0

Kisah-Klasik Tawuran Antar Pelajar

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:10 PM in
Tawuran, dulu, kini dan entah sampai kapan 
(sumber : siradel.blogspot.com)


Jakarta . . .

Pagi itu udara tak begitu sejuk, layaknya di desa-desa yang masih asri, jalananpun sudah nampak ramai dengan kendaraan yang berjubel, saling kebut, dahulu-mendahului karena sang pengendara sedang berburu waktu. Jalan-jalan ibu kota memang senantiasa ramai-padat, apalagi di hari-hari sibuk, seperti hari kerja, sekolah dan aktifitas di luar rumah lainnya. Meskipun di hari libur sekalipun kemacetan ibu kota merupakan pemandangan rutin. Sehingga kadang kala orang-orang di buat bingung ketika hendak bepergian, antara memilih hari kerja atau hari lubur.

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, dari kejauhan nampak segerombolan anak bercelaba abu-abu terlihat tergesa-gesa, mereka membawa berbagai alat-alat yang terasa asing untuk anak yang berseragam sekolah, batu, kayu, besi, bahkan ada yang memegang celurit dan parang, ada apa gerangan?

Tak lama berselang sekelompok anak muda berseragam sama dari arah yang berbeda juga terlihat dengan benda-benda berbahaya di tangan, perkelaihanpun pecah, masing-masing kubu pelajar dengan tanpa rasa takut saling berhadap-hadapan, melempar, memukul dengan kayu, mengayun-ayunkan tali yang telah di ikatkan benda padat sekenanya, yah, sekenanya. Hal itu nampak menunjukkan mereka bukanlah orang-orang yang terlatih, berpengalaman, dan profesional, karena mereka bukanlah preman, bukan pula orang yang sedang mengamuk kesetanan, mereka hanyalah sekelompok anak muda yang ingin diakui keberadaannya, mereka ingin exist, tanpa tendensi dari kelompok lain.

Merekalah sekelompok anak muda yang belum dapat secara cerdas mengontrol emosi yang membatu, dengan cara berfikir apa adanya dan sejadinya, sehingga mereka kadang lupa mempertimbangkan “akibat”, hanya sibuk mencari-cari “sebab”.

Mereka juga hanyalah sekelompok pemuda yang merasa tak lagi memiliki ruang untuk mengekpresikan diri dalam ranah-ranah yang positif menurut kaedah umum, bisa karena minimnya perhatian orang tua yang tengah sibuk dengan rutinitas kerja, atau kealpaan pihak sekolah yang kurang mampu memberikan pendidikan dan menanamkan sikap dan budi pekerti luhur, yang pasti di balik tragedi itu ada pihak yang harus bertanggungjawab.

Saya juga pernah seperti mereka, memakai seragam abu-abu putih namun bedanya saya tidak pernah terlibat tawuran, hehe. Tapi ketika ditanya kenapa mereka tawuran? mungkin salah-satu jawabannya kurang lebih seperti ini:

Kami terpaksa Tawuran, untuk menjaga gengsi sekolah, kami harus membuktikan bahwa siswa sekolah kamilah yang paling Jago dan terhebat, walaupun dalam hal adu jotos hingga tawuran sekalipun.

Yah,, sekali lagi mereka butuh bimbingan dan pembinaan yang lebih, mereka adalah sekelompok anak muda yang tengan disibukkan agenda pencaharian jati diri. Dan tentunya kita tidak ingin proses pecaharian itu dicekcoki oleh sikap dan perilaku kekerasan hingga berujung tawuran.



|
0

Mainstream Politik, Antara Pragmatisme dan Apatisme

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:22 AM in
sumber : okedir.com

Di Indonesia suksesi pemerintahan secara sporadis akan diselenggarakan di beberapa daerah, nuansa pemilukada yang diklaim merupakan salah satu “pesta demokrasi rakyat” nampaknya hanya sebentuk propaganda untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat luas, kendati telah diberlakukan sistem pemilihan secara langsung tanpa proses legislasi, tetap saja intrik capital masih menjadi fenomena arus politik dominan, politik sudah menjadi sebuah komoditi bernilai jual tinggi, itu berarti kekuasaan merupakan sebuah capaian politik yang tidak bisa lepas dari kaedah transaksional, karena hari ini suara rakyat dapat dibeli dengan nominal maka idealitas sistem demokrasi yang senantiasa dipuja, tak lebih dari sebuah konsepsi yang penuh dengan cacat praksis, utopis dan anarkis, mengapa demikian?

