0
Tentang Ke-diri-an
Dalam perenungan yang
dangkal suatu sore, kembali urat-urat otakku harus bersitegang dengan nafsu
keingintahuan yang menggebu tat kala ku sapa imajinasi yang sedang mengangkasa,
walaupun hasil perenungan itu hanya berupa spekulasi-spekulasi non-ilmiah,
namun tetap ku beranikan diri merangkumnya dalam sebuah catatan yang mungkin
tak bermutu, yah... paling tidak sesuai dengan kualitas “pemikir” rendahan
sepertiku.
“Pemikir“ terlalu
berlebihan memang, tapi itulah ambisi. Tak tau pasti kapan cita-cita langka ini
mulai menjadi bayang-bayang mimpi masa depanku, tapi setahu ingatanku semenjak
aku mulai menggeluti aktifitas bodoh bermain dengan kata-kata dan
istilah-istilah ilmiah, sastra dan saudara-saudaranya (Mencoba sok ilmiah dan
sastraistik), setelah resmi menjadi budak buku-buku, yang kemudian
menghadirkanku dalam kesadaran kritis non-pragmatis, insyaAllah.
Don’t
put your head in the moon mungkin orang-orang akan mencerca
ambisi diniku ini, menertawakannya dengan sangat hikmat, hingga menghabisiku
dengan hujatan kata-kata yang mencekik. Seberapa besar keuntungan materi yang
akan kau dapat ? Kau pikir dengan bersahabat dengan buku-buku lusuh mu itu
lantas kau menjadi orang yang sukses ? Jangan mimpi !!! (Salah satu liric
cemooh yang mungkin akan melontarku). Syukurnya dalam sejarah pemikir-pemikir
dunia tak ada satupun pemikir yang bebas dan kosong dari caci maki, ancaman
bahkan kekerasan fisik dan mental dan yang terparah pembunuhan, semua itu
merupakan konsekuensi logis dari sebuah perjuangan, (Mimpi menjadi pemikir
kelas dunia, hahaha...
Iitulah diri-ku, diri
yang tak mau menghianati harapan dan melawan keinginan hati, tapi betulkah?
Atau kembali hanya sebentuk wacana dialektis non-praksis, aku baru menyadari
betapa sulit menjalani risalah ke-aku-an yang selama ini menjadi benalu
kegengsian diri yang paradigmatik, apalagi menjaga ke-kita-an yang cenderung
fanatik-destruktif. Dibutuhkan sebuah proses elaborasi dan reinternalisasi
siapa sebenarnya diri, aku atau kita yang sepenuhnya milik aku dan kita, atau
aku dan kita yang menjadi milik orang lain?
Sebelum jauh
membincangkan hal-hal yang mikro diluar sana, terlebih dahulu kita harus
menyoal tentang diri yang makro ini. Manusia adalah makrokosmos yang menjadi
maha karya paling sempurna yang pernah Tuhan ciptakan, sedangkan alam semesta
adalah mikrokosmos dalam wujudnya yang fisik. Mungkin banyak orang yang akan
berpendapat sebaliknya. Namun manusia disebut Makrokosmos bukan didasarkan pada
alasan yang spekulatif, tetapi justru karena pemikiran bahwa untuk memahami
alam semesta manusialah yang paling memiliki andil, besar kecilnya alam semesta
ternyata manusia jualah yang menakarnya, sehingga alam semesta adalah objek observasi
dan eksplorasi yang terbatas di alam nasut. Berbeda dengan manusia yang
merupakan subjek yang telah dibebankan kewenangan untuk memimpin alam. Diri
manusia tidak terbatas pada yang fisik saja namun jauh dikedalaman metafisik
manusia adalah mahluk dengan superioritasnya yang kompleks.
Aneh memang,, tapi
itulah kenyataan dimana sebagian orang tidak lagi merasa memiliki hasrat untuk
meluangkan sedikit waktu sekedar bercengkrama tentang ketabuan diri dalam
realitas, iyah... saya sendiri kadang merasa asing dengan diri, karena apa yang
kemudian merefleksi dalam keseharian hanya sebentuk manifestasi kosong
yang saya sendiri bingung dengannya. Karena diri kini dimaknai hanya
seonggak jasad, sedangkan pikiran dan hati telah terinfiltrasi sebuah rekayasa
ideologi yang hegemonik.
