2

Polemik Dunia Pendidikan Perguruan Tinggi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:59 AM in

Menjadi seorang Mahasiswa sudah menjadi impian banyak pelajar yang baru saja menyelesaikan proses belajar pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang setingkat, sebelum memasuki area bursa kerja yang tentunya tidak mudah. Dengan segudamg harapan dan cita-cita menggapai masa depan cemerlang, ribuan Mahasiswa Baru (Maba) memadati kampus-kampus untuk secara sukarela menyetor biaya pendidikan sebagai syarat utama mengikuti perkuliahan, berbagai agenda penyambutanpun nampak semarak dengan deretan spanduk dan baliho-baliho yang terpampang membanjiri tempat-tempat strategis, sebagai simbol adu gengsi antar lembaga-lembaga kemahasiswaan yang tak mau kalah saing satu dengan yang lain, layaknya lapak-lapak politik yang juga sedang merajai jalan-jalan kota di musim pemilukada saat ini.

Sebagai Mahasiswa Baru yang belum cukup memiliki modal kritis, tentunya disambut dengan ramah disertai berbagai kegiatan-kegiatan orientasi serta selebrasi yang menghibur adalah hal yang sangat menarik dan menyenangkan layaknya menghadiri sebuah karnaval pendidikan. Seperti yang baru-baru ini dilakukan Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta yang berhasil memecahkan rekor Muri peserta terbanyak “flashmob dance” yang membentuk peta Indonesia. Sebuah acara penyambutan Mahasiswa baru yang luar biasa, dan akan lebih membanggakan lagi ketika para Intelektual muda tersebut nantinya mampu mensinergikan potensi intelektualitasnya dengan sikap dan tindak kepedulian terhadap masyarakat.

Dunia Fantasi Pendidikan

Orientasi Mahasiswa Pengenalan Kampus (Ospek), sebuah agenda yang menjadi rutinitas tahunan di berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta, kegiatan yang oleh banyak pihak dianggap tidak lebih sebagai ajang perpeloncoan dan unjuk senioritas, karena indikasi adanya aksi pemerasan dan kekerasan yang marak terjadi menjadikan kegiatan ini sempat diblack list oleh banyak pemerhati pendidikan, hal ini tentunya menjadi sebuah ironi akut yang turut serta memperburuk kualitas dan citra pendidikan di Indonesia, apalagi dilakukan oleh para juru kunci kepemimpinan bangsa. Selain tentunya berbagai problematika internal kampus yang sedang dilanda trend pembangunan berdalih peningkatan sarana dan prasarana belajar untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Sihir ideologi developmentalisme telah membuat banyak perguruan tinggi berlomba-lomba membangun gedung-gedung mewah dan megah layaknya hotel-hotel berbintang, hal itu sebenarnya sama sekali baik jika memang benar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun menjadi sangat ironis ketika hanya sebagai ajang fantasy pendidikan. Alih-alih menjadi tempat penyemaian insan yang berintelek, fantasi dunia perguruan tinggi justru akan melahirkan manusia-manusia yang tidak melek dengan berbagai realitas sosial yang terjadi.

Tampaknya dunia pendidikan kita sedang bersaing prestasi dengan para pemodal untuk membangun kawasan Duffan (dunia fantasi) yang juga tengah marak sebagai taman hiburan kaum urban yang rentan dilanda kegalauan akibat menyempitnya ruang-ruang publik. Sayangnya fantasi dunia kampus justru akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang mudah galau, karena dunia kampus yang tidak lagi memiliki iklim pengetahuan dan suasana keilmuan, malah menjadi tempat yang mirip kawasan wisata yang berlabel pendidikan. Sehingga para mahasiswnya tidak nampak seperti kaum terpelajar akibat kurangnya suplai pengetahuan dari almamater mereka, sehingga ketika sebuah polemik melanda, mereka akan mudah mengalami kebuntuan. Menyedihkannya lagi peningkatan kualitas sarana dan prasarana di berbagai perguruan tinggi berbanding lurus dengan kuantitas harga pendidikan yang juga kian melambung, maka dapat dipastikan menjadi mahasiswa tinggallah harapan kosong bagi mereka yang hidup dalam belengguh kemiskinan. Ditambah momok privatisasi yang sedang menghantui berbagai perguruan tinggi negeri, semakin menyeret dunia pendidikan kita ke jurang dekadensi.