Dinamika kehidupan berpolitik merupakan sebuah kodrat yang harus disikapi secara dewasa, karena politik tidak bisa lepas dari trend perkembangan zaman yang senantiasa dipengaruhi oleh kooptasi hegemoni, kapitalisme yang merupakan anak kandung dari liberalisme kini menjadikan politik sebagai sebuah wilayah komersil, layaknya pasar bebas yang menciptakan ruang-ruang kompetisi untuk menghidupkan nalar material sebagai sebuah tuntutan bagi manusia yang merupakan mahluk ekonomi (homo economicus), dunia politik kini menjadi sebuah ladang ekonomi yang sangat menjanjikan. Maka berpolitik tidak lebih dari sekedar upaya aktualisasi diri untuk memenuhi syahwat materi, bukan sebagai sarana aspirasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat.

Politik kemasyarakatan merupakan sebuah nalar politik yang kurang dimiliki para politisi saat ini, karakter berpolitik yang beretika dan bermoral yang seharusnya menjadi jati diri para politisi sedang mengalami pembusukan akibat orientasi politik yang salah arah, karena berpolitik hanya dimaknai sebagai sebuah tindakan pro-aktif untuk meramaikan kontestasi perebutan kekuasaan.

Dalam dikotomi sikap berpolitik, pragmatisme dan apatisme politik merupakan dua sikap poitik dominan yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Pragmatisme politik dilatarbelakangi oleh nafsu profit oriented dalam berpolitik, sehingga untuk mendulang sebanyak-banyaknya dukungan dari masyarakat trick money politik masih menjadi jurus andalan para politisi. Adapun masyarakat yang menjadi pemilih akan secara legowo menerima angpau politk tersebut, mengingat terkadang seorang pemimpin yang terpilih akan mengalami amnesia terhadap kehidupan masyarakatnya ketika telah larut dalam euforia kekuasaan, maka mengambil keuntungan ketika prosesi kampanye para kandidat sedang berlansung, menjadi pilihan instan masyarakat dari pada tidak mendapat apa-apa sama sekali setelah terpilihnya pemimpin tersebut.

Apatisme politik merupakan sebuah sikap yang lahir dari kelompok masyarakat yang telah sampai pada titik jenuh melihat realitas kehidupan politik yang tidak sehat, timpang, dan penuh sandiwara. Bisa juga karena tidak adanya sosok kandidat yang dinilai kredibel dan pantas menjadi pemimpin. Sehingga lahir sebuah kelompok politik yang dikenal sebagai golongan putih (golput). Kelompok ini biasanya banyak dimotori oleh mereka yang kecewa terhadap suksesi pemerintahan yang cenderung seremonialistik, hanya menghabiskan banyak anggaran namun pasca suksesi tidak ada perubahan positif signifikan yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Krtisisme politik adalah sebuah sikap politik yang paling ideal, dimana masyarakat akan menggunakan hak suaranya untuk secara cerdas memilih peminpin yang benar-benar memiliki kapabilitas yang mumpuni serta berpihak kepada rakyat, memilih dengan hati nurani tanpa iming-iming materi. Hanya saja intrik politik uang terkadang menjadi tembok nurani yang menyeret masyarakat ke arah pragmatisme politik. Lalu bagaimana peran partai politik sebagai lembaga yang senantiasa mewadahi berbagai aspirasi masyarakat.

Peran partai hari ini tak lebih sebagai mesin pendulang uang bagi para politisi dalam pembiayaan kampanye politiknya, tidak heran ketika posisi-posisi strategis di banyak partai politik dihuni oleh para pengusaha, sebagai sebuah kongsi politik antara pengusaha dan penguasa. Sehingga nantinya kapling kebijakan yang memihak kepada para pengusaha dapat dengan mudah digoalkan. Ketika nalar politik uang masih menjadi corak budaya berpolitik di Indonesia, maka konsepsi demokrasi “Suara rakyat suara Tuhan” tinggallah menjadi sebuah fosil sejarah, karena apa yang terjadi hari ini adalah “Suara uang suara rakyat”, ketika uang berbicara maka segala kepentingan politik dapat segera terkondisikan.

|
0

Semarak MAPABA PMII Cab. Gowa

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:40 AM in

Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) di lingkup Universitas Islam Negeri Alauddin  (UIN) baru saja usai, berbagai agenda akademik kampus kini menanti para Mahaiswa Baru (MABA), tak ketinggalan berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus juga memenuhi  kolom-kolom informasi di sudut-sudut setiap gedung fakultas. Agenda penerimaan mahasiswa baru juga menjadi momentum perekrutan anggota baru  berbagai lembaga kemahasiswaan, salah satu lembaga kemahasiswaan ekstra kampus yang terbesar di UIN Alauddin adalah Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi kemahasiswaan nasional ini baru saja melaksanakan kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) pada 9-11 agustus 2012, bertempat di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Pallangga Gowa, kegiatan ini diikuti lebih dari 150 mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Ini merupakan MAPABA perdana di tahun akademik baru yang diselenggarakan oleh pengurus PMII Komisariat UIN Alauddin dan pengurus Rayon Fakultas sejajaran UIN Alauddin.