Sebenarnya sama sekali
tidak ingin menggugat eksistensi, tapi lebih kepada menggugah kesadaran tentang
esensi. Tiada maksud membicarakan hal-hal yang absurd, karena ini soal fakta,
fakta yang memang tak tampak dipengindraan, hanya mampu terjamah oleh rasa dan
logika, bahwa kita sedang tidak menjadi diri, dan justru menjadi sebuah entitas
di luar diri. Kita seringkali mengabaikan dan menganggap sepele hal-hal
yang sebenarnya sangat intim dengan kehidupan kita, lalu bagaimana kita bisa
memahami hal-hal diluar diri ketika untuk mengetahui dan memaknai diri “aku dan
kita” sendiri menjadi hal yang nihil. Dan yang paling mengerikan ketika kita
hanya sekedar berada (being) dalam wujud yang fisik, namun tidak pernah
benar-benar menjadi ada (exist) dan memiliki kualitas (esensi). Untuk
benar-benar menjadi manusia kita harus menjalani sebuah dinamika proses yang
panjang, menceburkan diri kita kedalam historisitas kodrat dan tujuan
diciptakannya kita sebagai manusia, paling tidak untuk menemukan diri
yang hilang kemudian kembali bergerak menuju capaian kesempurnaan hakikat
kemanusiaan.
Sering kita mendengar
ungkapan “Diri adalah refleksi dari pikiran” secara falsafih bukan untuk
menegasikan realitas ada dalam wujud materi, tapi bagaimana kemudian realitas
ide menjadi hal yang padu dengan materi secara holistik. Dilematis ketika harus
memilih antara eksistensi ide atau materi, sepanjang sejarah filsafat dari
yunani kuno hingga filsafat kontemporer ide dan materi merupakan dua hal yang
sering kali bertentangan atau sengaja dipertentangkan, eksistensi realitas
adalah ide dari mazhab idealisme dan eksistensi realitas adalah materi dari
mazhab materialisme. lagi-lagi ilmu itu bukan sesuatu yang netral dan bebas
nilai, malah kadang menjadi sesuatu yang sangat menjebak dan memiskinkan
perspektif. Ketika barat mulai mengambil alih peradaban pengetahuan, saat
itulah mereka mulai melakukan indoktrinasi dan ideologisasi keseluruh pejuru
dunia secara ekspansif. Dan tak dapat disangkal hampir seluruh referensi kita
tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan bahkan tafsir kedirian kita
merupakan produk impor dari asing (barat) yang secara geografis, antropologis,
dan sosiologis berbeda jauh dengan kondisi Negara dan bangsa kita, dan
lagi-lagi yang terjadi adalah hegemoni pemikiran yang kemudian mendudukkan kita
pada posisi subordinasi, dugaanku.
Ironis ketika kita
hanya bisa mereferensi ensiklopedia asing secara membabi buta tanpa
selektifitas yang mumpuni, sehingga perangkap-perangkap pengetahuan dengan mudah
mencengkram logika berfikir yang akhirnya mengalienasi hakikat kedirian kita
menjadi sesuatu yang artifisial dalam superioritas hegemoni pemikiran asing
(Utamanya barat). Mengaktualisasikan kedirian kita ke dalam ranah-ranah
ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah kefardhuan bagi kita, sehingga
eksistensi diri akan menampak dalam setiap ruang perwujudan, mengeksplorasi
segenap potensi diri tanpa harus menjadi plagiat ide, yakin bahwa Tuhan
menciptakan kita setara dalam potensi untuk fungsi khalifah di bumi, tinggal
bagaimana masing-masing mampu mengakselerasi kualitas-kualitas pribadi menjadi
daya yang tentunya untuk menciptakan kemaslahatan bersama, bukan untuk saling
menegasikan, harapku.
Post a Comment