1

Menyoal Makassar Sebagai Kota Dunia

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:09 AM in

Kota adalah kawasan urban yang kosmopolit, dimana berbagai corak aktifitas masyarakat dan interaksi antar individu dengan berbakai latar belakang agama, sosial dan budaya berlangsung. Setidaknya itu yang menjadi ciri umum kota-kota besar di Indonesia bahkan dunia. Kota merupakan ruang dengan segudang kompleksitas yang membentuk corak suatu masyarakat, dengan tingkat dinamisitas yang tinggi, kota juga telah membentuk sebuah komunitas masyarakat yang dinamis, dimana perubahan dan kemajuan menjadi sabda yang harus terus menerus diusahakan. 

Kota bukan hanya tentang segala hal yang berdimensi demografis, tetapi juga yang menyangkut dimensi antropologis, yaitu manusia baik secara individu maupun sosial (masyarakat) dan ini yang lebih utama dan paling penting, karena kota adalah sebuah ruang dimana sebuah komunitas manusia hidup dari waktu ke waktu, sehingga tata ruang kota sedikit banyak mempengaruhi sikap dan perilaku sosial suatu masyarakat,  dimana pada sisi lain agama, sejarah dan kebudayaan secara signifikan mempengaruhi karakter dan kepribadian suatu masyarakat. Dari tesis tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan sebuah kota harus senantiasa memperhatikan entitas agama, proses sejarah dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat, bahkan harus diupayakan bahwa hal-hal tersebut menjadi sumber spirit  yang melandasi konsep pembangunan sebuah kota.

Makassar adalah kota pelabuhan terbesar di kawasan timur Indonesia, sejak ratusan lalu telah mengambil peran penting dalam proses transformasi sejarah, kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik, jejak-jejak kejayaan itu terekam dengan jelas dalam sejarah kerajaan Gowa-Tallo. Satu dekade terakhir Makassar terus berbenah mengejar obsesi menjadi kota dunia, kota yang diangan-angankan dapat selevel dengan kota-kota metropolitan di Negara-negara maju, cita-cita tersebut setidaknya belakangan semakin menemukan momentumnya. Walikotanya kini yang seorang Arsitektur ternama, pelan-pelan mulai membenahi segala hal yang selama ini menjadi sumber problematika kehidupan di masyarakat, pembenahan lorong yang dulu menjadi jargon politiknya dengan hastage “Anak Lorongna’ Makassar” mulai dikerjakan secara bertahap, Gerakan Makassar ta’ Tidak Rantasa’ (GMTR) dan jargon motivasi Lihat Sampah Ambil (LISA) dan Clean and Green City. Pak Wali sedang mengupayakan sebuah “kota dunia’ yang berawal dari terciptanya kebersihan kota. Walaupun upaya tersebut tentunya akan terkendala faktor sosiologis masyarakat yang belum betul-betul memahami pentingnya lingkungan yang bersih, baik dalam kehidupan individu maupun dalam lingkungan masyarakat, namun perjuangan tak mengenal pesimisme bukan?

Kota dunia mejadi sebuah konsepsi yang ramai didiskusikan hingga diperdebatkan oleh para pemerhati lingkungan, budayawan, sejarawan, dan sosiolog akhir-akhir ini, selain karena konsepsinya yang masih kabur, juga karena konsep yang ditawarkan masih bergelut pada wacana kota modern ala Negara-negara maju (khususnya barat) dengan kemegahan fisik-infrastrukturnya, sehingga seringkali konsepsi kota dunia menjadi artifisial, mengingat yang tentunya mengambil peran signifikan adalah para pemilik modal yang terbukti bisa menyulap kebijakan pemerintah menjadi pro terhadap mereka, bukti adanya reklamasi pantai, pembangunan ruang-ruang  komersil, hingga menjamurnya bangunan-bangunan yang memiliki izin, namun tak sesuai dengan grand design rancangan pembangunan kota berkelanjutan, apalagi bertentangan dengan peraturan daerah.