Antusiasme peserta yang memenuhi aula pesantren menjadi pemandangan yang sangat berkesan, apalagi materi-materi yang disajikan sangat menarik dan membuka wawasan pengetahuan, itu terbukti dari testimonial beberapa peserta yang mengaku sangat senang dan bangga dapat menjadi bagian dari prosesi kegiatan tersebut sejak awal hingga akhir, MAPABA yang merupakan kegiatan rutin pasca penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi menjadi satu wadah rekruitmen anggota organisasi yang merupakan anak kandung dari Nahdlatul Ulama tersebut.

Kegiatan tersebut merupakan satu langkah kongkrit PMII dalam membangun geliat intelektual mahasiswa baru yang tentunya akan diperhadapkan pada berbagai macam fenomena sosial di dunia kampus, mengingat mereka merupakan target utama indoktrinasi berbagai macam kepentingan, untuk itu membekali mereka dengan suplai pengetahuan yang cukup akan membantu mereka untuk memproteksi diri dari proses ideologisasi yang tidak sehat, sehingga mereka secara cerdas dapat memfungsikan potensi nalar untuk memposisikan diri sebagai frame identitas sosialnya.

MAPABA yang juga merupakan level awal dalam proses kaderisasi di PMII diharapkan mampu menjadi batu loncatan para mahasiswa baru dalam mengembangkan potensi diri dan membangun kualitas intelektualnya, dengan sinergitas nalar dan mental sebagai sebuah batang tubuh untuk menggerakkan semangat beramal shaleh di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

|
0

Menyongsong Kampung Bahasa Sulawesi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 2:39 PM in ,

sumber : www.fkbs.org

"Pendidikan alternatif ala Kampung Bahasa Pare & Peluang Kampung Bahasa Sulawesi”

Itulah tema diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), pada hari kamis 6 september 2012 kemarin yang bertempat di Politeknik Negeri Ujung pandang, dengan dukungan beberapa lembaga bahasa Inggris kampus, English club, dan praktisi serta pemerhati pendidikan, nampaknya Kampung Bahasa Sulawesi yang mulai mewacana beberapa tahun terakhir akan menemui titik terang. Kepala dinas pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi-selatan, Drs. H. Abdullah Djabbar, M.Pd dan Direktur sekolah Islam Athira Makassar, Drs. Edi Sutarto, M.Pd, menjadi pembicara utama pada agenda diskusi tersebut, didampingi oleh penulis buku ” Pare dan Catatan Tak Usai”, A. Zulkarnain yang juga merupakan dewan pendiri Forum Kambung Bahasa Sulawesi (FKBS).

Diskusi publik pertama yang diselenggarakan oleh FKBS tersebut merupakan satu media memobilisasi dukungan dari berbagai pihak untuk turut menyumbangkan ide dan gagasan tentang rencana pendirian Kampung Bahasa (Inggris) Sulawesi, semakin meluasnya dukungan dari para tokoh pendidikan nampak dari penjelasan Drs. Edi Sutarto yang menaruh optimis penuh terhadap konsep pendidikan alternatif yang diperjuangkan FKBS, ditambah suntikan semangat dari pemegang otoritas pendidikan Sulawesi-selatan Drs. H. Abdullah Djabbar yang juga mendukung sepenuhnya rencana tersebut, bahkan siap membantu dan menjadi fasilitator demi kesuksesan pendirian Kampung Bahasa Sulawesi.  

Inisiatif mendirikan Kampung Bahasa Sulawesi, berawal dari keperihatinan terhadap kondisi dunia pendidikan di Indonesia dari berbagai segi, salah satunya adalah persoalan kualitas pendidikan, bisa dibayangkan mereka yang hanya belajar satu tahun di Pare, kediri dengan fokus misalnya bahasa Inggris dapat mengungguli kualitas keilmuan mereka yang belajar bahasa Inggris lewat bangku perkuliahan. Akhirnya dari diskusi-diskusi yang intensif dilaksanakan oleh sebuah organisasi kedaerahan pelajar asal sulawesi yang berkedudukan di Pare, Association of Sulawesi Students (ASSET), wacana kampung bahasa Sulawesi semakin meluas, dan mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, maka dengan dorongan semangat tersebut dibentuklah Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS) sebagai wadah independent untuk mengawal  terwujudnya tujuan tersebut, yang salah satunya dengan mengagendakan berbagai kegiatan stimulus untuk mempercepat berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi.

