0
Berfikir Sebagai Identitas Kemanusiaan
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
1:34 PM
in
Filsafat
Pernahkah anda bercermin? Melihat tampilan fisik dari diri anda,
atau mencari tahu cacat dan kekurangan fisik yang anda miliki? Bagi manusia
modern cermin adalah kebutuhan primer yang harus tersedia di ruang-ruang khusus,
agar mereka selalu tampak elegan. Ketika kita menghadapkan diri kita ke arah
cermin, kita akan menemukan sosok yang sangat mirip dengan diri kita, dari
ujung kaki hingga ujung rambut, kita akan berkata itulah diri saya, setelah itu
kita mulai mempersepsikan bahkan meyakini bentuk dan tampilan fisik dari diri
kita. Lalu bagaimana kita bisa begitu yakin
bahwa sosok itu adalah bayangan dari diri kita? Seberapa yakinkah kita bahwa cermin tak
akan pernah berbohong? Yah, pertanyaan itu mungkin tak akan pernah menemukan
jawaban yang memuaskan, bagi mereka yang telah menganggap berfikir dan bertanya
sebagai candu.
Di depan cermin anda adalah satu-satunya yang memiliki otoritas
untuk menilai baik-buruknya diri anda, namun ketika anda keluar dan bertemu dengan
banyak orang, mulailah jawaban-jawaban berbeda tentang diri anda muncul satu
per satu. Ketika itu anda harus memilih antara mempercayai semuanya, salah
satunya, atau justru tak percaya pada semuanya. Mungkin kita harus berterima
kasih kepada cermin, karena ia selalu menampakkan diri kita apa adanya. Lalu
mengapa cermin tak kuasa mengomentari kita tentang ini dan itu? jawabannya
karena cermin adalah benda mati kita semua pasti tahu itu. Jadi mengapa
manusia-manusia memiliki cara pandang yang berbeda-beda? Apa karena mereka
memiliki kualitas pengindraan yang berbeda? Atau, karena mereka mereka memiliki
cara berfikir yang berbeda? Kedua-duanya mungkin benar. Jadi manusia yang tak
pernah berfikir tentang sesuatu atau mempersepsikan sesuatu tak lebih mulia dari
sebuah cermin yang bisu, dan mereka yang selalu berkata sesuatu yang tidak
benar akan lebih hina dihadapan cermin. Maka jadilah orang yang sering berfikir
agar tidak menjadi korban dari kebohongan-kebohongan yang kerap kali diumbar
oleh orang-orang yang licik.
Ada yang mengatakan bahwa perbedaan manusia dengan mahluk hidup
lain (binatang, tumbuhan) terletak pada akalnya, perhatikan ketika terjadi
kebakaran di suatu tempat, tumbuhan tak kuasa untuk menghindar apalagi lari,
karena fitrahnya hanya hidup, bergerak pada posisinya, tumbuh dan berkembang
sedangkan binatang akan berlari menghindari api karena dianugrahi insting untuk
mengetahui bahaya, namun ia tak akan pernah kembali untuk mencoba memadamkan
api, karena insting yang ia miliki adalah insting yang stagnan dan tidak
berkembang, sehingga mereka mustahil belajar dari fenomena-fenomena yang ada.
Dari kasus tersebut saya berani menyimpulkan bahwa manusia yang tak mencoba
menghindari bahaya tak ubahnya seperti tanaman yang tak punya daya untuk
menggerakkan dirinya walau sejengkal dan manusia yang ketika mendapatkan
masalah kemudian lari dari masalah itu dan tak pernah kembali untuk
menyelesaikannya tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih hina darinya. Hanya
orang-orang yang rajin berfikir yang akan selalu menemukan solusi dari setiap
permasalahan hidup.
Manusia adalah hewan yang berfikir, kata Al-ghazali suatu waktu.
