0

Tentang Ke-diri-an

Posted by Fadhlan L Nasurung on 5:36 AM in ,

Dalam perenungan yang dangkal suatu sore, kembali urat-urat otakku harus bersitegang dengan nafsu keingintahuan yang menggebu tat kala ku sapa imajinasi yang sedang mengangkasa, walaupun hasil perenungan itu hanya berupa spekulasi-spekulasi non-ilmiah, namun tetap ku beranikan diri merangkumnya dalam sebuah catatan yang mungkin tak bermutu, yah... paling tidak sesuai dengan kualitas “pemikir” rendahan sepertiku.

“Pemikir“ terlalu berlebihan memang, tapi itulah ambisi. Tak tau pasti kapan cita-cita langka ini mulai menjadi bayang-bayang mimpi masa depanku, tapi setahu ingatanku semenjak aku mulai menggeluti aktifitas bodoh bermain dengan kata-kata dan istilah-istilah ilmiah, sastra dan saudara-saudaranya (Mencoba sok ilmiah dan sastraistik), setelah resmi menjadi budak buku-buku, yang kemudian menghadirkanku dalam kesadaran kritis non-pragmatis, insyaAllah.

Don’t put your head in the moon mungkin orang-orang akan mencerca ambisi diniku ini, menertawakannya dengan sangat hikmat, hingga menghabisiku dengan hujatan kata-kata yang mencekik. Seberapa besar keuntungan materi yang akan kau dapat ? Kau pikir dengan bersahabat dengan buku-buku lusuh mu itu lantas kau menjadi orang yang sukses ? Jangan mimpi !!! (Salah satu liric cemooh yang mungkin akan melontarku). Syukurnya dalam sejarah pemikir-pemikir dunia tak ada satupun pemikir yang bebas dan kosong dari caci maki, ancaman bahkan kekerasan fisik dan mental dan yang terparah pembunuhan, semua itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah perjuangan, (Mimpi menjadi pemikir kelas dunia, hahaha...

Iitulah diri-ku, diri yang tak mau menghianati harapan dan melawan keinginan hati, tapi betulkah? Atau kembali hanya sebentuk wacana dialektis non-praksis, aku baru menyadari betapa sulit menjalani risalah ke-aku-an yang selama ini menjadi benalu kegengsian diri yang paradigmatik, apalagi menjaga ke-kita-an yang cenderung fanatik-destruktif. Dibutuhkan sebuah proses elaborasi dan reinternalisasi siapa sebenarnya diri, aku atau kita yang sepenuhnya milik aku dan kita, atau aku dan kita yang menjadi milik orang lain?

Sebelum jauh membincangkan hal-hal yang mikro diluar sana, terlebih dahulu kita harus menyoal tentang diri yang makro ini. Manusia adalah makrokosmos yang menjadi maha karya paling sempurna yang pernah Tuhan ciptakan, sedangkan alam semesta adalah mikrokosmos dalam wujudnya yang fisik. Mungkin banyak orang yang akan berpendapat sebaliknya. Namun manusia disebut Makrokosmos bukan didasarkan pada alasan yang spekulatif, tetapi justru karena pemikiran bahwa untuk memahami alam semesta manusialah yang paling memiliki andil, besar kecilnya alam semesta ternyata manusia jualah yang menakarnya, sehingga alam semesta adalah objek observasi dan eksplorasi yang terbatas di alam nasut. Berbeda dengan manusia yang merupakan subjek yang telah dibebankan kewenangan untuk memimpin alam. Diri manusia tidak terbatas pada yang fisik saja namun jauh dikedalaman metafisik manusia adalah mahluk dengan superioritasnya yang kompleks.   

Aneh memang,, tapi itulah kenyataan dimana sebagian orang tidak lagi merasa memiliki hasrat untuk meluangkan sedikit waktu sekedar bercengkrama tentang ketabuan diri dalam realitas, iyah... saya sendiri kadang merasa asing dengan diri, karena apa yang kemudian merefleksi dalam keseharian hanya sebentuk manifestasi kosong yang  saya sendiri bingung dengannya. Karena diri kini dimaknai hanya seonggak jasad, sedangkan pikiran dan hati telah terinfiltrasi sebuah rekayasa ideologi yang hegemonik.