Kampung Bahasa Pare yang terletak di Kecamatan Pare, kab. kediri Jawa Timur, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mampu menjadi sentral pembelajaran bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) yang terjangkau dengan coraknya yang sangat khas, memotivasi anak-anak muda asal Sulawesi yang pernah belajar di Pare untuk membentuk sebuah kawasan pendidikan dengan konsep dan metodologi pembelajaran kurang lebih ala Pare di Sulawesi. Dari segi potensi dan sumber daya manusia peluang berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi akan menjadi harapan baru bagi dunia pendidikan, mengingat mayoritas pelajar luar pulau Jawa yang datang ke Pare adalah pelajar asal Sulawesi, hal itu merupakan bukti tingginya minat belajar masyarakat Sulawesi, maka rencana  pendirian Kampung Bahasa Sulawesi harus senantiasa didukung oleh semua kalangan.

Kampung Bahasa Sulawesi yang telah lama dicita-citakan akan menjadi salah satu prototipe dunia pendidikan non-formal  yang akan menjadi wadah transformasi pengetahuan yang aktif, berkaca pada kesuksesan kampung Bahasa Pare yang telah melahirkan puluhan ribu alumni, kampung bahasa sulawesipun nantinya diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi yang unggul. Dalam grand concept Kampung Bahasa Sulawesi, ada lima nilai yang akan menjadi landasan utama dalam menjaga iklim pendidikan dan harus dijaga oleh semua kalangan yang akan meramaikan keberhidupan Kampung Bahasa Sulawesi nantinya, yakni prinsip pendidikan yang murah, merakyat, berkualitas, berkarakter dan religius, kelima nilai tersebut harus menjadi ruh yang akan menciptakan nuansa pendidikan yang ideal, karena tujuan didirikannya kampung bahasa ini adalah untuk melawan elitisasi pendidikan yang  menggusur hak rakyat kecil untuk belajar secara layak,  mengimbangi konsep pendidikan  sekuler yang cenderung memisahkan kecerdasan nalar-intelektual dengan karakter dan moralitas, serta membukitkan  bahwa untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tidak harus dengan biaya yang selangit, konsep pendidikan seperti itu merupakan sebuah cita-cita ideal,  tinggal bagaimana berjibaku dengan waktu dan konsisten mengawal agenda mulia tersebut, berdirinya kampung bahasa di kampung sendiri akan segera terwujud.

Sebenarnya geliat pendidikan alternatif dengan fokus kebahasaan telah tumbuh subur di Sulawesi dan Sulawesi-selatan pada khususnya, hal itu ditandai dengan semakin menjamurnya kelompok-kelompok bahasa Inggris (english club) di kampus-kampus dan tempat-tempat strategis seperti benteng Rotterdam dan masjid Al-markas al-islami Makassar, di beberapa daerah juga banyak berdiri lembaga-lembaga kursus yang umumnya dimotori oleh alumni kampung bahasa Pare, nantinya entitas-entitas kelompok tersebut diharapkan dapat berkontribusi dan terlibat aktif dalam merealisasikan sebuah lokalisasi pendidikan bahasa Inggris sesuai dengan rencana FKBS yakni perkampungan bahasa.

Pemilihan lokasi yang kondusif  juga merupakan hal yang sangat penting, mengingat untuk menghadirkan sebuah lokalisasi pendidikan yang sehat, posisi  geografis wilayah dan kondisi sosiologis masyarakat juga harus diperhatikan. Saat ini ada beberapa opsi daerah yang diajukan, yakni kawasan yang terletak di Kabupaten Bone, Maros, Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba Sul-sel,  mengingat wilayah di empat kabupaten tersebut memiliki posisi yang cukup strategis, namun tentunya keputusan akhir (fnal result) terlebih dahulu akan melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang dan terukur dari hasil observasi wilayah nantinya.