Mahasiswa Buruh?

Pendidikan sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas diri manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki akal dan nurani yang suci serta jauh dari sifat kebinatangan, maka menjadi seorang yang terdidik (educated people) memiliki konsekuensi mutlak untuk memperbaiki realitas sosial yang tidak sesuai dengan cita-cita ideal, bukan malah lari dan menjauh dari organ sosialnya, atau justru menjadikan kehidupan sosial sebagai ladang eksploitasi untuk memenuhi syahwat materialnya. Untuk konteks perguruan tinggi mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang mampu berfikir rasional-kritis, peka terhadap terhadap berbagai problematika sosial yang terjadi, serta dapat mengawal terjadinya transformasi sosial yang sehat di tengah-tengah masyarakat, namun bagaimana kemudian ketika justru otoritas kampus mendikte kebebasan intelektual dan mengungkung ruang gerak mahasiswanya, maka yang terjadi adalah mahasiswa menjadi manusia boneka yang miskin wacana pengetahuan dan mental gerakan. Oleh karena itulah lahirlah banyak Mahasiswa buruh yang hanya menjadi objek eksploitasi mesin-mesin industri serta perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri yang banyak terlibat agenda korporatokrasi.

Titel kesarjanaan yang kini menjadi perburuan utama sebagian mahasiswa telah menjadi candu yang banyak menidurkan kritisisme kaum intelektual muda kampus, karena perguruan tinggi dewasa ini layaknya mesin raksasa pendidikan untuk mencetak para pekerja yang didesain siap pakai meski dengan bekal keterampilan seadanya dan pengetahuan apa adanya, sehingga dunia pendidikan yang semestinya menjadi sarana menciptakan taraf hidup yang qualified malah menjadi agen penyuplai terbesar para sarjana buruh yang memang terlebih dahulu telah dicekcoki mental inlander dengan kesadaran magis-pragmatis, sehingga wajar ketika banyak calon sarjana yang berburu lokasi kerja dengan motif magang. Selain berdalih latihan kerja magang juga dijadikan alasan untuk menghindari momok pengangguran, yang ternyata juga banyak menimpa kaum sarjana. Realitasnya magang menjadi sarana eksploitasi para mahasiswa untuk meringankan beban kerja pegawai dan karyawan yang tentunya sangat diuntungkan. Meski dengan apresiasi yang kadang hanya berupa sertifikat magang dan tanpa upah, para mahasiswa yang memang tidak memiliki bargaining skill secara legowo menerima itu sebagai bentuk pengabdian. Maka bagaimana mungkin mahasiswa semacam itu menjadi agent of social cange, sedangkan untuk urusan kehidupan personal saja mereka sudah terseok-seok dan takluk oleh tirani pasar kerja.

Sudah semestinya pihak kampus senantiasa memberikan ruang bagi terciptanya keberhidupan intelektualitas serta gerakan mahasiswa yang aktif dan dinamis, bukan malah memenjarakan para mahasiswanya dalam opium pengetahuan yang miskin analisis dan praksis. Serta hanya menjadikan mahasiswa sebagai alat meningkatkan grade popularitas kampus akibat candu eksistensialisme buta. Maka penyambutan mahasiswa baru yang kini sedang semarak tak ubahnya seperti seremonial selamat datang kepada para pengunjung dunia fantasi pendidikan sebagai calon buruh Indonesia.



|

2 Comments


mantaap sahabat! pengguna internet akan terus menantikan gagasan dan karya-karyamu

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.