat, apalagi di hari-hari sibuk, seperti hari kerja, sekolah dan aktifitas di luar rumah lainnya. Meskipun di hari libur sekalipun kemacetan ibu kota merupakan pemandangan rutin. Sehingga kadang kala orang-orang di buat bingung ketika hendak bepergian, antara memilih hari kerja atau hari lubur.

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, dari kejauhan nampak segerombolan anak bercelaba abu-abu terlihat tergesa-gesa, mereka membawa berbagai alat-alat yang terasa asing untuk anak yang berseragam sekolah, batu, kayu, besi, bahkan ada yang memegang celurit dan parang, ada apa gerangan?

Tak lama berselang sekelompok anak muda berseragam sama dari arah yang berbeda juga terlihat dengan benda-benda berbahaya di tangan, perkelaihanpun pecah, masing-masing kubu pelajar dengan tanpa rasa takut saling berhadap-hadapan, melempar, memukul dengan kayu, mengayun-ayunkan tali yang telah di ikatkan benda padat sekenanya, yah, sekenanya. Hal itu nampak menunjukkan mereka bukanlah orang-orang yang terlatih, berpengalaman, dan profesional, karena mereka bukanlah preman, bukan pula orang yang sedang mengamuk kesetanan, mereka hanyalah sekelompok anak muda yang ingin diakui keberadaannya, mereka ingin exist, tanpa tendensi dari kelompok lain.

Merekalah sekelompok anak muda yang belum dapat secara cerdas mengontrol emosi yang membatu, dengan cara berfikir apa adanya dan sejadinya, sehingga mereka kadang lupa mempertimbangkan “akibat”, hanya sibuk mencari-cari “sebab”.

Mereka juga hanyalah sekelompok pemuda yang merasa tak lagi memiliki ruang untuk mengekpresikan diri dalam ranah-ranah yang positif menurut kaedah umum, bisa karena minimnya perhatian orang tua yang tengah sibuk dengan rutinitas kerja, atau kealpaan pihak sekolah yang kurang mampu memberikan pendidikan dan menanamkan sikap dan budi pekerti luhur, yang pasti di balik tragedi itu ada pihak yang harus bertanggungjawab.

Saya juga pernah seperti mereka, memakai seragam abu-abu putih namun bedanya saya tidak pernah terlibat tawuran, hehe. Tapi ketika ditanya kenapa mereka tawuran? mungkin salah-satu jawabannya kurang lebih seperti ini:

Kami terpaksa Tawuran, untuk menjaga gengsi sekolah, kami harus membuktikan bahwa siswa sekolah kamilah yang paling Jago dan terhebat, walaupun dalam hal adu jotos hingga tawuran sekalipun.

Yah,, sekali lagi mereka butuh bimbingan dan pembinaan yang lebih, mereka adalah sekelompok anak muda yang tengan disibukkan agenda pencaharian jati diri. Dan tentunya kita tidak ingin proses pecaharian itu dicekcoki oleh sikap dan perilaku kekerasan hingga berujung tawuran.



|
0

Mainstream Politik, Antara Pragmatisme dan Apatisme

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:22 AM in
sumber : okedir.com

Di Indonesia suksesi pemerintahan secara sporadis akan diselenggarakan di beberapa daerah, nuansa pemilukada yang diklaim merupakan salah satu “pesta demokrasi rakyat” nampaknya hanya sebentuk propaganda untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat luas, kendati telah diberlakukan sistem pemilihan secara langsung tanpa proses legislasi, tetap saja intrik capital masih menjadi fenomena arus politik dominan, politik sudah menjadi sebuah komoditi bernilai jual tinggi, itu berarti kekuasaan merupakan sebuah capaian politik yang tidak bisa lepas dari kaedah transaksional, karena hari ini suara rakyat dapat dibeli dengan nominal maka idealitas sistem demokrasi yang senantiasa dipuja, tak lebih dari sebuah konsepsi yang penuh dengan cacat praksis, utopis dan anarkis, mengapa demikian?

Dinamika kehidupan berpolitik merupakan sebuah kodrat yang harus disikapi secara dewasa, karena politik tidak bisa lepas dari trend perkembangan zaman yang senantiasa dipengaruhi oleh kooptasi hegemoni, kapitalisme yang merupakan anak kandung dari liberalisme kini menjadikan politik sebagai sebuah wilayah komersil, layaknya pasar bebas yang menciptakan ruang-ruang kompetisi untuk menghidupkan nalar material sebagai sebuah tuntutan bagi manusia yang merupakan mahluk ekonomi (homo economicus), dunia politik kini menjadi sebuah ladang ekonomi yang sangat menjanjikan. Maka berpolitik tidak lebih dari sekedar upaya aktualisasi diri untuk memenuhi syahwat materi, bukan sebagai sarana aspirasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat.

