0
Aku Bertanya Maka Aku Ada
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
12:04 PM
in
Filsafat
Ingatkah ketika anda masih kanak-kanak?
Sekitar usia tiga sampai dua belas tahun, ketika anda mulai belajar
mengeja kata, atau telah mahir memanggil sapaan “mama” dan “papa”, mungkin
banyak diantara kita yang telah lupa. Saat itu sebenarnya kita menjelma menjadi
seorang “filsuf cilik” yang mulai belajar tentang nama benda-benda di sekitar
kita, mulai beradaptasi dengan bunyi-bunyi (red-bahasa) yang menghiasi
keseharian kita, sebuah fase awal mengenal kehidupan walau belum sampai pada
tahap memahami. Sewaktu berada pada masa kanak-kanak mungkin kita belum menjadi
seorang yang mampu berfikir secara sempurna, sehingga apa yang sering kita lakuakan
adalah bertanya tentang berbagai hal yang ada dan yang terjadi di
sekeliling kita. Gaya bertanya yang senantiasa diiringi kepolosan hingga
kelucuan yang memancing gelak-tawa.
Bertanya Filosofis
Bertanya, sebuah kata yang terkadang
mengandung makna yang sangat tendensius, mungkin bagi salah satu kebudayaan
yang ada di dunia ini, bertanya merupakan sebuah hal yang terlarang, apalagi
tentang sesuatu yang dianggap sakral. Sehingga yang ada adalah budaya menerima
segala sesuatu sesuai dengan wujud empiriknya atau sesuai dengan dogma yang ada
dalam masyarakat.
Dalam
sejarahnya filsafat selalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tentang
berbagai hal yang menyangkut dunia dan kehidupan (alam, manusia hingga Tuhan), ketika
Thales mempertanyakan tentang urstof (unsur dasar) alam semesta, dalam
proses pencahariannya ia mengamati berbagai gejala kehidupan di sekitarnya. Manusia,
hewan dan tumbuhan tak dapat hidup tanpa air, hujan yang mengobati kekeringan,
kesedihan yang menyebabkan keluarnya air mata saat seseorang menangis, hingga
janin yang berasal dari air mani membuat Thales berfikir bahwa unsur dasar alam
semesta adalah air. Hipotesa Thales tersebut mendapat bantahan dari
filsuf-filsuf setelahnya, seperti Anaximenes yang mengatakan bahwa urstof alam semesta adalah udara dan Heraclitos
yang mengatakan bahwa apilah yang menjadi unsur dasar dari alam semesta. Kontradiksi-kontradiksi
para filsuf tersebut tentunya berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang sama
dengan metode berfikir yang berbeda, sehingga membuat mereka berkesimpulan
berbeda-beda.
Dari
beberapa buku filsafat yang pernah saya baca Thales selalu berada diurutan pertama deretan para filsuf, dia
hidup sekitar tahun 600 SM, sampai saat ini saya belum percaya pada hal itu,
karena saya berfikir bahwa mana mungkin orang-orang mesir kuno sekitar tahun 3000
SM dapat membangun sebuah maha karya berupa Piramida raksasa tanpa kecerdasan
dan cara berfikir filosofis? Atau sekitar 4000 tahun yang lalu (tahun 2000 SM)
ketika masyarakat lembah sungai indus India berhasil membangun sebuah peradaban
kota dengan kecanggihan arsitektur yang luar biasa, kota Harappa dan
Mohenjo-Daro yang sangat teratur dan tertata rapi merupakan bukti kecemerlangan
filsafat masyarakat sungai Indus kuno. Bahkan ketika menengok Kitab Lagaligo,
sebuah karya tulis kuno terbesar dan terpanjang di dunia yang lahir dari rahim
masyarakat Bugis, saya lalu bertanya, peradaban apa yang dapat melahirkan
sebuah kitab kehidupan sekaliber Lagaligo? Tak mungkin peradaban kecil atau biasa-biasa
saja kan? Kemudian saya berani menduga bahwa masyarakat Bugis telah berfilsafat
jauh sebelum Thales berfilsafat dan mulai mempertanyakan alam semesta ini.
Dekat dan Tak Dimengerti
Bagi saya berfikir dan bertanya merupakan
dua hal yang berjalan beriringan, ketika mulai memikirkan tentang sesuatu, pada
saat itu pula sebenarnya kita sedang mempertanyakan sesuatu itu. Ketika
Descartes seorang bapak rasionalisme mengatakan “aku berfikir, maka aku ada”,
saya akan menambahkan dengan berkata “aku bertanya, maka aku ada”, karena bertanya bagiku merupakan sebab sebuah eksistensi,
terkadang saya bertanya-tanya tentang mereka yang terlalu sering diam, padahal
ada banyak persoalan yang perlu kita bincangkan, atau mungkin terlalu memegang
teguh konsep tawadhu’ yang meniscayakan seseorang selalu merasa rendah hati,
sering kurang tahu, atau bahkan tidak tahu apa-apa. Yah, bagiku di saat kondisi
kehidupan saat ini dimana persoalan dan masalah memenuhi hampir semua
sektor-sektor inti kehidupan, tawadhu’ model itu tidak lagi kontekstual, kita
harus lebih sering memacu diri untuk bertanya, berfikir dan berdiskusi dengan
orang lain.
