0
Gus Dur : Teks yang Tak Usai
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
6:20 AM
in
Opini
Tanggal 30 Desember
2014, tepat lima tahun wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus
Dur, beliau dikenal sebagai seorang kiyai, intelektual, budayawan, politikus
sekaligus sufi, sesuatu yang begitu kompleks hadir dalam diri seorang manusia
yang lahir dan tumbuh dalam kultur keagamaan pesantren, kemudian besar dalam
tradisi dua kutub pemikiran yang sering berbenturan, yaitu timur tengah
(tradisional) dan eropa (liberal). Perjalanan panjang Gus Dur dalam mengarungi
samudera intelektualitas dengan keragaman realitas yang dijumpainya kiranya
turut membentuk pemikiran dan cara pandangnya terhadap banyak hal yang kemudian
ia perjuangkan.
Jejak dan Legasi
Gus Dur hadir sebagai
tokoh yang terlalu maju bagi era diamana ia banyak menyampaikan gagasannya tentang
Agama, kemanusiaan, kebudayaan dan kebangsaan. Di awal tahun 80-an ketika belum
banyak yang berbicara soal relasi agama, negara dan budaya beliau menyampaikan ide-idenya tentang tema-tema itu
di banyak forum dan media (baik secara lisan maupun tulisan), bahkan beliau menjadi
salah satu tokoh yang memprakarsai penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap
Pancasila sebagai sebuah dasar negara dan NKRI sebagai bentuk negara yang final
bagi masyarakat muslim Indonesia, upaya itu untuk memperkuat gagasan
nasionalisme yang sama sekali tak bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau juga
melahirkan gagasan tentang Pribumisasi Islam yang belakangan menelurkan gagasan
tentang konsep Islam Indonesia, sebagai sebuah konsepsi yang berusaha
mendialogkan Islam dan kebudayaan Indonesia dengan akar historis yang tak boleh
sama sekali dilupakan.
Di awal tahun 90-an
ketika belum banyak aktivis yang fokus berbicara soal demokrasi dan civil society, beliau bersama beberapa
tokoh kemudian membentuk Forum Demokrasi (FORDEM) untuk mengkampanyekan
issu-issu demokrasi dalam rangka melawan otoritarianisme orde baru yang kian
represif. Beliau aktif membasis dikalangan organisasi kepemudaan (OKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
hingga organisasi masyarakat (Ormas) untuk mengkonsolidasikan gerakan dalam
merespon issu-issu strategis menyangkut agama, bangsa dan negara.
Aktif sebagai Ketua
PBNU selama tiga periode (1984-1999) tak membuat ruang gerak perjuangan Gus Dur
menjadi terbatas hanya untuk kalangan nahdliyyin, justru ia semakin menegaskan
bahwa perjuangannya bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, itu
dibuktikan dengan pembelaan beliau terhadap mereka yang diperlakukan tidak
adil, dari berbagai latar belakang agama dan kelompok.
Perhatian beliau yang
begitu besar terhadap supremasi hukum dan HAM membuatnya harus dibenci oleh banyak
pihak yang merasa kepentingannya diusik, secara aktif beliau berkomunikasi dengan para tahanan politik orde
baru yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa, seringkali beliau harus
bersitegang dengan penguasa dan acapkali mendapat teror dan ancaman, namun
langkah beliau tak pernah sedikitpun mundur. Dalam bidang politik Gus Dur pada
tahun 1998 mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aktualisasi
gagasannya politik kebangsaannya, sekaligus mengantarkan beliau menjadi
Presiden ke-4 RI.
