0
Menulis Pare
Sunday conversation in Pare, Kediri
sumber : dokumentasi Assosiation of Sulawesi Students (ASSET)
Sebuah Narasi
Suasana pagi itu agak ramai, kendaraan roda dua tak bermesin yang menjadi raja jalanan
berderet mengisi setiap celah jalan yang sempit, ada pula yang bergerombol
menjadi pejalan kaki aktif dengan raut wajah yang cerah-ceria meski suasana
sedang mendung. Sore itu menjadi awal cerita sejarah perjalanan kursus bahasa
inggrisku, berada di sebuah kawasan yang dulu bernama kampung inggris, ternyata
sekarang statusnya meningkat menjadi Kampung bahasa. Sebelumnya aku sering
mendengar kabar bahwa Kampung inggris Pare layaknya London atau New york
van java, sehingga awalnya aku membayangkan akan banyak turis berfisik oriental
di sana, membayangkan kampung dengan bangunan-bangunan bergaya barat klasik,
dan mengimajinasikan masyarakat yang setiap harinya berkomunikasi menggunakan
bahasa Inggris, Walau hal itu tenyata cuma desas-desus yang tidak jelas
sumbernya, namun aku tak lantas menyesal telah menjadi salah satu anak rantau
di Pare, justru aku bersyukur telah ditakdirkan menjadi salah-satu saksi
sejarah perjalan Pare, meski dalam waktu yang singkat. Sulit rasanya
mendeskripsikan pare yang ” aneh ” ini, aneh karena Pare sangat berbeda dengan
kampung-kampung pada umumnya, aneh karena Pare berani menghadirkan sebuah
nuansa pendidikan yang jauh berbeda dengan konsep pendidikan modern, dan
akhirnya pare menjadi aneh dengan segala keunikannya, dan keanehan itu akan
menjadi momok bagi mereka yang tidak bisa berteman dan bersahabat dengan
kondisi Pare. Dasar Pare yang aneh.
Bangunan
sederhana di sana-sini yang merupakan tempat-tempat kursus, kos , dan camp-camp
dengan area berbahasa inggris yang menjadi simbol identitas pendidikan ala
pare. Pemilik warung-warung kecil, para penyedia jasa angkutan becak, penyedia
jasa penyewaan sepeda, semua hidup dalam kebersahajaan. Aku tidak tahu pasti
latarbelakang dan sejarah pare, sehingga aku tak ingin menulis pare dalam
kesejarahannya, namun aku hanya ingin menulis pare dari sudut pandang dan cara
pandangku melihat pare yang tentunya sangat subyektif.
Landasan
awal ketika kuputuskan meninggalkan suasana kampus yang tidak kondusif
bagiku sekedar untuk melampiaskan hasratku akan dunia kebahasaan, yah…
meninggalkan kepengatan di tengah hedonisme metropolitan untuk mencicipi
suasana sejuk dan tenang sebuah kampung di tanah Jawa yang bagiku merupakan
miniatur nusantara. Bagaimana tidak, para pelajar adalah mereka yang berasal
dari berbagai daerah, etnik, suku, budaya dan strata sosial yang
berbeda-beda. Sebuah ekspresi kehidupan yang unik lagi kaya makna, Suasana
pendidikan ala Universitas modern, sayangnya tidak membuatku menjadi orang yang
mengerti dan memahami hakikat kemanusianku. Aku bosan dengan celoteh-celoteh
mereka yang nampak rapi berdasi. Muak dengan aroma pragmatisme yang menyebar di
bangku perkuliahan. Semua menjejal nalar ku, mungkin aku adalah salah satu
korban indoktrinasi organisasi kampus, yang sadar akan miskinnya pengetahuan
bangunan megah itu. Bukan aku tidak menghargai dan menghormati mereka yang
disebut dosen, dekan, maupun rektor, justru berkat kekagumankulah pada mereka
sehingga memotivasi aku semakin rakus akan pengetahuan, alangkah berdosanya
diriku ketika harus berijazah universitas ternama dengan pengetahuan yang
sempit dan ilmu yang dangkal. Maka selalu ku doakan mereka yang mulia itu.
Pare
yang nyaman untuk pendidikan kebahasaan dengan corak yang khas, tidak lantas
membuatku larut dalam dunia bahasa, dunia dengan sejuta pola lisan dan tulisan.
Justru ada sisi lain yang nampak lebih mempesona bagi mereka yang sehat
akalnya. Religiuitas dan budaya masyarakat yang masih terjaga adalah ruh yang
membuat pare tetap hidup, ini memungkinkan terciptanya atmosphere pendidikan
yang sangat berkarakter. Romantisme kebahasaan tidak kemudian menghambat
terjadinya transformasi pengetahuan, justru di sana-sini tumbuh subur forum-forum
pengetahuan mulai dari untuk sekedar mengobrol, diskusi hingga beradu asumsi.
Salah satu forum diskusi yang paling aktif berkarya adalah Rumah Anak Bangsa,
yang punya perhatian yang sangat besar terhadap berbagai hal yang tentunya
bukan atas kepentingan individu atau kelompok, melainkan untuk kepentingan
bangsa sesuai dengan nama yang men jadi ruh gerakannya. Wajar ketika banyak
pihak yang memimpikan pare menjadi mercusuar perubahan, mengingat posisi
strategis pare yang tidak pernah jauh dari akar kultural masyarakat yang tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, bahkan Pare merupakan kampung pesantren
yang inklusif dengan nalar progresif tanpa meninggalkan tradisi.
Pare
dengan segala dinamikanya melahirkan sebuah kompleksitas yang menjadi daya tarik
tesendiri, sehingga sejak berdiri pada tahun 1977 pare semakin berkembang dan
menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi rakyat, lembaga-lembaga kursus
kian tumbuh subur meramaikan kontestasi kehidupan pare, sehingga pare dikenal
bukan lagi sebagai kampung Inggris, tetapi telah bermetamorfosis menjadi
kampung bahasa, Bahkan pendidikan ala Pare merupakan prototipe konsep
pendidikaan yang ideal bagi dunia pendidikan formal, informal, dan non-formal
dewasa ini yang sedang mengalami polemik akut dilanda ketidakpastian sosial
akibat disorientasi system.
Idealisme
pare yang terjangkau untuk semua golongan mulai mengalami dekadensi belakangan
ini, harga kursus yang melonjak membuat mereka yang lemah secara ekonomi
kian tertatih, bahkan ada diantara mereka yang hanya bisa menelan keinginan
menikmati pendidikan ala Pare, sebuah ironi yang sepatutnya menjadi bahan
pemikiran bagi mereka yang masih memiliki hati. Kapitalisme ternyata mulai
merongrong eksistensi pare yang senantiasa bersahabat dengan semua golongan,
nalar materialistik perlahan menjadi benalu nurani bagi sebagian dari mereka
yang menyediakan jasa layanan kursusan, ini berindikasi pada terjadinya
komersialisasi pendidikan yang penuh dosa sosial. Padahal hal itu tanpa
sadar merupakan bom waktu yang akan merusak dan mencederai citra Pare sebagai
surga pendidikan bagi putra-putri bangsa tanpa dikotomi dan stratifikasi
sosial. Penyadaran akan tujuan dan cita-cita pendidikan adalah fardhu
bagi mereka yang mengaku beriman dan berkeyakinan, karena cerdas dan
berpendidikan adalah hak semua rakyat, dan adalah sebuah kewajiban mutlak
setiap individu untuk membela dan mempertahankan apa yang menjadi hak rakyat.
Post a Comment