Berdirinya Kampung Bahasa Sulawesi nantinya diharapkan mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi daerah lain untuk menciptakan kampung-kampung pendidikan, demi pemerataan kecerdasan, karena cerdas dan berpendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang secara jelas termaktub dalam Undang-undang dasar negara ini, maka ketika pemerintah tidak mampu memenuhi amanat konstitusional tersebut, maka rakyat harus mengambil peran-peran strategis untuk mewujudkannya, minimal harapan tu dapat terwujud dalam skala lokal dan kemudian secara bertahap akan terlaksana secara nasional. Semoga!



|
0

Membangun Kedewasaan Beragama

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:29 AM in
 
Tragedi kemanusiaan yang baru-baru ini menimpa warga Syiah di Sampang Madura, merupakan satu prototipe gambaran masyarakat yang terabaikan, negara yang memiliki kewajiban penuh melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman pelanggaran HAM, nampaknya tengah mengalami kemandulan. Aksi kekerasan dengan pengrusakan berdalih agama kian marak terjadi, setelah juga pernah menimpa jemaah Ahmadiyah. Marginalisasi kaum minoritas semakin memperburuk citra dunia Islam sebagai agama yang damai dan sejuk, agama yang diklaim memiliki jumlah pemeluk terbesar di Indonesia ini sedang mengalami distorsi, sebagian pemeluknya tengah gagap menghadapi realitas perbedaan pemahaman (Difference shock) yang murni lahir dari dinamika pengetahuan keislaman yang luas.

Sebagai negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, Indonesia akan senantiasa dibayang-bayangi momok konflik sosial-komunal yang sewaktu-waktu dapat terjadi, perhatian pemerintah terhadap kondisi sosiologis masyarakatnya yang bhineka merupakan kewajiban konstitusional sebagai pihak yang telah diamanahi kepercayaan mengelolah negara. Bukan justru bersikap apatis dan apriori terhadap kritisnya relasi antar kelompok di tingkat akar rumput (grass root). Kerusuhan Sampang merupakan bukti otentik betapa memperihatinkannya kehidupan beragama masyarakat Indonesia, mengingat Madura merupakan salah satu daerah dengan tingkat persebaran sekolah-sekolah Islam (pesantren) yang merata, maka seharusnya kehidupan ummat beragama yang rukun dan toleran menjadi pemandangan yang elegan di sana, bukan malah menjadi salah satu daerah rawan konflik, apalagi didalangi oleh motif agama atau keyakinan.

Sejatinya semua agama tidak merestui bahkan mengecam perilaku kekerasan atas nama Tuhan, apalagi dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah saudara seiman. Membangun pola hubungan inter-subjektif dengan berbagai kelompok sosial merupakan hal yang wajib, selain sebagai bentuk sikap positif dalam menerima realitas primordial yang plural, juga menjadi cerminan kedewasaan beragama dari manifestasi pngetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama yang inklusif. Sikap primitif seperti fanatisme sektarian merupakan indikasi dari proses ideologisasi yang tidak sehat, seharusnya sekat-sekat sosial seperti perbedaan keyakinan dan pemahaman mampu melebur menjadi semangat kebangsaan dan kemanusiaan yang universal.


Ulama, umara dan zu’ada (para ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat), sudah semestinya mengambil peran-peran strategis  dalam mengayomi masyarakat, ulama berkewajiban mentransformasikan ajaran Islam yang moderat dan inklusif, pemerintah wajib melakukan rekonsiliasi bukan hanya ketika telah terjadi konflik, tetapi pemerintah harus bisa mencegah berulangnnya konflik dengan pemetaan wilayah rawan konflik untuk antisipasi dini, dan tokoh masyarakat seyogyanya mengambil peran sebagai mediator dalam menyelesaikan berbagai permasalahan antar kelompok sosial di tengah-tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi netralitas, demi kemaslahatan bersama.

|
0

Simpul Disharmonisasi Ummat Beragama

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:23 PM in

sumber : padangekspres.co.id


Aksi  kekerasan berkedok agama kini kembali terulang, setelah beberapa tahun terakhir menimpa jemaah Ahmadiyah, kali ini kekerasan juga dialami warga Syiah di Sampang Madura, massa yang mengamuk membakar beberapa pemukiman warga Syiah, tidak hanya kerugian material, aksi anarkis warga juga menjatuhkan korban jiwa, yang memperihatinkan konflik tersebut melibatkan dua kubu yang notabene beragama Islam, agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Ummat Islam Syiah yang tengah mengalami jeritan psikologis akibat tragedi tersebut memilih untuk mengungsi ketempat-tempat yang dinilai aman dari teror kebrutalan massa. Aparat keamanan yang segera dikirim kelokasi bagaikan pahlawan kesiangan yang hanya mendapati puing-puing rumah warga hangus terbakar dan tak mampu lagi mencegah jatuhnya korban jiwa. Sehingga kekecewaan terhadap negara tinggallah reaksi pasif dari bebagai kalangan yang beramai-ramai mengecam aksi kekerasan tersebut. Minimnya toleransi dan buruknya kinerja aparat keamanan, dua hal yang mungkin menjadi kambing hitam penyebab terjadinya konflik tersebut, minimal untuk meyakinkan masyarakat bahwa faktor kulturallah yang menjadi reaktor utama meletusnya tragedi sosial tersebut.