Sekarang
saya sedang sibuk menyusuri kata per kata hingga lembar demi lembar sebuah
karya filsafat berbentuk Novel yang dikarang oleh Fauz Noor, sebenarnya buku
yang berjudul Tapak Sabda itu secara
subtansi tidaklah asing, buku yang hampir sama berjudul Dunia Sophie yang ditulis oleh Jostein Gaarder telah lebih dulu aku
baca, aku belum berani menyimpulkan bahwa kedua buku tersebut memiliki konsep
dan alur yang mirip. Karena aku belum menamatkan si Tapak Sabda. Seringkali kita dibuat bingung oleh hal-hal yang dekat
bahkan sangat intim dengan diri dan kehidupan kita, ketika kita mulai bertanya
tentang hal-hal itu kita terkadang di buat pusing tujuh keliling. Itu adalah salah satu poin penting dari sebuah
bagian pembahasan dalam buku itu, seperti kutipan pertanyaan “Dimanakah letak
kenikmatan tidur?” Setelah membaca itu aku dibuat pusing setengah stres untuk
mencari jawabannya. Atau pertanyaan lain seperti “Mengapa saat kita bersedih, kita
meneteskan air mata? Semakin kita menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
itu, maka semakin banyak pula pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, ibarat
jalan panjang yang berliku tanpa ujung.
Salah
sebuah hadist menyebutkan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi kita, seberapa
dekatkah itu? Belum ada jawaban atau memang tak ada jawaban (manusia) atas
pertanyaan itu. Hal itu seolah mengajarkan bahwa semakin dekat sesuatu itu
dengan diri kita maka ia akan semakin rumit dan tak terjelaskan (undiscourse), atau dalam bahasa Tapak Sabda “dimengerti
ketidakmengertiannya”. Dalam sebuah hadist qudsi yang berbunyi “man ‘arafa
nafsahu faqad’ ‘arafa rabbahu” barang siapa mengenal dirinya, dia telah
mengenal Tuhannya, Tuhan seolah ingin mengabarkan bahwa manusia adalah
manifestasi keberadaan-Nya, sehingga tak aneh ketika Al-hallaj seorang ahli
tasawwuf berkata “Ana rabbun”, sebagai wujud pengenalan hamba kepada Tuhannya.
Itulah
filsafat, ia senantiasa mendorong kita untuk bertanya dan berfikir secara
mendalam (radikal). Aku teringat sebuah ayat dalam Al-quran yang difirmankan
oleh Allah ketika ruh hendak ditiupkan ke dalam jasad janin yang dikandung “alastu
birabbikum” bukankah Aku Tuhanmu, kata Allah. “qalu bala syahidna” betul,
Engkaulah Tuhan kami, kata mereka. Ayat itu mengisyaratkan bahwa kehidupan
manusia dimulai dari sebuah pertanyaan. Filsafat tak sama sekali bertentangan
dengan agama ketika ia berada pada jalur dan koridor yang benar. walaupun filsafat
berangkat dari keraguan (syak) dan agama berangkat dari keyakinan (iman). Menurut
AG. Dr. H Sanusi Baco Lc, perbedaan iman dan pengetahuan (filsafat) adalah,
Iman menuntut kita menerimanya terlebih dahulu kemudian mempertanyakannya,
sedangkan pengetahuan (filsafat) menuntut kita mempertanyakannya terlebih
dahulu kemudian menerimanya, antara iman dan pengetahuan tak ada pertentangan
karena dalam kehidupan manusia keduanya memiliki proporsi masing-masing.
Filsafat
tak akan pernah mereposisi peran dan kedudukan agama, justru ia akan semakin meneguhkannya,
karena sejatinya manusia adalah mahluk yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan,
hanya Allah lah yang Maha kuasa dan Maha tahu. Sehingga sebebas apapun fikiran
terbang menembus cakrawala ilmu dan pengetahuan, itu semata-semata untuk menuju
ketundukan kepada Sang khalik, ketaatan pada firman dalam ayat-ayatnya
(Al-quran) dan risalah Nabi-Nya (sunnah Rasulullah).
Maka bertanyalah, karena Aku bertanya maka Aku ada !
Maka bertanyalah, karena Aku bertanya maka Aku ada !
Post a Comment