Politik kemasyarakatan merupakan sebuah nalar politik yang kurang dimiliki para politisi saat ini, karakter berpolitik yang beretika dan bermoral yang seharusnya menjadi jati diri para politisi sedang mengalami pembusukan akibat orientasi politik yang salah arah, karena berpolitik hanya dimaknai sebagai sebuah tindakan pro-aktif untuk meramaikan kontestasi perebutan kekuasaan.

Dalam dikotomi sikap berpolitik, pragmatisme dan apatisme politik merupakan dua sikap poitik dominan yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Pragmatisme politik dilatarbelakangi oleh nafsu profit oriented dalam berpolitik, sehingga untuk mendulang sebanyak-banyaknya dukungan dari masyarakat trick money politik masih menjadi jurus andalan para politisi. Adapun masyarakat yang menjadi pemilih akan secara legowo menerima angpau politk tersebut, mengingat terkadang seorang pemimpin yang terpilih akan mengalami amnesia terhadap kehidupan masyarakatnya ketika telah larut dalam euforia kekuasaan, maka mengambil keuntungan ketika prosesi kampanye para kandidat sedang berlansung, menjadi pilihan instan masyarakat dari pada tidak mendapat apa-apa sama sekali setelah terpilihnya pemimpin tersebut.

Apatisme politik merupakan sebuah sikap yang lahir dari kelompok masyarakat yang telah sampai pada titik jenuh melihat realitas kehidupan politik yang tidak sehat, timpang, dan penuh sandiwara. Bisa juga karena tidak adanya sosok kandidat yang dinilai kredibel dan pantas menjadi pemimpin. Sehingga lahir sebuah kelompok politik yang dikenal sebagai golongan putih (golput). Kelompok ini biasanya banyak dimotori oleh mereka yang kecewa terhadap suksesi pemerintahan yang cenderung seremonialistik, hanya menghabiskan banyak anggaran namun pasca suksesi tidak ada perubahan positif signifikan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Krtisisme politik adalah sebuah sikap politik yang paling ideal, dimana masyarakat akan menggunakan hak suaranya untuk secara cerdas memilih peminpin yang benar-benar memiliki kapabilitas yang mumpuni serta berpihak kepada rakyat, memilih dengan hati nurani tanpa iming-iming materi. Hanya saja intrik politik uang terkadang menjadi tembok nurani yang menyeret masyarakat ke arah pragmatisme politik. Lalu bagaimana peran partai politik sebagai lembaga yang senantiasa mewadahi berbagai aspirasi masyarakat.

Peran partai hari ini tak lebih sebagai mesin pendulang uang bagi para politisi dalam pembiayaan kampanye politiknya, tidak heran ketika posisi-posisi strategis di banyak partai politik dihuni oleh para pengusaha, sebagai sebuah kongsi politik antara pengusaha dan penguasa. Sehingga nantinya kapling kebijakan yang memihak kepada para pengusaha dapat dengan mudah digoalkan. Ketika nalar politik uang masih menjadi corak budaya berpolitik di Indonesia, maka konsepsi demokrasi “Suara rakyat suara Tuhan” tinggallah menjadi sebuah fosil sejarah, karena apa yang terjadi hari ini adalah “Suara uang suara rakyat”, ketika uang berbicara maka segala kepentingan politik dapat segera terkondisikan.

|
0

Semarak MAPABA PMII Cab. Gowa

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:40 AM in

Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) di lingkup Universitas Islam Negeri Alauddin  (UIN) baru saja usai, berbagai agenda akademik kampus kini menanti para Mahaiswa Baru (MABA), tak ketinggalan berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus juga memenuhi  kolom-kolom informasi di sudut-sudut setiap gedung fakultas. Agenda penerimaan mahasiswa baru juga menjadi momentum perekrutan anggota baru  berbagai lembaga kemahasiswaan, salah satu lembaga kemahasiswaan ekstra kampus yang terbesar di UIN Alauddin adalah Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi kemahasiswaan nasional ini baru saja melaksanakan kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) pada 9-11 agustus 2012, bertempat di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Pallangga Gowa, kegiatan ini diikuti lebih dari 150 mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Ini merupakan MAPABA perdana di tahun akademik baru yang diselenggarakan oleh pengurus PMII Komisariat UIN Alauddin dan pengurus Rayon Fakultas sejajaran UIN Alauddin.

