0

Kontemplasi di Ujung Malam

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:49 AM in
Jarum jam berdetak mengiring berlalunya waktu
sepi-senyap menampak dari kaca bening jendela rumah
seseorang masih sibuk mengisi lembaran-lembaran soal ujian yang tertunda
sedang yang lain lelap
di sepertiga malam tanggal 01 februari
membayang sejuta persepsi tentang tidur
diakah teman penjaga malam
atau hanya sebuah fenomena fatamorgana pelipur asa
mencipta suasana damai yang hangat
atau malah menggiring pada ketakutan yang mencekam
yah, tidur itu misteri hidup
pengalaman mati yang tak seorang pun lari darinya
ada sebuah narasi tentang mereka yang tak pernah menikmati tidur
yang tak pernah pulas dalam tidur

lihatlah ...
mereka yang hanya mengalasi diri dengan limbah kardus tipis
mereka yang hanya berselimut plastik sampah
mereka yang hanya beratapkan beton dan baja jembatan kota
mereka yang hanya berbantalkan trotoar jalan
bagi mereka, malam adalah saat mengais asa
sekedar untuk membungkam teriakan lapar dahaga
serta waspada akan sergapan para praja wali kota
tidur adalah sebuah kemalasan bagi mereka

kasihan …
betapa kasihan mereka yang tak punya rasa malu
memakan bangkai dari menjual diri
hanya karena candu kemewahan
hanya karena silau kemegahan
para koruptor
para penguasa lalim
Sungguh siksa Allah sangat pedih



|
0

Tentang Ke-diri-an

Posted by Fadhlan L Nasurung on 5:36 AM in ,

Dalam perenungan yang dangkal suatu sore, kembali urat-urat otakku harus bersitegang dengan nafsu keingintahuan yang menggebu tat kala ku sapa imajinasi yang sedang mengangkasa, walaupun hasil perenungan itu hanya berupa spekulasi-spekulasi non-ilmiah, namun tetap ku beranikan diri merangkumnya dalam sebuah catatan yang mungkin tak bermutu, yah... paling tidak sesuai dengan kualitas “pemikir” rendahan sepertiku.

“Pemikir“ terlalu berlebihan memang, tapi itulah ambisi. Tak tau pasti kapan cita-cita langka ini mulai menjadi bayang-bayang mimpi masa depanku, tapi setahu ingatanku semenjak aku mulai menggeluti aktifitas bodoh bermain dengan kata-kata dan istilah-istilah ilmiah, sastra dan saudara-saudaranya (Mencoba sok ilmiah dan sastraistik), setelah resmi menjadi budak buku-buku, yang kemudian menghadirkanku dalam kesadaran kritis non-pragmatis, insyaAllah.

Don’t put your head in the moon mungkin orang-orang akan mencerca ambisi diniku ini, menertawakannya dengan sangat hikmat, hingga menghabisiku dengan hujatan kata-kata yang mencekik. Seberapa besar keuntungan materi yang akan kau dapat ? Kau pikir dengan bersahabat dengan buku-buku lusuh mu itu lantas kau menjadi orang yang sukses ? Jangan mimpi !!! (Salah satu liric cemooh yang mungkin akan melontarku). Syukurnya dalam sejarah pemikir-pemikir dunia tak ada satupun pemikir yang bebas dan kosong dari caci maki, ancaman bahkan kekerasan fisik dan mental dan yang terparah pembunuhan, semua itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah perjuangan, (Mimpi menjadi pemikir kelas dunia, hahaha...

Iitulah diri-ku, diri yang tak mau menghianati harapan dan melawan keinginan hati, tapi betulkah? Atau kembali hanya sebentuk wacana dialektis non-praksis, aku baru menyadari betapa sulit menjalani risalah ke-aku-an yang selama ini menjadi benalu kegengsian diri yang paradigmatik, apalagi menjaga ke-kita-an yang cenderung fanatik-destruktif. Dibutuhkan sebuah proses elaborasi dan reinternalisasi siapa sebenarnya diri, aku atau kita yang sepenuhnya milik aku dan kita, atau aku dan kita yang menjadi milik orang lain?