Aksi kekerasan yang banyak menimpa kaum minoritas merupakan indikasi mandulnya peran negara dalam menjaga stabilitas keamanan masyarakat, disamping semakin menguatnya sentimen perbedaan pemahaman di tengah-tengah masyarakat, juga akibat kurangnya peran para tokoh agama dalam membangun kedewasaan beragama. Kriminalitas yang membawa-bawa nama agama merupakan satu ancaman disintegrasi masyarakat Indonesia yang plural, sehingga harus segera diselesaikan dengan menggunakan cara-cara yang konstruktif untuk meredam terjadinya konflik yang semakin besar. 

Tragedi Klasik 

Issue-issue sektarian yang belakangan kian marak, menjadi salah satu tembok sosial yang banyak memicu terjadinya konflik, dalam kurun waktu lima tahun terakhir setidaknya ada beberapa konflik berlatarbelakang perbedaan keyakinan yang melanda ummat Islam di Indonesia, salah satu yang terbesar adalah yang menimpa jemaah Ahmadiyah. Kurangnya  jaminan keamanan bagi warga minoritas merupakan satu sinyal gagalnya proses demokratisasi di negeri ini, kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang secara jelas diatur dalam kitab suci negara (UUD), hanyalah murni menjadi konsepsi luhur yang miskin praksis, sehingga kasus demi kasus kian memperparah rekor kekerasan bercorak primordial yang terjadi di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, maka wacana negara gagal memang layak dialamatkan kepada Indonesia yang tak lagi mampu menjaga kodrat kebhinekaannya. 

Ada kemungkinan konflik komunal yang terjadi di Sampang merupakan buntut dari luapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang seakan lupa dengan derita struktural yang dialami masyarakatnya yang sudah sedemikian paraunya meneriakkan ketidakadilan yang semakin berjalan sistemik, negara ini nampaknya hanya sibuk merancang agenda pembangunan sementara para wakil rakyat asyik menggelar agenda study banding ke luar negeri dengan menghabiskan anggaran negara yang merupakan uang rakyat, sangat paradoks dengan nasib yang menimpa masyarakat yang kian terancam hidupnya akibat maraknya aksi kanibalitas  (homo homini lupus) yang kian mencekam. Tak ingin dikatakan gagal mengelola negara, ketika konflik meletus maka buru-buru sang pemegang kebijakan dengan peran media menyoroti Sampang dengan keperihatinan yang mendalam, sungguh sangat dramatis. Tidak sampai disitu, saling tuding-menuding dan lempar tanggungjawab menjadi agenda senayan dan istana untuk menghindari kebenaran sebagai pihak yang paling andil atas terjadinya tragedi kemanusiaan tersebut.

Nampaknya negara ini memang didesain sebagai neraka bagi warga minoritas, agar menjadi inferior di atas superioritas warga mayoritas, sebuah ironi bagi bangsa yang telah mendeklarasikan diri majemuk dan plural, namun menjadi sangat kontradiktif dengan perlakuan yang tidak manusiawi dari mereka yang sewenang-wenang memonopoli otoritas sebagai pemegang kebenaran (truth claim), sehingga dengan kepercayaan diri yang berlebihan (over confident) menstigmatisasi mereka yang kecil secara kuantitas kafir dan layak mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Dan proses itu terus dibiarkan hingga mencapai klimaksnya dan kerusuhanpun tak dapat dihindari.

Konflik sosial-komunal dengan berbagai coraknya, bukanlah persoalan baru di negara ini, sejak orde baru menjadi tuan di negeri ini, berbagai kerusuhan dengan issue primordial, seperti kerusuhan antar suku, etnis dan agama sudah sering terjadi dengan korban nyawa yang tidak sedikit, di Indonesia ada beberapa titik rawan konflik yang butuh perhatian lebih dari negara, mengingat kerusuhan tersebut juga sering timbul akibat tendensi ekonomi-politik dengan segregasi kepentingan yang saling tumpang-tindih, sehingga menjadikan masyarakat sebagai tumbal dengan intrik agama, perbedaan keyakianan dan pemahaman.

Eskalasi konflik yang sewaktu-waktu dapat menyeruak akibat adanya polarisasi kelompok dengan egonya masing-masing, juga mungkin akan terjadi di daerah lain, oleh sebab itu pemerintah wajib memberlakukan sistem peringatan bahaya dini (early warning system) untuk mencegah berulangnya konflik sosial-komunal seperti yang terjadi di Sampang. Kita tentunya tak ingin kerusuhan yang juga pernah terjadi di Sampit, Ambon dan Poso dan daerah lainnya terulang kembali, negara ini sudah sedemikian kronisnya dengan ketidakpastian sosial yang menimpa masyarakat di berbagai lini. Maka sudah menjadi kewajiban negara melakukan proteksi kepada setiap warganya tanpa dikotomi sosial.

