0
Merajut Asa Bersama Komunitasnya Manusia
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
12:22 PM
in
Refleksi
Beberapa
waktu yang lalu aku sempat berkomitmen untuk menjadi penulis aktif, minimal
dalam sebulan beberapa tulisanku dapat menghiasi daftar entri “manusiacipta”,
sebenarnya diwaktu kecil aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang penulis,
seperti angan anak-anak pada umumnya cita-citaku juga terinspirasi dari
profesi-profesi yang langsung menyentuh kehidupan nyata (guru, dokter, polisi,
tentara, presiden dsb), beda halnya dengan para penulis yang kehidupannya
dihabiskan untuk berselancar di alam ide dan imajinasi, walaupun belakangan aku
baru tahu bahwa para penulis adalah pembaca-pembaca realitas yang handal, merekalah
yang mampu mendeskripsikan realitas melalui rangkaian kata sehingga mampu
menghipnotis orang lain untuk juga mau berfikir tentang berbagai hal, entah
yang mampu dijangkau oleh indra ataupun yang hanya mampu dijangkau oleh rasio
dan nurani.
Ada banyak
hal yang ingin aku lakukan untuk mengisi masa muda, masa yang penuh dengan
dinamika, titik balik dari kehidupan. Masa ini akan menentukan rentetan
perjalanan menuju masa depan, perjalanan panjang menuju dua muara kehidupan,
kesuksesan atau kegagalan. Semua manusia diberi waktu yang sama meski dengan usia
yang berbeda, setiap manusia sama-sama dianugerahi potensi, namun masing-masing
berbeda dalam menggali dan memaksimalkannya. Seringkali aku bertemu dengan anak
muda yang menikmati hidupnya hanya dengan bersenda gurau, nongkrong, melancong ke
sana kemari hingga berfoya-foya, mereka beralibi bahwa hidup tak usah dibuat
susah, nikmatilah selama masih ada waktu tersisa, motto hidup mereka adalah “muda
berfoya-foya, tua bahagia, mati masuk surga” betapa hidup begitu sederhana bagi
kaum yang satu ini. Adapulah yang berpegang pada motto “biarkan hidup mengalir”
seolah-olah hidup hanya untuk menghabiskan waktu mencapai muara kematian,
seperti kayu terapung yang hanya turut pada arus sungai yang akan menuju muara
lautan, tanpa pernah berdaya melawan arus yang hanya akan membawanya menuju kerapuhan hingga akhirnya hancur dan hilang tanpa jejak.
Sayangnya
banyak generasi muda kita yang tak begitu tertarik pada olah pikir. Umumnya mereka
lebih mengedepankan olah rasa akibat propaganda drama korea hingga sinetron
yang mengekspresikan cinta secara murahan, sehingga mereka kerap mudah diserang
kegalauan yang berkepanjangan. Benar bahwa menghamba kepada layar kaca akan
mengurung ruang imajinasi dan ekspresi kita, sehingga hanya bisa melakukan copy-paste
tanpa pernah belajar untuk lebih kreatif dan inovatif.
Merajut
impian, menggantungkan cita-cita bukanlah suatu hal yang sia-sia, anak-anak
masa kini harus terus dimotivasi untuk bermimpi dan bercita-cita setinggi
mungkin, untuk membangun optimisme hidup sejak dini, apalagi ditengah wabah
pesimisme yang melanda negeri ini. Minimal mereka akan terus memacu semangat untuk
memaksimalkan potensi diri. Memasuki usia belia mereka harus mulai diajarkan
tentang prinsip hidup, hal itu bisa berasal dari ajaran agama maupun kebudayaan
yang telah berakar kuat dalam masyarakat berabad-abad lamanya yang mengandung
nilai-nilai keluhuran, seperti kearifan, keteladanan, keteguhan serta sikap pantang
menyerah.
Menyedihkan
ketika mendengar banyak anak negeri ini menjalani masa kecil tanpa sedikitpun
terbenak tentang impian dan cita-cita untuk masa depan mereka, imajinasi mereka
begitu dikungkung oleh realitas sosial yang membuat mereka tak lagi pernah
mengenal apa itu masa depan. Mereka yang hampir menghabiskan hari-harinya di
jalan-jalan kota hingga kolong jembatan megah, hingga yang harus merasakan
kerasnya hidup sedari kecil. Semua itu bukanlah sekedar fenomena, tetapi
merupakan penyakit sosial yang harus segera diobati dengan kebijakan dan
kebijaksanaan para pemangku amanah di negeri ini.
Kesedihan
melihat ironi anak negeri sedikit terobati dengan hadirnya beberapa
komunitas-komunitas yang mengambil peran alternatif untuk menyelamatkan
anak-anak dari bahaya kelalaian dan sikap abai Negara. Komunitas Pecinta Anak
Jalanan (KPAJ) Makassar, salah sebuah komunitas peduli anak jalanan yang tahun
ini resmi berusia empat tahun. Disana aku menemukan sebuah ekspresi kehidupan
anak jalanan yang sangat berbeda, sederhana namun sangat bersahaja, meski
dengan berbagai kekurangan infrastruktur dan keterbatasan sumber daya, semangat
berbagi tetap menghiasi para penggiat dan peserta didiknya. Mereka yang
terbiasa dengan kehidupan jalan yang liar, perlahan diajak untuk menjadi anak
yang memiliki impian untuk mendorong semangat belajar, dan cita-cita untuk
memperbaiki kualitas hidup di masa mendatang. Aku yakin mereka yang tergabung
dalam tim volunteer KPAJ adalah para manusia yang telah diberi hidayah
untuk melakukan agenda-agenda pencerahan. Mereka yang rela mengorbankan
waktunya hanya untuk memenuhi kebutuhan semangat berbagi dengan modal ketulusan
dan upah kebahagiaan. Kebahagiaan karena telah mendedikasikan hidup dengan cara
yang bermakna. KPAJ adalaj komunitasnya manusia, semoga semakin memanusiakan di usianya yang ke empat dan yang akan datang.
Pengorbanan dalam berjuang tak sama sekali merugikan, ketika kita
telah mengimani bahwa kehidupan yang tidak bermanfaat bagi orang lain, adalah
kehidupan yang tak layak untuk dijalani. Banyak-banyaklah mengkritik ketidaksesuaian dan
ketidakadilan, tapi jangan lupa sambil terus mengintrospeksi diri untuk
berbenah dan melakukan aksi nyata. Mereka yang hidup tanpa pernah melakukan
kebaikan untuk banyak orang hanya akan menghuni daftar orang-orang yang hanya
bisa mewariskan sampah bagi kehidupan di masyarakat. Bagi seorang manusia mati tanpa menitipkan jejak kebaikan, adalah kematian eksistensial (kematian sesungguhnya)
Maka hidup bukan sekedar untuk dijalani, tetapi juga untuk dimaknai. Mereka
yang tak belajar memaknai hidup, hidup hanya dengan jasadnya, tanpa ruh!
Post a Comment