Sebelum jauh membincangkan hal-hal yang mikro diluar sana, terlebih dahulu kita harus menyoal tentang diri yang makro ini. Manusia adalah makrokosmos yang menjadi maha karya paling sempurna yang pernah Tuhan ciptakan, sedangkan alam semesta adalah mikrokosmos dalam wujudnya yang fisik. Mungkin banyak orang yang akan berpendapat sebaliknya. Namun manusia disebut Makrokosmos bukan didasarkan pada alasan yang spekulatif, tetapi justru karena pemikiran bahwa untuk memahami alam semesta manusialah yang paling memiliki andil, besar kecilnya alam semesta ternyata manusia jualah yang menakarnya, sehingga alam semesta adalah objek observasi dan eksplorasi yang terbatas di alam nasut. Berbeda dengan manusia yang merupakan subjek yang telah dibebankan kewenangan untuk memimpin alam. Diri manusia tidak terbatas pada yang fisik saja namun jauh dikedalaman metafisik manusia adalah mahluk dengan superioritasnya yang kompleks.   

Aneh memang,, tapi itulah kenyataan dimana sebagian orang tidak lagi merasa memiliki hasrat untuk meluangkan sedikit waktu sekedar bercengkrama tentang ketabuan diri dalam realitas, iyah... saya sendiri kadang merasa asing dengan diri, karena apa yang kemudian merefleksi dalam keseharian hanya sebentuk manifestasi kosong yang  saya sendiri bingung dengannya. Karena diri kini dimaknai hanya seonggak jasad, sedangkan pikiran dan hati telah terinfiltrasi sebuah rekayasa ideologi yang hegemonik.

Sebenarnya sama sekali tidak ingin menggugat eksistensi, tapi lebih kepada menggugah kesadaran tentang esensi. Tiada maksud membicarakan hal-hal yang absurd, karena ini soal fakta, fakta yang memang tak tampak dipengindraan, hanya mampu terjamah oleh rasa dan logika, bahwa kita sedang tidak menjadi diri, dan justru menjadi sebuah entitas di luar diri. Kita seringkali mengabaikan dan menganggap sepele hal-hal yang sebenarnya sangat intim dengan kehidupan kita, lalu bagaimana kita bisa memahami hal-hal diluar diri ketika untuk mengetahui dan memaknai diri “aku dan kita” sendiri menjadi hal yang nihil. Dan yang paling mengerikan ketika kita hanya sekedar berada (being) dalam wujud yang fisik, namun tidak pernah benar-benar menjadi ada (exist) dan memiliki kualitas (esensi). Untuk benar-benar menjadi manusia kita harus menjalani sebuah dinamika proses yang panjang, menceburkan diri kita kedalam historisitas kodrat dan tujuan diciptakannya kita sebagai manusia, paling tidak untuk menemukan  diri yang hilang kemudian kembali bergerak menuju capaian kesempurnaan hakikat kemanusiaan.

Sering kita mendengar ungkapan “Diri adalah refleksi dari pikiran” secara falsafih bukan untuk menegasikan realitas ada dalam wujud materi, tapi bagaimana kemudian realitas ide menjadi hal yang padu dengan materi secara holistik. Dilematis ketika harus memilih antara eksistensi ide atau materi, sepanjang sejarah filsafat dari yunani kuno hingga filsafat kontemporer ide dan materi merupakan dua hal yang sering kali bertentangan atau sengaja dipertentangkan, eksistensi realitas adalah ide dari mazhab idealisme dan eksistensi realitas adalah materi dari mazhab materialisme. lagi-lagi ilmu itu bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai, malah kadang menjadi sesuatu yang sangat menjebak dan memiskinkan perspektif. Ketika barat mulai mengambil alih peradaban pengetahuan, saat itulah mereka mulai melakukan indoktrinasi dan ideologisasi keseluruh pejuru dunia secara ekspansif. Dan tak dapat disangkal hampir seluruh referensi kita tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan bahkan tafsir kedirian kita merupakan produk impor dari asing (barat) yang secara geografis, antropologis, dan sosiologis berbeda jauh dengan kondisi Negara dan bangsa kita, dan lagi-lagi yang terjadi adalah hegemoni pemikiran yang kemudian mendudukkan kita pada posisi subordinasi, dugaanku.

