0
Akar Konflik Sosial-Komunal di Makassar
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
10:07 AM
in
Opini
Setiap kali keluar kota
atau daerah (luar sulawesi) tak jarang saya diperhadapkan pada
pertanyaan-pertanyaan yang terasa sangat tidak mengenakkan, Kok di Makassar sering terjadi tawuran? Apa karena
watak dan tabiat oran-orang di sana
keras dan suka kekerasan? Dan ada banyak lagi jenis pertanyaan lain yang
terasa kurang sedap terdengar, namun dua pertanyaan itulah yang paling
mengganggu pikiran. Walaupun terasa menyinggung perasaan namun semua pertanyaan
tersebut ternyata punya manfaat, setelah itu saya sering berfikir, menduga-duga
dan berspekulasi tentang penyebab maraknya konflik sosial-komunal di Makassar
atau Sulawesi selatan pada umumnya, walaupun ada sebagian orang yang
menggeneralisir Makassar sebagai Sulawesi-selatan.
Patologi
Sosial Masyarakat Makassar
Kota Makassar sebagai
ibu kota provinsi Sulawesi-Selatan merupakan salah satu wilayah urban yang
mulai dipadati oleh penduduk dari berbagai daerah sejak sepuluh tahun terakhir,
pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya bertambah akibat urbanisasi, sejalan
dengan semakin gencarnya pemerintah kota melakukan pembangunan kawasan
perindustrian, perdagangan, dan pariwisata, dengan peran utama pemodal atau
investor baik lokal maupun asing. Makassar yang telah memperkenalkan dirinya
sebagai kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia Timur, kini mengejar status
baru sebagai kota dunia, sebuah harapan yang membanggakan memang, tapi mari kita
melihat lebih dekat patologi sosial masyarakatnya yang tentunya menjadi tolak
ukur keberhidupan kota yang terkenal dengan julukan kota daeng tersebut.
Sebagai kota
metropolitan, Makassar tentunya memiliki magnet yang menjadi daya tarik
masyarakat untuk berbondong-bondong mencari penghidupan di sana, secara kuantitas
masyarakat yang berdomisili di Makassar sebahagian besar adalah comer (masyarakat pendatang), baik dari
daerah-daerah di provinsi Sulawesi-selatan, maupun dari kota-kota satelit yang mengelilingi
kota Makassaar yang terdiri dari masyarakat suku Bugis, Makassar, Mandar dan
Toraja. Umumnya masyarakat pendatang
adalah pegawai (Pemerintahan dan sektor pendidikan), karyawan, buruh dan
mahasiswa. Untuk kalangan mahasiswa juga berasal dari wilayah-wilayah Indonesia
bagian Timur seperti Flores, Bima dan Maluku.
Di tengah hiruk-pikuk
kota Makassar dengan semangat pembangunannya, mungkin ada beberapa pihak yang
secara serius memperhatikan perkembangan sosial masyarakat dengan segudang
persoalan dan polemik. Salah satu yang paling akrab adalah konflik
sosial-komunal yang marak terjadi, dan apabila tidak segera mendapat solusi, hal
tersebut dapat menjadi bom waktu yang akan merusak tatanan sosial-kemasyarakatan.
“Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah wilayah, maka semakin tinggi
potensi konfliknya”, itulah salah satu teori konflik yang sering menjadi dalil
terjadinya berbagai konflik berbau SARA, untuk konteks Makassar nampaknya teori
tersebut memang shahih, mengingat
seringnya terjadi konflik horizontal yang bermotif kedaerahan.
Nasionalisme
Kedaerahan
Konflik horizontal yang
sering terjadi di Makassar umumnya bukan merupakan konflik antar etnis (suku),
tetapi merupakan konflik akibat sentimen dan fanatik kedaerahan yang
mayoritas melibatkan kalangan mahasiswa,
sebut saja beberapa daerah yang sering terlibat konflik seperti, Palopo (Luwu
Raya), Bone, Bulukumba, Jeneponto, dan sesekali Bima. Beberapa daerah tersebut
merupakan daerah asal mayoritas masyarakat kota Makassar, utamanya kalangan
pemuda dan mahasiswa. Masyarakat pendatang dari daerah-daerah tersebut cukup
berimbang, sehingga tidak terlihat adanya kelompok yang dominan, hal tersebut
ternyata justru meningkatkan gengsi dan sikap fanatisme kedaerahan, sehingga terkadang menjadi pembakar api konflik karena masing-masing
merasa sebagai kelompok mayoritas. Tidak ada yang tahu pasti kapan konflik komunal
ini berawal, namun dari banyak kasus yang terjadi pemicu utama konflik adalah
perkelahian antar pemuda atau mahasiswa yang kadang merupakan konflik
perseorangan, namun karena atas nama solidaritas kedaerahan maka konflik
tersebut berlanjut menjadi seolah-olah konflik antar daerah, selain kerugian
material, konflik tersebut tidak jarang menjatuhkan korban jiwa.
Ada yang menduga bahwa
konflik komunal-kedaerahan tersebut merupakan konflik lama dari sejarah
feodalisme masyarakat Sulawesi-selatan, pendapat lain mengatakan bahwa konflik yang terjadi
adalah desain para elit politik atau mereka yang sedang berkuasa sebagai media
pengalihan issue untuk men-goal-kan kebijakan-kebijakan yang dapat
memicu pro-kontra, entah benar atau tidak nyatanya konflik tersebut sangat
merugikan dan memalukan karena dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa di
masa depan.
Oleh karena itu
cita-cita Makassar sebagai kota dunia harus terlebih dahulu memperhatikan
kondisi sosiologis masyarakatnya, jangan sampai pembangunan yang semarak dan
menjadi magnet sosial, justru menjadi titik mula lahirnnya berbagai konflik akibat
kesenjangan sosial yang terjadi, alih-alih menjadi kota dunia dengan segudang
prestasi, malah justru menjadi “kota dunia kekerasan”.
Post a Comment