Kedewasaan beragama dengan menerima perbedaan pemahaman secara bijaksana dapat menghindarkan terjadinya radikalisme fundamental yang cenderung reaktif-emosional, karena secara rasional agama Islam adalah agama yang sejuk dan inklusif, jauh dari nilai-nilai kekerasan dan ekslusifitas, ketika itu dapat diinternalisasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka yakin dan percaya tragedi konflik antar ummat Islam dan ummat beragama lain tidak akan terjadi, sebagaimana kata mantan Presiden Almarhum Abdurrahman Wahid (Gusdur), “Kedamaian hanya akan hadir di tengah orang-orang yang meyakini adanya Tuhan”, maka sebagai masyarakat yang beragama menjaga perdamaian merupakan sebuah manifestasi mutlak dari pengakuan keber-Tuhanan, karena Islam adalah agama yang membawa kerahmatan secara universal (rahmatan lil alamin). Maka sensitifitas pemahaman  yang cenderung fanatik-dekstruktif seharusnya tidak menjadi dalil untuk menjustifikasi terjadinya marginalisasi kaum minoritas, karena mozaik keberagamaan merupakan sebuah sunnatullah yang harus kita terima dan patut kita syukuri.

|
2

Polemik Dunia Pendidikan Perguruan Tinggi

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:59 AM in

Menjadi seorang Mahasiswa sudah menjadi impian banyak pelajar yang baru saja menyelesaikan proses belajar pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang setingkat, sebelum memasuki area bursa kerja yang tentunya tidak mudah. Dengan segudamg harapan dan cita-cita menggapai masa depan cemerlang, ribuan Mahasiswa Baru (Maba) memadati kampus-kampus untuk secara sukarela menyetor biaya pendidikan sebagai syarat utama mengikuti perkuliahan, berbagai agenda penyambutanpun nampak semarak dengan deretan spanduk dan baliho-baliho yang terpampang membanjiri tempat-tempat strategis, sebagai simbol adu gengsi antar lembaga-lembaga kemahasiswaan yang tak mau kalah saing satu dengan yang lain, layaknya lapak-lapak politik yang juga sedang merajai jalan-jalan kota di musim pemilukada saat ini.

Sebagai Mahasiswa Baru yang belum cukup memiliki modal kritis, tentunya disambut dengan ramah disertai berbagai kegiatan-kegiatan orientasi serta selebrasi yang menghibur adalah hal yang sangat menarik dan menyenangkan layaknya menghadiri sebuah karnaval pendidikan. Seperti yang baru-baru ini dilakukan Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta yang berhasil memecahkan rekor Muri peserta terbanyak “flashmob dance” yang membentuk peta Indonesia. Sebuah acara penyambutan Mahasiswa baru yang luar biasa, dan akan lebih membanggakan lagi ketika para Intelektual muda tersebut nantinya mampu mensinergikan potensi intelektualitasnya dengan sikap dan tindak kepedulian terhadap masyarakat.

Dunia Fantasi Pendidikan

Orientasi Mahasiswa Pengenalan Kampus (Ospek), sebuah agenda yang menjadi rutinitas tahunan di berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta, kegiatan yang oleh banyak pihak dianggap tidak lebih sebagai ajang perpeloncoan dan unjuk senioritas, karena indikasi adanya aksi pemerasan dan kekerasan yang marak terjadi menjadikan kegiatan ini sempat diblack list oleh banyak pemerhati pendidikan, hal ini tentunya menjadi sebuah ironi akut yang turut serta memperburuk kualitas dan citra pendidikan di Indonesia, apalagi dilakukan oleh para juru kunci kepemimpinan bangsa. Selain tentunya berbagai problematika internal kampus yang sedang dilanda trend pembangunan berdalih peningkatan sarana dan prasarana belajar untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Sihir ideologi developmentalisme telah membuat banyak perguruan tinggi berlomba-lomba membangun gedung-gedung mewah dan megah layaknya hotel-hotel berbintang, hal itu sebenarnya sama sekali baik jika memang benar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun menjadi sangat ironis ketika hanya sebagai ajang fantasy pendidikan. Alih-alih menjadi tempat penyemaian insan yang berintelek, fantasi dunia perguruan tinggi justru akan melahirkan manusia-manusia yang tidak melek dengan berbagai realitas sosial yang terjadi.