Ironis ketika kita hanya bisa mereferensi ensiklopedia asing secara membabi buta tanpa selektifitas yang mumpuni, sehingga perangkap-perangkap pengetahuan dengan mudah mencengkram logika berfikir yang akhirnya mengalienasi hakikat kedirian kita menjadi sesuatu yang artifisial dalam superioritas hegemoni pemikiran asing (Utamanya barat). Mengaktualisasikan kedirian kita ke dalam ranah-ranah ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah kefardhuan bagi kita, sehingga eksistensi diri akan menampak dalam setiap ruang perwujudan, mengeksplorasi segenap potensi diri tanpa harus menjadi plagiat ide, yakin bahwa Tuhan menciptakan kita setara dalam potensi untuk fungsi khalifah di bumi, tinggal bagaimana masing-masing mampu mengakselerasi kualitas-kualitas pribadi menjadi daya yang tentunya untuk menciptakan kemaslahatan bersama, bukan untuk saling menegasikan, harapku.


|
0

Menulis Pare

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:12 AM in ,
Sunday conversation in Pare, Kediri 
sumber : dokumentasi Assosiation of Sulawesi Students (ASSET)


Sebuah Narasi

Suasana pagi itu agak ramai, kendaraan roda dua tak bermesin yang menjadi raja jalanan berderet mengisi setiap celah jalan yang sempit, ada pula yang bergerombol menjadi pejalan kaki aktif dengan raut wajah yang cerah-ceria meski suasana sedang mendung. Sore itu menjadi awal cerita sejarah perjalanan kursus bahasa inggrisku, berada di sebuah kawasan yang dulu bernama kampung inggris, ternyata sekarang statusnya meningkat menjadi Kampung bahasa. Sebelumnya aku sering mendengar kabar bahwa Kampung inggris  Pare layaknya London atau New york van java, sehingga awalnya aku membayangkan akan banyak turis berfisik oriental di sana, membayangkan kampung dengan bangunan-bangunan bergaya barat klasik, dan mengimajinasikan masyarakat yang setiap harinya berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, Walau hal itu tenyata cuma desas-desus yang tidak jelas sumbernya, namun aku tak lantas menyesal telah menjadi salah satu anak rantau di Pare, justru aku bersyukur telah ditakdirkan menjadi salah-satu saksi sejarah perjalan Pare, meski dalam waktu yang singkat. Sulit rasanya mendeskripsikan pare yang ” aneh ” ini, aneh karena Pare sangat berbeda dengan kampung-kampung pada umumnya, aneh karena Pare berani menghadirkan sebuah nuansa pendidikan yang jauh berbeda dengan konsep pendidikan modern, dan akhirnya pare menjadi aneh dengan segala keunikannya, dan keanehan itu akan menjadi momok bagi mereka yang tidak bisa berteman dan bersahabat dengan kondisi Pare. Dasar Pare yang aneh.

Bangunan sederhana di sana-sini yang merupakan tempat-tempat kursus, kos , dan camp-camp dengan area berbahasa inggris yang menjadi simbol identitas pendidikan ala pare. Pemilik warung-warung kecil, para penyedia jasa angkutan becak, penyedia jasa penyewaan sepeda, semua hidup dalam kebersahajaan. Aku tidak tahu pasti latarbelakang dan sejarah pare, sehingga aku tak ingin menulis pare dalam kesejarahannya, namun aku hanya ingin menulis pare dari sudut pandang dan cara pandangku melihat pare yang tentunya sangat subyektif.

Landasan awal ketika kuputuskan meninggalkan suasana kampus yang tidak kondusif  bagiku sekedar untuk melampiaskan hasratku akan dunia kebahasaan, yah… meninggalkan kepengatan di tengah hedonisme metropolitan untuk mencicipi suasana sejuk dan tenang sebuah kampung di tanah Jawa yang bagiku merupakan miniatur nusantara. Bagaimana tidak, para pelajar adalah mereka yang berasal dari berbagai daerah, etnik, suku, budaya dan strata  sosial yang berbeda-beda. Sebuah ekspresi kehidupan yang unik lagi kaya makna, Suasana pendidikan ala Universitas modern, sayangnya tidak membuatku menjadi orang yang mengerti dan memahami hakikat kemanusianku. Aku bosan dengan celoteh-celoteh mereka yang nampak rapi berdasi. Muak dengan aroma pragmatisme yang menyebar di bangku perkuliahan. Semua menjejal nalar ku, mungkin aku adalah salah satu korban indoktrinasi organisasi kampus, yang sadar akan miskinnya pengetahuan bangunan megah itu. Bukan aku tidak menghargai dan menghormati mereka yang disebut dosen, dekan, maupun rektor, justru berkat kekagumankulah pada mereka sehingga memotivasi aku semakin rakus akan pengetahuan, alangkah berdosanya diriku ketika harus berijazah universitas ternama dengan pengetahuan yang sempit dan ilmu yang dangkal. Maka selalu ku doakan mereka yang mulia itu.

