0

Simpul Disharmonisasi Ummat Beragama

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:23 PM in

sumber : padangekspres.co.id


Aksi  kekerasan berkedok agama kini kembali terulang, setelah beberapa tahun terakhir menimpa jemaah Ahmadiyah, kali ini kekerasan juga dialami warga Syiah di Sampang Madura, massa yang mengamuk membakar beberapa pemukiman warga Syiah, tidak hanya kerugian material, aksi anarkis warga juga menjatuhkan korban jiwa, yang memperihatinkan konflik tersebut melibatkan dua kubu yang notabene beragama Islam, agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Ummat Islam Syiah yang tengah mengalami jeritan psikologis akibat tragedi tersebut memilih untuk mengungsi ketempat-tempat yang dinilai aman dari teror kebrutalan massa. Aparat keamanan yang segera dikirim kelokasi bagaikan pahlawan kesiangan yang hanya mendapati puing-puing rumah warga hangus terbakar dan tak mampu lagi mencegah jatuhnya korban jiwa. Sehingga kekecewaan terhadap negara tinggallah reaksi pasif dari bebagai kalangan yang beramai-ramai mengecam aksi kekerasan tersebut. Minimnya toleransi dan buruknya kinerja aparat keamanan, dua hal yang mungkin menjadi kambing hitam penyebab terjadinya konflik tersebut, minimal untuk meyakinkan masyarakat bahwa faktor kulturallah yang menjadi reaktor utama meletusnya tragedi sosial tersebut.

Aksi kekerasan yang banyak menimpa kaum minoritas merupakan indikasi mandulnya peran negara dalam menjaga stabilitas keamanan masyarakat, disamping semakin menguatnya sentimen perbedaan pemahaman di tengah-tengah masyarakat, juga akibat kurangnya peran para tokoh agama dalam membangun kedewasaan beragama. Kriminalitas yang membawa-bawa nama agama merupakan satu ancaman disintegrasi masyarakat Indonesia yang plural, sehingga harus segera diselesaikan dengan menggunakan cara-cara yang konstruktif untuk meredam terjadinya konflik yang semakin besar. 

Tragedi Klasik 

Issue-issue sektarian yang belakangan kian marak, menjadi salah satu tembok sosial yang banyak memicu terjadinya konflik, dalam kurun waktu lima tahun terakhir setidaknya ada beberapa konflik berlatarbelakang perbedaan keyakinan yang melanda ummat Islam di Indonesia, salah satu yang terbesar adalah yang menimpa jemaah Ahmadiyah. Kurangnya  jaminan keamanan bagi warga minoritas merupakan satu sinyal gagalnya proses demokratisasi di negeri ini, kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang secara jelas diatur dalam kitab suci negara (UUD), hanyalah murni menjadi konsepsi luhur yang miskin praksis, sehingga kasus demi kasus kian memperparah rekor kekerasan bercorak primordial yang terjadi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, maka wacana negara gagal memang layak dialamatkan kepada Indonesia yang tak lagi mampu menjaga kodrat kebhinekaannya. 

Ada kemungkinan konflik komunal yang terjadi di Sampang merupakan buntut dari luapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang seakan lupa dengan derita struktural yang dialami masyarakatnya yang sudah sedemikian paraunya meneriakkan ketidakadilan yang semakin berjalan sistemik, negara ini nampaknya hanya sibuk merancang agenda pembangunan sementara para wakil rakyat asyik menggelar agenda study banding ke luar negeri dengan menghabiskan anggaran negara yang merupakan uang rakyat, sangat paradoks dengan nasib yang menimpa masyarakat yang kian terancam hidupnya akibat maraknya aksi kanibalitas  (homo homini lupus) yang kian mencekam. Tak ingin dikatakan gagal mengelola negara, ketika konflik meletus maka buru-buru sang pemegang kebijakan dengan peran media menyoroti Sampang dengan keperihatinan yang mendalam, sungguh sangat dramatis. Tidak sampai disitu, saling tuding-menuding dan lempar tanggungjawab menjadi agenda senayan dan istana untuk menghindari kebenaran sebagai pihak yang paling andil atas terjadinya tragedi kemanusiaan tersebut.

Nampaknya negara ini memang didesain sebagai neraka bagi warga minoritas, agar menjadi inferior di atas superioritas warga mayoritas, sebuah ironi bagi bangsa yang telah mendeklarasikan diri majemuk dan plural, namun menjadi sangat kontradiktif dengan perlakuan yang tidak manusiawi dari mereka yang sewenang-wenang memonopoli otoritas sebagai pemegang kebenaran (truth claim), sehingga dengan kepercayaan diri yang berlebihan (over confident) menstigmatisasi mereka yang kecil secara kuantitas kafir dan layak mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Dan proses itu terus dibiarkan hingga mencapai klimaksnya dan kerusuhanpun tak dapat dihindari.

Konflik sosial-komunal dengan berbagai coraknya, bukanlah persoalan baru di negara ini, sejak orde baru menjadi tuan di negeri ini, berbagai kerusuhan dengan issue primordial, seperti kerusuhan antar suku, etnis dan agama sudah sering terjadi dengan korban nyawa yang tidak sedikit, di Indonesia ada beberapa titik rawan konflik yang butuh perhatian lebih dari negara, mengingat kerusuhan tersebut juga sering timbul akibat tendensi ekonomi-politik dengan segregasi kepentingan yang saling tumpang-tindih, sehingga menjadikan masyarakat sebagai tumbal dengan intrik agama, perbedaan keyakianan dan pemahaman.

Eskalasi konflik yang sewaktu-waktu dapat menyeruak akibat adanya polarisasi kelompok dengan egonya masing-masing, juga mungkin akan terjadi di daerah lain, oleh sebab itu pemerintah wajib memberlakukan sistem peringatan bahaya dini (early warning system) untuk mencegah berulangnya konflik sosial-komunal seperti yang terjadi di Sampang. Kita tentunya tak ingin kerusuhan yang juga pernah terjadi di Sampit, Ambon dan Poso dan daerah lainnya terulang kembali, negara ini sudah sedemikian kronisnya dengan ketidakpastian sosial yang menimpa masyarakat di berbagai lini. Maka sudah menjadi kewajiban negara melakukan proteksi kepada setiap warganya tanpa dikotomi sosial.

Kedewasaan beragama dengan menerima perbedaan pemahaman secara bijaksana dapat menghindarkan terjadinya radikalisme fundamental yang cenderung reaktif-emosional, karena secara rasional agama Islam adalah agama yang sejuk dan inklusif, jauh dari nilai-nilai kekerasan dan ekslusifitas, ketika itu dapat diinternalisasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka yakin dan percaya tragedi konflik antar ummat Islam dan ummat beragama lain tidak akan terjadi, sebagaimana kata mantan Presiden Almarhum Abdurrahman Wahid (Gusdur), “Kedamaian hanya akan hadir di tengah orang-orang yang meyakini adanya Tuhan”, maka sebagai masyarakat yang beragama menjaga perdamaian merupakan sebuah manifestasi mutlak dari pengakuan keber-Tuhanan, karena Islam adalah agama yang membawa kerahmatan secara universal (rahmatan lil alamin). Maka sensitifitas pemahaman  yang cenderung fanatik-dekstruktif seharusnya tidak menjadi dalil untuk menjustifikasi terjadinya marginalisasi kaum minoritas, karena mozaik keberagamaan merupakan sebuah sunnatullah yang harus kita terima dan patut kita syukuri.

|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.