0
Membangun Kedewasaan Beragama
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
11:29 AM
in
Opini
Tragedi kemanusiaan yang baru-baru ini menimpa warga Syiah di Sampang Madura, merupakan satu prototipe gambaran masyarakat yang terabaikan, negara yang memiliki kewajiban penuh melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman pelanggaran HAM, nampaknya tengah mengalami kemandulan. Aksi kekerasan dengan pengrusakan berdalih agama kian marak terjadi, setelah juga pernah menimpa jemaah Ahmadiyah. Marginalisasi kaum minoritas semakin memperburuk citra dunia Islam sebagai agama yang damai dan sejuk, agama yang diklaim memiliki jumlah pemeluk terbesar di Indonesia ini sedang mengalami distorsi, sebagian pemeluknya tengah gagap menghadapi realitas perbedaan pemahaman (Difference shock) yang murni lahir dari dinamika pengetahuan keislaman yang luas.
Sebagai negara
dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, Indonesia akan senantiasa
dibayang-bayangi momok konflik sosial-komunal yang sewaktu-waktu dapat terjadi,
perhatian pemerintah terhadap kondisi sosiologis masyarakatnya yang bhineka
merupakan kewajiban konstitusional sebagai pihak yang telah diamanahi
kepercayaan mengelolah
negara. Bukan justru bersikap apatis dan apriori terhadap kritisnya relasi
antar kelompok di tingkat akar rumput (grass
root). Kerusuhan Sampang merupakan bukti otentik betapa memperihatinkannya
kehidupan beragama masyarakat Indonesia, mengingat Madura merupakan salah satu
daerah dengan tingkat persebaran sekolah-sekolah Islam (pesantren) yang merata,
maka seharusnya kehidupan ummat beragama yang rukun dan toleran menjadi
pemandangan yang elegan di sana, bukan malah menjadi salah satu daerah rawan
konflik, apalagi didalangi oleh motif agama atau keyakinan.
Sejatinya semua
agama tidak merestui bahkan mengecam perilaku kekerasan atas nama Tuhan,
apalagi dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah saudara seiman. Membangun
pola hubungan inter-subjektif dengan berbagai kelompok sosial merupakan hal
yang wajib, selain sebagai bentuk sikap positif dalam menerima realitas
primordial yang plural, juga menjadi cerminan kedewasaan beragama dari
manifestasi pngetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama yang inklusif. Sikap
primitif seperti fanatisme sektarian merupakan indikasi dari proses
ideologisasi yang tidak sehat, seharusnya sekat-sekat sosial seperti perbedaan
keyakinan dan pemahaman mampu melebur menjadi semangat kebangsaan dan
kemanusiaan yang universal.
Ulama, umara dan zu’ada (para
ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat), sudah semestinya mengambil
peran-peran strategis dalam mengayomi
masyarakat, ulama berkewajiban mentransformasikan ajaran Islam yang moderat dan
inklusif, pemerintah wajib melakukan rekonsiliasi bukan hanya ketika telah
terjadi konflik, tetapi pemerintah harus bisa mencegah berulangnnya konflik
dengan pemetaan wilayah rawan konflik untuk antisipasi dini, dan tokoh
masyarakat seyogyanya mengambil peran sebagai mediator dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan antar kelompok sosial di tengah-tengah masyarakat dengan
menjunjung tinggi netralitas, demi kemaslahatan bersama.
Post a Comment