0
Sarjana dan AFTA
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
1:25 PM
in
Opini
Beberapa minggu
terakhir beberapa kampus besar swasta dan negeri di Makassar menggelar acara
wisuda sarjana, ribuan mahasiswa memperoleh gelar kesarjanaan sesuai dengan
jurusan/program study masing-masing. Menjadi sarjana merupakan sebuah kebanggan
tersendiri bagi mereka yang telah menyelesaikan proses belajarnya di perguruan
tinggi, kebanggaan dan kebahagiaan terutama menghampiri para orang tua yang
dengan segala daya dan upaya berjuang untuk menyekolahkan anaknya hingga dapat
meraih gelar yang dicita-citakan. Khususnya mereka yang hidup dengan kondisi
ekonomi lemah, dapat membiayai pendidikan putra/putrinya hingga dapat
menggunakan toga sarjana menjadi keberhasilan tersendiri yang tak bisa dihargai
dengan angka-angka dan nominal materi, apa yang menjadi harapan mereka adalah agar
putra/putrinya dapat menjadi generasi yang berguna bagi agama, bangsa dan
negara dengan senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya.
Paradigma
Kuliah
Pendidikan adalah
panglima bagi pembangunan sumberdaya generasi muda bangsa, sekaligus menjadi
sokoguru bagi kemajuan negara dan bangsa dalam berbagai bidang. Pendidikan tidak
hanya soal pencapaian angka-angka kuantitatif tetapi lebih jauh dari itu
bagaimana menciptakan generasi terbaik. Teringat salah satu pesan Pak Kalend
Osen (salah seorang pendiri Kampung Bahasa Pare-Kediri) ketika penulis berkesempatan
belajar di kota kecil itu, beliau berkata bahwa “pendidikan bukan hanya soal
transfer pengetahuan, tetapi juga soal pembentukan karakter“.
Seorang mahasiswa bukanlah
mereka yang hanya menghabiskan waktu di dunia sempit bernama “bangku perkuliahan”
dan terjebak dalam nalar ruang yang kerapkali membatasi cara pandang
(paradigma), berjibaku dengan waktu untuk mengejar angka-angka indeks prestasi
kumulatif (IPK) sesempurna mungkin, giat mengikuti perkuliahan, mengerjakan
tugas, menghadiri seminar-seminar dan mengerjakan soal-soal ujian secara cermat
kemudian tiba di garis finish dengan prestasi cumlaude, namun mahasiswa adalah mereka yang juga memiliki keyakinan
yang kuat, moralitas yang baik, peka terhadap realitas dan memahami apa yang
terjadi di sekitarnya, bahkan sebisa mungkin terlibat dalam membela kepentingan
masyarakat dan memperjuangkan hak-hak kaum marginal dan tertindas (mustadh’afin),
inilah yang kemudian dalam istilah Ali Syariati disebut rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) atau dalam terminologi
Antonio Gramsci sebagai intelektual organik dan dalam bahasa Al-quran
diistilahkan sebagai insan Ulul Albab,
itulah tingkatan kualitas tertinggi bagi seorang manusia terdidik.
Ada sebuah adagium yang
diberpegangi di dunia pesantren bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu adalah untuk
amal, yang berarti bahwa pengetahuan harus senantiasa mampu berdialog dengan
realitas, bahkan terdapat kondisi dimana pengetahuan harus mampu menjadi spirit
dalam merubah realitas yang timpang dan tidak adil. Semua itu harus dimulai dan
terus dipupuk serta dilatih sejak dari mahasiswa, karena keyakinan bahwa
mahasiswa sejati bukanlah kaum reaksioner yang mengedepankan emosi dan kekuatan
fisik dalam menyikapi persoalan, melainkan kaum terpelajar yang senantiasa
bertindak atas nama kebenaran dengan rasionalitas dan nilai etis yang
dijunjung, karena kaum reaksioner tak ubahnya seperti macan kertas, dalam masyarakat
Makassar sikap seperti itu sering diistilahkan pa'bambangngang na tolo.