Antusiasme peserta yang memenuhi aula pesantren menjadi pemandangan yang sangat berkesan, apalagi materi-materi yang disajikan sangat menarik dan membuka wawasan pengetahuan, itu terbukti dari testimonial beberapa peserta yang mengaku sangat senang dan bangga dapat menjadi bagian dari prosesi kegiatan tersebut sejak awal hingga akhir, MAPABA yang merupakan kegiatan rutin pasca penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi menjadi satu wadah rekruitmen anggota organisasi yang merupakan anak kandung dari Nahdlatul Ulama tersebut.

Kegiatan tersebut merupakan satu langkah kongkrit PMII dalam membangun geliat intelektual mahasiswa baru yang tentunya akan diperhadapkan pada berbagai macam fenomena sosial di dunia kampus, mengingat mereka merupakan target utama indoktrinasi berbagai macam kepentingan, untuk itu membekali mereka dengan suplai pengetahuan yang cukup akan membantu mereka untuk memproteksi diri dari proses ideologisasi yang tidak sehat, sehingga mereka secara cerdas dapat memfungsikan potensi nalar untuk memposisikan diri sebagai frame identitas sosialnya.

MAPABA yang juga merupakan level awal dalam proses kaderisasi di PMII diharapkan mampu menjadi batu loncatan para mahasiswa baru dalam mengembangkan potensi diri dan membangun kualitas intelektualnya, dengan sinergitas nalar dan mental sebagai sebuah batang tubuh untuk menggerakkan semangat beramal shaleh di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

|
0

Menyongsong Kampung Bahasa Sulawesi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 2:39 PM in ,

sumber : www.fkbs.org

"Pendidikan alternatif ala Kampung Bahasa Pare & Peluang Kampung Bahasa Sulawesi”

Itulah tema diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), pada hari kamis 6 september 2012 kemarin yang bertempat di Politeknik Negeri Ujung pandang, dengan dukungan beberapa lembaga bahasa Inggris kampus, English club, dan praktisi serta pemerhati pendidikan, nampaknya Kampung Bahasa Sulawesi yang mulai mewacana beberapa tahun terakhir akan menemui titik terang. Kepala dinas pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi-selatan, Drs. H. Abdullah Djabbar, M.Pd dan Direktur sekolah Islam Athira Makassar, Drs. Edi Sutarto, M.Pd, menjadi pembicara utama pada agenda diskusi tersebut, didampingi oleh penulis buku ” Pare dan Catatan Tak Usai”, A. Zulkarnain yang juga merupakan dewan pendiri Forum Kambung Bahasa Sulawesi (FKBS).

Diskusi publik pertama yang diselenggarakan oleh FKBS tersebut merupakan satu media memobilisasi dukungan dari berbagai pihak untuk turut menyumbangkan ide dan gagasan tentang rencana pendirian Kampung Bahasa (Inggris) Sulawesi, semakin meluasnya dukungan dari para tokoh pendidikan nampak dari penjelasan Drs. Edi Sutarto yang menaruh optimis penuh terhadap konsep pendidikan alternatif yang diperjuangkan FKBS, ditambah suntikan semangat dari pemegang otoritas pendidikan Sulawesi-selatan Drs. H. Abdullah Djabbar yang juga mendukung sepenuhnya rencana tersebut, bahkan siap membantu dan menjadi fasilitator demi kesuksesan pendirian Kampung Bahasa Sulawesi.  

Inisiatif mendirikan Kampung Bahasa Sulawesi, berawal dari keperihatinan terhadap kondisi dunia pendidikan di Indonesia dari berbagai segi, salah satunya adalah persoalan kualitas pendidikan, bisa dibayangkan mereka yang hanya belajar satu tahun di Pare, kediri dengan fokus misalnya bahasa Inggris dapat mengungguli kualitas keilmuan mereka yang belajar bahasa Inggris lewat bangku perkuliahan. Akhirnya dari diskusi-diskusi yang intensif dilaksanakan oleh sebuah organisasi kedaerahan pelajar asal sulawesi yang berkedudukan di Pare, Association of Sulawesi Students (ASSET), wacana kampung bahasa Sulawesi semakin meluas, dan mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, maka dengan dorongan semangat tersebut dibentuklah Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS) sebagai wadah independent untuk mengawal  terwujudnya tujuan tersebut, yang salah satunya dengan mengagendakan berbagai kegiatan stimulus untuk mempercepat berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi.