Pare yang nyaman untuk pendidikan kebahasaan dengan corak yang khas, tidak lantas membuatku larut dalam dunia bahasa, dunia dengan sejuta pola lisan dan tulisan. Justru ada sisi lain yang nampak lebih mempesona bagi mereka yang sehat akalnya. Religiuitas dan budaya masyarakat yang masih terjaga adalah ruh yang membuat pare tetap hidup, ini memungkinkan terciptanya atmosphere pendidikan yang sangat berkarakter. Romantisme kebahasaan tidak kemudian menghambat terjadinya transformasi pengetahuan, justru di sana-sini tumbuh subur forum-forum pengetahuan mulai dari untuk sekedar mengobrol, diskusi hingga beradu asumsi. Salah satu forum diskusi yang paling aktif berkarya adalah Rumah Anak Bangsa, yang punya perhatian yang sangat besar terhadap berbagai hal yang tentunya bukan atas kepentingan individu atau kelompok, melainkan untuk kepentingan bangsa sesuai dengan nama yang men jadi ruh gerakannya. Wajar ketika banyak pihak yang memimpikan pare menjadi mercusuar perubahan, mengingat posisi strategis pare yang tidak pernah jauh dari akar kultural masyarakat yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, bahkan Pare merupakan kampung pesantren yang inklusif dengan nalar progresif tanpa meninggalkan tradisi.

Pare dengan segala dinamikanya melahirkan sebuah kompleksitas yang menjadi daya tarik tesendiri, sehingga sejak berdiri pada tahun 1977 pare semakin berkembang dan menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi rakyat, lembaga-lembaga kursus kian tumbuh subur meramaikan kontestasi kehidupan pare, sehingga pare dikenal bukan lagi sebagai kampung Inggris, tetapi telah bermetamorfosis menjadi kampung bahasa, Bahkan pendidikan ala Pare merupakan prototipe konsep pendidikaan yang ideal bagi dunia pendidikan formal, informal, dan non-formal dewasa ini yang sedang mengalami polemik akut dilanda ketidakpastian sosial akibat disorientasi system.

Idealisme pare yang terjangkau untuk semua golongan mulai mengalami dekadensi belakangan ini, harga kursus yang melonjak membuat  mereka yang lemah secara ekonomi kian tertatih, bahkan ada diantara mereka yang hanya bisa menelan keinginan menikmati pendidikan ala Pare, sebuah ironi yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran bagi mereka yang masih memiliki hati. Kapitalisme ternyata mulai merongrong eksistensi pare yang senantiasa bersahabat dengan semua golongan, nalar materialistik perlahan menjadi benalu nurani bagi sebagian dari mereka  yang menyediakan jasa layanan kursusan, ini berindikasi pada terjadinya komersialisasi pendidikan yang penuh dosa sosial.  Padahal hal itu tanpa sadar merupakan bom waktu yang akan merusak dan mencederai citra Pare sebagai surga pendidikan bagi putra-putri bangsa tanpa dikotomi dan stratifikasi sosial.  Penyadaran akan tujuan dan cita-cita pendidikan adalah fardhu bagi mereka yang mengaku beriman dan berkeyakinan, karena cerdas dan berpendidikan adalah hak semua rakyat, dan adalah sebuah kewajiban mutlak setiap individu untuk membela dan mempertahankan apa yang menjadi hak rakyat.



|
0

Mind Screaming

Posted by Fadhlan L Nasurung on 1:13 AM in
Kau hanya termangu menyaksikan duka bertahta. . .
Merestui pasrah menjadi benalu arah. . .
Menyimak sengsara yang tertawa melihat mereka yang hanya berteman papah. . .

Maka kuajak semua hati berorasi dalam aksi tanpa anarki . . .
Paling tidak bersumpah serapah untuk mereka yang serakah . . .



|
0

Sepatah Bait

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:30 PM in

Sendiri
Membuka hari
Dalam getir pagi
Menapak sepi
Menata hati
Merajut mimpi

Mereka yang Kini
Menggigit jari
Menjilat daki
Menelan basi
Mengais nasi
Bertahta kuli
Berteman mati

Karena dia yang sampai hati
Mengucap janji
Menawar duri
Berpangku kaki
Memamer dasi
Mengharap pundi
Mengumbar caci
Bersenda rumpi
Menanam iri
Berhati tuli

dan Kita yang mengerti, memahami, peduli dan berusaha menepati
Arti sbuah pengabdian diri
tiada henti

Deskripsi indonesia terkini ...

13-01-2012




|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.