Gagasan yang paling
akrab dengan Gus Dur adalah pluralisme, Seiring terjadinya konflik bermotif perbedaan golongan (agama dan suku)
di beberapa tempat, Gus Dur intens membangun kerjasama lintas iman dan kelompok
untuk membangun rekonsiliasi dan menyebarkan doktrin keagamaan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dimasa ia menjabat sebagai Presiden RI
ke-4, Konghucu menjadi agama resmi yang diakui oleh negara. Hal itu menjadi
bukti otentik bahwa kesetaraan rakyat dihadapan negara menjadi prinsip dasar
yang diperjuangkan oleh Gus Dur untuk menciptakan negara yang rukun dan damai
(darus salam). Setelah wafat gagasan-gagasan Gus Dur lalu dilanjutkan oleh murid-murid
beliau yang senantiasa merawat spirit dan pemikiran dan mengikuti jejak
perjuangannya.
Gusdurian
Gusdurian adalah siapa
saja yang punya minat dan tertarik pada segala hal yang menyangkut Gus Dur.
Gusdurian berasal dari berbagai latar belakang sosial, kelompok lintas agama,
organisasi masyarakat dan organisasi pemuda yang ingin terlibat dalam menjaga legacy Gus Dur yang tak berupa harta
materi, melainkan semangat dan gagasan yang harus terus dihidupkan dan
diperjuangkan, sedang Jaringan Gusdurian adalah sebuah komunitas kultur yang
fokus bagaimana merawat dan mengembangkan spirit dan pemikiran Gus Dur, komunitas
ini tak memiliki struktur layaknya organisasi modern pada umumnya, komunitas
ini menggunakan mekanisme kerja yang mengandalakan volunterism (kesukarelawanan) karena kesadaran bahwa banyaknya
kalangan yang ingin secara intens dan aktif meneruskan perjuangan Gus Dur tanpa
dibatasi oleh sekat identitas golongan.
Mengingat begitu
kompleksnya pemikiran Gus Dur yang tak mungkin dapat diurai secara gamblang,
sehingga dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk merumuskan kerangka besar
gagasan Gus Dur yang kemudian disepakati sebagai nilai-nilai yang diperjuangkan
Gus Dur yang menyangkut sembilan prinsip utama, yakni : Ketauhidan,
Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kekesatriaan
dan Kearifan Lokal.
Sembilan nilai Gus Dur
tersebut yang melandasi setiap gerak perjuangan jaringan Gusdurian, dan
kesemuanya tak boleh dilandasi oleh pamrih keduniaan. Tak banyak orang yang
tahu bahwa hingga akhir hayatnya Gus Dur tak sedikitpun memiliki warisan kepada
istri dan anak-anak serta murid-muridnya kecuali agenda perjuangan yang
kemudian dibagi sesuai dengan segmentasi masing-masing, itulah yang diungkap
oleh Alissa Wahid (putri sulung Gus Dur) yang juga sebagai nahkoda jaringan Gusdurian
nasional.
Mungkin banyak orang
yang masih beranggapan bahwa Gus Dur adalah sosok yang “nyeleneh” dan penuh
kontroversi, tapi bagi mereka yang secara jernih membaca seorang Gus Dur, akan
mendapati sebuah kompleksitas yang tak serta merta bisa difahami dengan
menggunakan paradigma hitam-putih, karena Gus Dur ibarat sebuah teks yang
begitu rumit, meminjam ungkapan budayawan Muhammad Sobary “Gus Dur adalah kitab
kuning yang terbuka, seterbuka apapun kitab tersebut, tetap saja tak mudah
dibaca apalagi difahami, selain karena kata-kata didalamnya tak disertai tanda
baca, muatan informasi yang disuguhkanpun sangat mungkin memunculkan aneka
interpretasi”. Gus Dur memang tak pernah meminta untuk dimengerti dan difahami,
itulah karakter beliau sebagai Guru Bangsa, yang mendidik dan mengajarkan
bangsanya untuk banyak belajar.
Gus Dur memang tak lagi
ada di tengah-tengah kondisi bangsa yang kian repot, tapi yang pasti beliau
senantiasa hidup sebagai sebuah spirit dan menjelma dalam banyak gagasan yang
diwariskannya. Karena pada hakikatnya, beliau tidak sama sekali pergi apalagi
mati, beliau hanya berpulang, kembali kepada Sang Maha Pencipta.
Post a Comment