Kampung Bahasa Pare yang terletak di Kecamatan Pare, kab. kediri Jawa Timur, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mampu menjadi sentral pembelajaran bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) yang terjangkau dengan coraknya yang sangat khas, memotivasi anak-anak muda asal Sulawesi yang pernah belajar di Pare untuk membentuk sebuah kawasan pendidikan dengan konsep dan metodologi pembelajaran kurang lebih ala Pare di Sulawesi. Dari segi potensi dan sumber daya manusia peluang berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi akan menjadi harapan baru bagi dunia pendidikan, mengingat mayoritas pelajar luar pulau Jawa yang datang ke Pare adalah pelajar asal Sulawesi, hal itu merupakan bukti tingginya minat belajar masyarakat Sulawesi, maka rencana  pendirian Kampung Bahasa Sulawesi harus senantiasa didukung oleh semua kalangan.

Kampung Bahasa Sulawesi yang telah lama dicita-citakan akan menjadi salah satu prototipe dunia pendidikan non-formal  yang akan menjadi wadah transformasi pengetahuan yang aktif, berkaca pada kesuksesan kampung Bahasa Pare yang telah melahirkan puluhan ribu alumni, kampung bahasa sulawesipun nantinya diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi yang unggul. Dalam grand concept Kampung Bahasa Sulawesi, ada lima nilai yang akan menjadi landasan utama dalam menjaga iklim pendidikan dan harus dijaga oleh semua kalangan yang akan meramaikan keberhidupan Kampung Bahasa Sulawesi nantinya, yakni prinsip pendidikan yang murah, merakyat, berkualitas, berkarakter dan religius, kelima nilai tersebut harus menjadi ruh yang akan menciptakan nuansa pendidikan yang ideal, karena tujuan didirikannya kampung bahasa ini adalah untuk melawan elitisasi pendidikan yang  menggusur hak rakyat kecil untuk belajar secara layak,  mengimbangi konsep pendidikan  sekuler yang cenderung memisahkan kecerdasan nalar-intelektual dengan karakter dan moralitas, serta membukitkan  bahwa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tidak harus dengan biaya yang selangit, konsep pendidikan seperti itu merupakan sebuah cita-cita ideal,  tinggal bagaimana berjibaku dengan waktu dan konsisten mengawal agenda mulia tersebut, berdirinya kampung bahasa di kampung sendiri akan segera terwujud.

Sebenarnya geliat pendidikan alternatif dengan fokus kebahasaan telah tumbuh subur di Sulawesi dan Sulawesi-selatan pada khususnya, hal itu ditandai dengan semakin menjamurnya kelompok-kelompok bahasa Inggris (english club) di kampus-kampus dan tempat-tempat strategis seperti benteng Rotterdam dan masjid Al-markas al-islami Makassar, di beberapa daerah juga banyak berdiri lembaga-lembaga kursus yang umumnya dimotori oleh alumni kampung bahasa Pare, nantinya entitas-entitas kelompok tersebut diharapkan dapat berkontribusi dan terlibat aktif dalam merealisasikan sebuah lokalisasi pendidikan bahasa Inggris sesuai dengan rencana FKBS yakni perkampungan bahasa.

Pemilihan lokasi yang kondusif  juga merupakan hal yang sangat penting, mengingat untuk menghadirkan sebuah lokalisasi pendidikan yang sehat, posisi  geografis wilayah dan kondisi sosiologis masyarakat juga harus diperhatikan. Saat ini ada beberapa opsi daerah yang diajukan, yakni kawasan yang terletak di Kabupaten Bone, Maros, Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba Sul-sel,  mengingat wilayah di empat kabupaten tersebut memiliki posisi yang cukup strategis, namun tentunya keputusan akhir (fnal result) terlebih dahulu akan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang dan terukur dari hasil observasi wilayah nantinya.

Berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi nantinya diharapkan mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi daerah lain untuk menciptakan kampung-kampung pendidikan, demi pemerataan kecerdasan, karena cerdas dan berpendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang secara jelas termaktub dalam Undang-undang dasar negara ini, maka ketika pemerintah tidak mampu memenuhi amanat konstitusional tersebut, maka rakyat harus mengambil peran-peran strategis untuk mewujudkannya, minimal harapan tu dapat terwujud dalam skala lokal dan kemudian secara bertahap akan terlaksana secara nasional. Semoga!



|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.