Dunia pendidikan kita tidak
seharusnya mengajarkan peserta didik untuk bersekolah dengan tujuan bekerja,
karena kerja bukanlah tujuan sekolah, bekerja adalah salah satu bagian kehidupan yang
harus dijalani setiap manusia yang ingin tetap hidup, termasuk mereka yang tak
pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun. Sekolah harus mengajarkan peserta
didiknya untuk menjadi insan yang berkarakter, dengan karakter lokal, berkepribadian
religius, berwawasan global serta berkemampuan profesional. Seorang sarjana yang merupakan manusia
terpelajar harus memiliki tekad yang kuat untuk membangun masyarakat dan
bangsanya, bagaimana caranya? Itu bergantung pada kualitas dan kapasitas ikhtiar
masing-masing.
AFTA
dan Latahnya Kita
Di akhir tahun 2015
Asean Free Trade Area (AFTA) atau yang juga dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan bergulir, keterbukaan interaksi ekonomi
kawasan akan menyebabkan tsunami tenaga kerja dari berbagai negara di Asia
tenggara, Indonesia sebagai salah satu market
destination (tujuan pasar) terbesar di dunia tentunya akan menjadi negara
yang paling merasakan dampak dari dibentuknya regionalisme ekonomi Asean, sejak
dini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi tantangan
tersebut, namun segala upaya tersebut rasa-rasanya akan berjalan timpang jika
tidak dimulai dari sektor pendidikan yang memegang peranan paling vital.
Sistem pendidikan formal
kita yang umumnya menitikberatkan pada kemampuan kognitif akan mengalami
kemandulan menghadapi masyarakat ekonomi Asean, apalagi di era kemajuan teknologi
dan open society (masyarakat terbuka)
yang meniscayakan terbentuknya paradigma kerja yang mengedepankan kompentensi
berbasis penguasaan teknologi informasi dan bahasa asing, justru yang paling merespon
tuntutan tersebut adalah dunia pendidikan non-formal dalam bentuk
lembaga-lembaga kursus. Sehingga wajar saja ketika lembaga-lembaga kursus information technology (IT) dan
bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) semakin menjamur bak cendawan di musim
penghujan, karena konsumen penyedia jasa layanan keterampilan tersebut kian
membludak karena latah menghadapi persaingan bursa kerja yang akan semakin sulit
dan ketat setelah AFTA resmi dimulai.
Tak sedikit sekolah dan
kampus yang juga ikut latah mempersiapkan diri untuk menyambut terwujudnya masyarakat
ekonomi Asean dengan mengadakan kerjasama-kerjasama untuk meningkatkan
kemamapuan peserta didiknya dalam dua kemampuan dasar tersebut. Aneh ketika
dunia pendidikan dibuat panik oleh akan digelarnya AFTA, itu menjadi salah satu
isyarat bahwa kita memang masih saja memegang prinsip tiba masa tiba akal, kita
(khususnya pemerintah) belum cukup pandai membaca gerak dan alur zaman,
sehingga tak bisa mencanangkan program jangka panjang bagi negeri ini, dalam
dunia pendidikan misalnya, setiap kali berganti periode kepemimpinan, maka
berganti pula kurikulum pendidikannya. Belajar kepada negara tetangga kita
Malaisya yang nampaknya jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri menghadapi era
keterbukaan dan regionalisme dalam berbagai sektor.
AFTA adalah tantangan
terdekat bangsa ini dalam kurun beberapa bulan kedepan, semoga kita tak lagi di
buat kalah di negeri sendiri. Produk-produk asing, dari kebudayaan hingga barang
dan jasa telah memenuhi segala lini kehidupan sosial-ekonomi di negri ini, semoga
kondisi itu tidak bertambah parah setelah dibukanya gerbang AFTA yang dampak
negatifnya tentu secara signifikan akan dirasakan oleh mereka yang lemah secara
pengetahuan, skill, mental dan finansial.
Akhirnya selamat datang
kepada para sarjana di dunia kerja, sambil menanti genderang AFTA ditabu
direpublik tercinta.