Selama ini pembangunan kota hanya mengedepankan aspek fisik-inftrastruktur dan tidak jarang mengabaikan kondisi dan latar belakang sosial, kebudayaan dan sejarah masyarakat. Ini terjadi karena paradigma pembangunan masih menggunakan ideologi developmentalisme yang seringkali tak memperhatikan aspek manusia dan ekosistem lingkungan, sehingga corak pembangunan yang imparsial seperti ini rentan melahirkan ketimpangan, utamanya menyangkut distingsi yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin, sehingga konflik sosial dapat sewaktu-waktu terjadi, karena sebab utama terjadinya konflik adalah munculnya rasa ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Sedang pada tata kota, kota yang orientasi pembangunannya semata-mata menyangkut infrastruktur dengan paradigma modern-positivistik, cenderung tak lagi mempertimbangkan akar sejarah dan kebudayaan masyarakat yang dapat diidentifikasi melalui tradisi dan peninggalan-peninggalan bersejarah dalam bentuk fisik yang masih ada, sebagai satu referensi dalam merancang konsep dan tata letak berbagai infrastruktur yang akan berpengaruh signifikan pada pembentukan karakter sosial masyarakatnya.

Pada kondisi ini kota tak lagi diperuntukkan untuk manusia, kota menjadi ruang yang mengeliminir masyarakat kecil dan memarginalkan nilai-nilai humanitas, kota dengan paradigma modern-positivistik seperti ini tak lagi melihat kehidupan sebagai satu kesatuan utuh yang tak boleh diperlakukan secara tak adil atas dasar distingsi sosial-ekonomi. 

Ketika sebuah kota tak lagi memanusiakan, maka wajar saja ketika kekerasan, konflik, tindak asusila dan amoral menjadi kabar yang sehari-hari menghiasi media massa dan layar kaca. Apalagi ketika orientasi pembangunan hanya pada pembangunan fisik-materil, tanpa lagi menaruh perhatian lebih pada pembangunan manusianya, padahal ruang habitat seorang manusia sangat menentukan proses pembentukan karakter dan kepribadian dirinya secara gradual. Gedung-gedung tinggi, tembok-tembok baja, dan roda-roda hidup sejahtera, sedangkan manusia kehilangan sense of humanity-nya, tentunya buka itu kota dunia yang kita cita-citakan.

Dalam konteks Makassar, untuk menjadi kota dunia tak mesti dengan menanggalkan identitas kedirian Bugis-Makassarnya menjadi other atau terjebak dalam universalisme yang menafikan identitas lokal, tetapi justru harus semakin menegaskan eksistensinya sebagai kota yang dihidupkan oleh nilai, tradisi dan budaya Bugis-Makassar dengan internalisasi Siri’ na Pacce, Sipakatau, Sipakainga’, Sipakalebbi’, dalam proses pembangunan infrastruktur dan suprastrukturnya, itulah konsepsi kota dunia yang sebenarnya, kota yang dibangun untuk semua manusia bukan untuk manusia-manusia tertentu, apalagi hanya untuk bangunan dan ruang-ruang komersil yang kini telah penuh sesak.

Pemerintah kota Makassar bisa mencontoh kota Jogjakarta dan Denpasar, kedua kota tersebut dikenal dunia karena kegigihannya mempertahankan identitas lokal dan kearifan budayanya, masyarakatnya menjadi masyarakat yang hidup dimana kebudayaan bisa bersanding dengan modernitas, bahkan seringkali keduanya terlibat dialog yang akulturatif, bahkan di beberapa Negara-negara Eropa, nilai sejarah dan budaya memiliki tempat yang istimewa. Cita-cita menuju kota dunia bukanlah sesuatu yang haram, namun jangan sampai hasrat tersebut justru berlangsung dalam koridor-koridor yang ahistoris. Sebagai legitimasi filosofis, Pemerintah kota Makassar dapat mengambil adagium “memelihara tradisi dan nilai-nilai lama yang masih baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”, itulah kota dunia yang modern, yang dibangun di atas nilai-nilai dari akar tradisi dan kebudayaan lama namun tidak ketinggalan zaman.

|

1 Comments


Sangat menarik tulisannya tentang sebuah kota dalam perspektif lebih luas.

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.