0

Menulis Pare

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:12 AM in ,
Sunday conversation in Pare, Kediri 
sumber : dokumentasi Assosiation of Sulawesi Students (ASSET)


Sebuah Narasi

Suasana pagi itu agak ramai, kendaraan roda dua tak bermesin yang menjadi raja jalanan berderet mengisi setiap celah jalan yang sempit, ada pula yang bergerombol menjadi pejalan kaki aktif dengan raut wajah yang cerah-ceria meski suasana sedang mendung. Sore itu menjadi awal cerita sejarah perjalanan kursus bahasa inggrisku, berada di sebuah kawasan yang dulu bernama kampung inggris, ternyata sekarang statusnya meningkat menjadi Kampung bahasa. Sebelumnya aku sering mendengar kabar bahwa Kampung inggris  Pare layaknya London atau New york van java, sehingga awalnya aku membayangkan akan banyak turis berfisik oriental di sana, membayangkan kampung dengan bangunan-bangunan bergaya barat klasik, dan mengimajinasikan masyarakat yang setiap harinya berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, Walau hal itu tenyata cuma desas-desus yang tidak jelas sumbernya, namun aku tak lantas menyesal telah menjadi salah satu anak rantau di Pare, justru aku bersyukur telah ditakdirkan menjadi salah-satu saksi sejarah perjalan Pare, meski dalam waktu yang singkat. Sulit rasanya mendeskripsikan pare yang ” aneh ” ini, aneh karena Pare sangat berbeda dengan kampung-kampung pada umumnya, aneh karena Pare berani menghadirkan sebuah nuansa pendidikan yang jauh berbeda dengan konsep pendidikan modern, dan akhirnya pare menjadi aneh dengan segala keunikannya, dan keanehan itu akan menjadi momok bagi mereka yang tidak bisa berteman dan bersahabat dengan kondisi Pare. Dasar Pare yang aneh.

Bangunan sederhana di sana-sini yang merupakan tempat-tempat kursus, kos , dan camp-camp dengan area berbahasa inggris yang menjadi simbol identitas pendidikan ala pare. Pemilik warung-warung kecil, para penyedia jasa angkutan becak, penyedia jasa penyewaan sepeda, semua hidup dalam kebersahajaan. Aku tidak tahu pasti latarbelakang dan sejarah pare, sehingga aku tak ingin menulis pare dalam kesejarahannya, namun aku hanya ingin menulis pare dari sudut pandang dan cara pandangku melihat pare yang tentunya sangat subyektif.

Landasan awal ketika kuputuskan meninggalkan suasana kampus yang tidak kondusif  bagiku sekedar untuk melampiaskan hasratku akan dunia kebahasaan, yah… meninggalkan kepengatan di tengah hedonisme metropolitan untuk mencicipi suasana sejuk dan tenang sebuah kampung di tanah Jawa yang bagiku merupakan miniatur nusantara. Bagaimana tidak, para pelajar adalah mereka yang berasal dari berbagai daerah, etnik, suku, budaya dan strata  sosial yang berbeda-beda. Sebuah ekspresi kehidupan yang unik lagi kaya makna, Suasana pendidikan ala Universitas modern, sayangnya tidak membuatku menjadi orang yang mengerti dan memahami hakikat kemanusianku. Aku bosan dengan celoteh-celoteh mereka yang nampak rapi berdasi. Muak dengan aroma pragmatisme yang menyebar di bangku perkuliahan. Semua menjejal nalar ku, mungkin aku adalah salah satu korban indoktrinasi organisasi kampus, yang sadar akan miskinnya pengetahuan bangunan megah itu. Bukan aku tidak menghargai dan menghormati mereka yang disebut dosen, dekan, maupun rektor, justru berkat kekagumankulah pada mereka sehingga memotivasi aku semakin rakus akan pengetahuan, alangkah berdosanya diriku ketika harus berijazah universitas ternama dengan pengetahuan yang sempit dan ilmu yang dangkal. Maka selalu ku doakan mereka yang mulia itu.

Pare yang nyaman untuk pendidikan kebahasaan dengan corak yang khas, tidak lantas membuatku larut dalam dunia bahasa, dunia dengan sejuta pola lisan dan tulisan. Justru ada sisi lain yang nampak lebih mempesona bagi mereka yang sehat akalnya. Religiuitas dan budaya masyarakat yang masih terjaga adalah ruh yang membuat pare tetap hidup, ini memungkinkan terciptanya atmosphere pendidikan yang sangat berkarakter. Romantisme kebahasaan tidak kemudian menghambat terjadinya transformasi pengetahuan, justru di sana-sini tumbuh subur forum-forum pengetahuan mulai dari untuk sekedar mengobrol, diskusi hingga beradu asumsi. Salah satu forum diskusi yang paling aktif berkarya adalah Rumah Anak Bangsa, yang punya perhatian yang sangat besar terhadap berbagai hal yang tentunya bukan atas kepentingan individu atau kelompok, melainkan untuk kepentingan bangsa sesuai dengan nama yang men jadi ruh gerakannya. Wajar ketika banyak pihak yang memimpikan pare menjadi mercusuar perubahan, mengingat posisi strategis pare yang tidak pernah jauh dari akar kultural masyarakat yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, bahkan Pare merupakan kampung pesantren yang inklusif dengan nalar progresif tanpa meninggalkan tradisi.

Pare dengan segala dinamikanya melahirkan sebuah kompleksitas yang menjadi daya tarik tesendiri, sehingga sejak berdiri pada tahun 1977 pare semakin berkembang dan menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi rakyat, lembaga-lembaga kursus kian tumbuh subur meramaikan kontestasi kehidupan pare, sehingga pare dikenal bukan lagi sebagai kampung Inggris, tetapi telah bermetamorfosis menjadi kampung bahasa, Bahkan pendidikan ala Pare merupakan prototipe konsep pendidikaan yang ideal bagi dunia pendidikan formal, informal, dan non-formal dewasa ini yang sedang mengalami polemik akut dilanda ketidakpastian sosial akibat disorientasi system.

Idealisme pare yang terjangkau untuk semua golongan mulai mengalami dekadensi belakangan ini, harga kursus yang melonjak membuat  mereka yang lemah secara ekonomi kian tertatih, bahkan ada diantara mereka yang hanya bisa menelan keinginan menikmati pendidikan ala Pare, sebuah ironi yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran bagi mereka yang masih memiliki hati. Kapitalisme ternyata mulai merongrong eksistensi pare yang senantiasa bersahabat dengan semua golongan, nalar materialistik perlahan menjadi benalu nurani bagi sebagian dari mereka  yang menyediakan jasa layanan kursusan, ini berindikasi pada terjadinya komersialisasi pendidikan yang penuh dosa sosial.  Padahal hal itu tanpa sadar merupakan bom waktu yang akan merusak dan mencederai citra Pare sebagai surga pendidikan bagi putra-putri bangsa tanpa dikotomi dan stratifikasi sosial.  Penyadaran akan tujuan dan cita-cita pendidikan adalah fardhu bagi mereka yang mengaku beriman dan berkeyakinan, karena cerdas dan berpendidikan adalah hak semua rakyat, dan adalah sebuah kewajiban mutlak setiap individu untuk membela dan mempertahankan apa yang menjadi hak rakyat.



|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.