0

Mainstream Politik, Antara Pragmatisme dan Apatisme

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:22 AM in
sumber : okedir.com

Di Indonesia suksesi pemerintahan secara sporadis akan diselenggarakan di beberapa daerah, nuansa pemilukada yang diklaim merupakan salah satu “pesta demokrasi rakyat” nampaknya hanya sebentuk propaganda untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat luas, kendati telah diberlakukan sistem pemilihan secara langsung tanpa proses legislasi, tetap saja intrik capital masih menjadi fenomena arus politik dominan, politik sudah menjadi sebuah komoditi bernilai jual tinggi, itu berarti kekuasaan merupakan sebuah capaian politik yang tidak bisa lepas dari kaedah transaksional, karena hari ini suara rakyat dapat dibeli dengan nominal maka idealitas sistem demokrasi yang senantiasa dipuja, tak lebih dari sebuah konsepsi yang penuh dengan cacat praksis, utopis dan anarkis, mengapa demikian?

Dinamika kehidupan berpolitik merupakan sebuah kodrat yang harus disikapi secara dewasa, karena politik tidak bisa lepas dari trend perkembangan zaman yang senantiasa dipengaruhi oleh kooptasi hegemoni, kapitalisme yang merupakan anak kandung dari liberalisme kini menjadikan politik sebagai sebuah wilayah komersil, layaknya pasar bebas yang menciptakan ruang-ruang kompetisi untuk menghidupkan nalar material sebagai sebuah tuntutan bagi manusia yang merupakan mahluk ekonomi (homo economicus), dunia politik kini menjadi sebuah ladang ekonomi yang sangat menjanjikan. Maka berpolitik tidak lebih dari sekedar upaya aktualisasi diri untuk memenuhi syahwat materi, bukan sebagai sarana aspirasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat.

Politik kemasyarakatan merupakan sebuah nalar politik yang kurang dimiliki para politisi saat ini, karakter berpolitik yang beretika dan bermoral yang seharusnya menjadi jati diri para politisi sedang mengalami pembusukan akibat orientasi politik yang salah arah, karena berpolitik hanya dimaknai sebagai sebuah tindakan pro-aktif untuk meramaikan kontestasi perebutan kekuasaan.

Dalam dikotomi sikap berpolitik, pragmatisme dan apatisme politik merupakan dua sikap poitik dominan yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Pragmatisme politik dilatarbelakangi oleh nafsu profit oriented dalam berpolitik, sehingga untuk mendulang sebanyak-banyaknya dukungan dari masyarakat trick money politik masih menjadi jurus andalan para politisi. Adapun masyarakat yang menjadi pemilih akan secara legowo menerima angpau politk tersebut, mengingat terkadang seorang pemimpin yang terpilih akan mengalami amnesia terhadap kehidupan masyarakatnya ketika telah larut dalam euforia kekuasaan, maka mengambil keuntungan ketika prosesi kampanye para kandidat sedang berlansung, menjadi pilihan instan masyarakat dari pada tidak mendapat apa-apa sama sekali setelah terpilihnya pemimpin tersebut.

Apatisme politik merupakan sebuah sikap yang lahir dari kelompok masyarakat yang telah sampai pada titik jenuh melihat realitas kehidupan politik yang tidak sehat, timpang, dan penuh sandiwara. Bisa juga karena tidak adanya sosok kandidat yang dinilai kredibel dan pantas menjadi pemimpin. Sehingga lahir sebuah kelompok politik yang dikenal sebagai golongan putih (golput). Kelompok ini biasanya banyak dimotori oleh mereka yang kecewa terhadap suksesi pemerintahan yang cenderung seremonialistik, hanya menghabiskan banyak anggaran namun pasca suksesi tidak ada perubahan positif signifikan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Krtisisme politik adalah sebuah sikap politik yang paling ideal, dimana masyarakat akan menggunakan hak suaranya untuk secara cerdas memilih peminpin yang benar-benar memiliki kapabilitas yang mumpuni serta berpihak kepada rakyat, memilih dengan hati nurani tanpa iming-iming materi. Hanya saja intrik politik uang terkadang menjadi tembok nurani yang menyeret masyarakat ke arah pragmatisme politik. Lalu bagaimana peran partai politik sebagai lembaga yang senantiasa mewadahi berbagai aspirasi masyarakat.

Peran partai hari ini tak lebih sebagai mesin pendulang uang bagi para politisi dalam pembiayaan kampanye politiknya, tidak heran ketika posisi-posisi strategis di banyak partai politik dihuni oleh para pengusaha, sebagai sebuah kongsi politik antara pengusaha dan penguasa. Sehingga nantinya kapling kebijakan yang memihak kepada para pengusaha dapat dengan mudah digoalkan. Ketika nalar politik uang masih menjadi corak budaya berpolitik di Indonesia, maka konsepsi demokrasi “Suara rakyat suara Tuhan” tinggallah menjadi sebuah fosil sejarah, karena apa yang terjadi hari ini adalah “Suara uang suara rakyat”, ketika uang berbicara maka segala kepentingan politik dapat segera terkondisikan.

|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.