Tampaknya dunia pendidikan kita sedang bersaing prestasi dengan para pemodal untuk membangun kawasan Duffan (dunia fantasi) yang juga tengah marak sebagai taman hiburan kaum urban yang rentan dilanda kegalauan akibat menyempitnya ruang-ruang publik. Sayangnya fantasi dunia kampus justru akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang mudah galau, karena dunia kampus yang tidak lagi memiliki iklim pengetahuan dan suasana keilmuan, malah menjadi tempat yang mirip kawasan wisata yang berlabel pendidikan. Sehingga para mahasiswnya tidak nampak seperti kaum terpelajar akibat kurangnya suplai pengetahuan dari almamater mereka, sehingga ketika sebuah polemik melanda, mereka akan mudah mengalami kebuntuan. Menyedihkannya lagi peningkatan kualitas sarana dan prasarana di berbagai perguruan tinggi berbanding lurus dengan kuantitas harga pendidikan yang juga kian melambung, maka dapat dipastikan menjadi mahasiswa tinggallah harapan kosong bagi mereka yang hidup dalam belengguh kemiskinan. Ditambah momok privatisasi yang sedang menghantui berbagai perguruan tinggi negeri, semakin menyeret dunia pendidikan kita ke jurang dekadensi.

Mahasiswa Buruh?

Pendidikan sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas diri manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki akal dan nurani yang suci serta jauh dari sifat kebinatangan, maka menjadi seorang yang terdidik (educated people) memiliki konsekuensi mutlak untuk memperbaiki realitas sosial yang tidak sesuai dengan cita-cita ideal, bukan malah lari dan menjauh dari organ sosialnya, atau justru menjadikan kehidupan sosial sebagai ladang eksploitasi untuk memenuhi syahwat materialnya. Untuk konteks perguruan tinggi mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang mampu berfikir rasional-kritis, peka terhadap terhadap berbagai problematika sosial yang terjadi, serta dapat mengawal terjadinya transformasi sosial yang sehat di tengah-tengah masyarakat, namun bagaimana kemudian ketika justru otoritas kampus mendikte kebebasan intelektual dan mengungkung ruang gerak mahasiswanya, maka yang terjadi adalah mahasiswa menjadi manusia boneka yang miskin wacana pengetahuan dan mental gerakan. Oleh karena itulah lahirlah banyak Mahasiswa buruh yang hanya menjadi objek eksploitasi mesin-mesin industri serta perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri yang banyak terlibat agenda korporatokrasi.

Titel kesarjanaan yang kini menjadi perburuan utama sebagian mahasiswa telah menjadi candu yang banyak menidurkan kritisisme kaum intelektual muda kampus, karena perguruan tinggi dewasa ini layaknya mesin raksasa pendidikan untuk mencetak para pekerja yang didesain siap pakai meski dengan bekal keterampilan seadanya dan pengetahuan apa adanya, sehingga dunia pendidikan yang semestinya menjadi sarana menciptakan taraf hidup yang qualified malah menjadi agen penyuplai terbesar para sarjana buruh yang memang terlebih dahulu telah dicekcoki mental inlander dengan kesadaran magis-pragmatis, sehingga wajar ketika banyak calon sarjana yang berburu lokasi kerja dengan motif magang. Selain berdalih latihan kerja magang juga dijadikan alasan untuk menghindari momok pengangguran, yang ternyata juga banyak menimpa kaum sarjana. Realitasnya magang menjadi sarana eksploitasi para mahasiswa untuk meringankan beban kerja pegawai dan karyawan yang tentunya sangat diuntungkan. Meski dengan apresiasi yang kadang hanya berupa sertifikat magang dan tanpa upah, para mahasiswa yang memang tidak memiliki bargaining skill secara legowo menerima itu sebagai bentuk pengabdian. Maka bagaimana mungkin mahasiswa semacam itu menjadi agent of social cange, sedangkan untuk urusan kehidupan personal saja mereka sudah terseok-seok dan takluk oleh tirani pasar kerja.

Sudah semestinya pihak kampus senantiasa memberikan ruang bagi terciptanya keberhidupan intelektualitas serta gerakan mahasiswa yang aktif dan dinamis, bukan malah memenjarakan para mahasiswanya dalam opium pengetahuan yang miskin analisis dan praksis. Serta hanya menjadikan mahasiswa sebagai alat meningkatkan grade popularitas kampus akibat candu eksistensialisme buta. Maka penyambutan mahasiswa baru yang kini sedang semarak tak ubahnya seperti seremonial selamat datang kepada para pengunjung dunia fantasi pendidikan sebagai calon buruh Indonesia.



|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.