Sebenarnya sama sekali tidak ingin menggugat eksistensi, tapi lebih kepada menggugah kesadaran tentang esensi. Tiada maksud membicarakan hal-hal yang absurd, karena ini soal fakta, fakta yang memang tak tampak dipengindraan, hanya mampu terjamah oleh rasa dan logika, bahwa kita sedang tidak menjadi diri, dan justru menjadi sebuah entitas di luar diri. Kita seringkali mengabaikan dan menganggap sepele hal-hal yang sebenarnya sangat intim dengan kehidupan kita, lalu bagaimana kita bisa memahami hal-hal diluar diri ketika untuk mengetahui dan memaknai diri “aku dan kita” sendiri menjadi hal yang nihil. Dan yang paling mengerikan ketika kita hanya sekedar berada (being) dalam wujud yang fisik, namun tidak pernah benar-benar menjadi ada (exist) dan memiliki kualitas (esensi). Untuk benar-benar menjadi manusia kita harus menjalani sebuah dinamika proses yang panjang, menceburkan diri kita kedalam historisitas kodrat dan tujuan diciptakannya kita sebagai manusia, paling tidak untuk menemukan  diri yang hilang kemudian kembali bergerak menuju capaian kesempurnaan hakikat kemanusiaan.

Sering kita mendengar ungkapan “Diri adalah refleksi dari pikiran” secara falsafih bukan untuk menegasikan realitas ada dalam wujud materi, tapi bagaimana kemudian realitas ide menjadi hal yang padu dengan materi secara holistik. Dilematis ketika harus memilih antara eksistensi ide atau materi, sepanjang sejarah filsafat dari yunani kuno hingga filsafat kontemporer ide dan materi merupakan dua hal yang sering kali bertentangan atau sengaja dipertentangkan, eksistensi realitas adalah ide dari mazhab idealisme dan eksistensi realitas adalah materi dari mazhab materialisme. lagi-lagi ilmu itu bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai, malah kadang menjadi sesuatu yang sangat menjebak dan memiskinkan perspektif. Ketika barat mulai mengambil alih peradaban pengetahuan, saat itulah mereka mulai melakukan indoktrinasi dan ideologisasi keseluruh pejuru dunia secara ekspansif. Dan tak dapat disangkal hampir seluruh referensi kita tentang berbagai disiplin ilmu pengetahuan bahkan tafsir kedirian kita merupakan produk impor dari asing (barat) yang secara geografis, antropologis, dan sosiologis berbeda jauh dengan kondisi Negara dan bangsa kita, dan lagi-lagi yang terjadi adalah hegemoni pemikiran yang kemudian mendudukkan kita pada posisi subordinasi, dugaanku.

Ironis ketika kita hanya bisa mereferensi ensiklopedia asing secara membabi buta tanpa selektifitas yang mumpuni, sehingga perangkap-perangkap pengetahuan dengan mudah mencengkram logika berfikir yang akhirnya mengalienasi hakikat kedirian kita menjadi sesuatu yang artifisial dalam superioritas hegemoni pemikiran asing (Utamanya barat). Mengaktualisasikan kedirian kita ke dalam ranah-ranah ontologi, epistemologi dan aksiologi adalah kefardhuan bagi kita, sehingga eksistensi diri akan menampak dalam setiap ruang perwujudan, mengeksplorasi segenap potensi diri tanpa harus menjadi plagiat ide, yakin bahwa Tuhan menciptakan kita setara dalam potensi untuk fungsi khalifah di bumi, tinggal bagaimana masing-masing mampu mengakselerasi kualitas-kualitas pribadi menjadi daya yang tentunya untuk menciptakan kemaslahatan bersama, bukan untuk saling menegasikan, harapku.


|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.