Siapa yang tak kenal tokoh yang berhasil mendialogkan antara filsafat dan
tasawwuf ini, meskipun beberapa karyanya terlihat begitu menghakimi filsafat
sebagai dalang kesesatan berfikir, dan menjadikan tasawwuf sebagai ilmu
kebenaran hakiki. Dalam perdebatan panjangnya dengan para filsuf yang terekam
dalam tahafut al-falasifah (kerancuan filsafat) yang kemudian dijawab
oleh Ibnu Rusyd dalam tahafut
at-tahafut (kerancuan yang rancu) dapat ditangkap bahwa sebenarnya Al-ghazali
bukan menolak filsafat, tetapi menolak gaya berfikir sebagian para filsuf yang
menggunakan filsafat untuk mendangkalkan keyakinan agama.
Kerangka Berfikir
Ala Sekolah
Setiap kali diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi tentang
Kerangka Berfikir, saya selalu menyampaikan analisis saya tentang perkembangan
kerangla berfikir manusia-manusia sekolahan dari waktu ke waktu. Siswa sekolah
dasar misalnya memiliki corak berfikir yang putih, sehingga mereka terkadang
hanya bisa menerima apa yang diajarkan sebagai sebuah kebenaran yang tak perlu
di ganggu-gugat. Beranjak menuju sekolah menengah pertama, umumnya corak
berfikir abu-abu adalah yang paling dominan, dimana seringkali mereka melakukan
imitasi-imitasi terhadapa berbagai “trend” zaman tanpa kalkulasi
baik-buruk. Di era ini para orang tua akan mulai dihantui kecemasan akan
kenakalan-kenakalan menjelang masa pubertas anak. Sekolah menengah atas adalah
masa transisi pola fikir yang cukup rawan, dimana seringkali puncak kenakalan
remaja akan menemui titik kulminasinya, beberapa peristiwa tawuran antar
pelajar SMA dan kasus video asusila pelajar seragam abu-abu adalah salah satu
yang menyedihkan, walaupun pada tingkat ini mereka telah berada fase aqil
balik, dimana nilai baik-buruk telah mendapat perhatian lebih bahkan serius.
Juga pada tingkat ini indoktrinasi yang mereka terima akan mulai mengantarkan
mereka menuju masa transisi dari fase labil menuju fase stabil baik secara
spiritual, emosional maupun intelektual yang akan berlanjut pada fase
selanjutnya yaitu fase menjadi mahasiswa.
Saya pernah mendengar seorang Ulama berkata bahwa pada masa transisi
dari sekolah menengah menuju kampus banyak remaja yang memiliki ruang kosong
dalam dirinya (mungkin ruang kesadaran spiritual) yang ketika salah sebuah
doktrin mengisi ruang itu, remaja tersebut akan akan mengalami gejolak yang
akan membawa perubahan yang mendasar pada dirinya. Sehingga akan banyak label
doktrin dan ideologi yang siap menjemput para mahasiswa baru, proses
indoktrinasi dan ideologisasi akan terus berlanjut hingga tahap dimana seorang
mahasiswa telah menemukan titik balik kedewasaan berfikir, sehingga ia tak lagi
sekedar membebe dan membeo pada produk pemikiran yang ada, tetapi telah mampu
untuk juga berfikir kritis.
Idealnya cara berfikir mahasiswa bukan lagi cara berfikir yang
abu-abu ataupun hitam-putih, melainkan cara berfikir yang colourful (kritis) yang tidak melulu menganggap pengetahuan hanya
tentang baik-buruk dan salah-benar, pengetahuan bisa mengandung sebuah nilai
yang harus diperjuangkan, juga terkadang mengandung sebuah strategi untuk
bertahan dan melawan arus yang tak lagi berpihak. Sehingga para mahasiswa harus
turut dalam kontestasi perkembangan pemikiran yang lebih rumit dan kompleks,
sehingga kekuatan referensial dengan modal bacaan yang melimpah akan membantu
mahasiswa untuk menentukan keberpihakan dan sikap yang harus diambilnya. Mungkin
tak semua orang mengalami fase-fase tersebut, khususnya mereka yang lari dari
sekolah, karena beranggapan bahwa semua orang adalah guru dan setiap tempat
adalah sekolah.
Berfikirlah, karena subtansi dari manusia adalah akal dan akal tak
berarti apa-apa tanpa berfikir!