0

Di Balik Cerita-Cerita Roman

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:22 AM in ,
Beberapa tahun terakhir perkembangan dunia hiburan layar kaca begitu memberikan ruang yang lapang bagi mereka yang ingin exist menjadi wayang-wayang dalam berbagai segmentasi sandiwara, pasar produksi film meningkat, ketika dunia layar kaca Amerika serikat menjadi sangat populer dengan raksasa Holliwoodnya, India dengan Bolliwoodnya, Jepang dengan cartoon-animasinya, Korea dengan genre romannya, maka Indonesia polpuler dengan Sinetronnya, berbagai macam tema-tema percintaan akan senantiasa menghiasi layar kaca Indonesia sejak pagi ketika embun masih menyinggahi pucuk-pucuk daun lentik, hingga ketika lonceng tengah malam telah dibunyikan di pos-pos penjagaan mencegah kerawanan barang hilang terutama dimusim paceklik.

Aku masih duduk disekolah dasar ketika suguhan kisah percintaan anak usia sekolah ditayangkan diruang     'rapat' keluarga tempat merajut kehangatan setelah sehari suntuk bersua dengan aktifitas sekolah dan menjadi pengembala kecil di sawah bersama teman-teman, hingga menghabiskan sore bermain petak-umpet dipadang ilalang yang akan segera terhenti seketika azan magrib berkumandang, waktu itu reformasi belum lama bergulir, perubahan begitu sangat terasa dalam kehidupan kami sebagai bocah-bocah yang masih memandang segala sesuatu dengan sangat polos, tayangan-tanyangan baru di televisi seolah mengekspresikan tibanya era kebebasan dan keterbukaan, yah, era dimana segala bentuk kreatifitas dan ekspresi seni mendapat tempat agung. Maka mulailah segala sesuatu berubah, perubahan waktu itu ibarat air bah yang bisa membuat siapa saja terseret oleh arusnya.

Cinta SMU, Anak Baru Gede (ABG), sinetron remaja yang sedikit banyak telah mempengaruhi cara pandang dan pergaulan ana seusiaku ketika mulai menginjak sekolah menengah pertama yang kata orang adalah masa pubertas yang akan membawa perubahan-perubahan mendasar dalam persepsi kepada lawan jenis, hingga berefek pada perubahan tingkah laku dan gaya berpakaian, lalu mulai belajar menyukai citra  lawan jenis, hingga mulai berani mengapresiasi keindahannya dengan berbagai ekspresi ala ukuran usia, selangkah lebih maju mulai terpesona hingga mengklaim bahwa itu adalah 'suka' dan 'cinta' (cinta monyet katanya) yah, mungkin itu sesuatu yang alamiah bagi mereka yang menganggap bahwa perubahan-perubahan itu murni berasal dari dorongan dalam diri seiring bertambahnya usia, perubahan itu merupakan kodrat yang sudah menjadi hukum kehidupan, tetapi apakah produk perubahan juga masuk dalam kedah ketetapan Tuhan (takdir)? atau produk perubahan itu bisa didesain untuk kepentingan-kepentigan tertentu, dulu ketika aku masih sangat polos dengan cara pandang hitam-putih pasti akan memilih yang pertama, namun sekarang setelah terjebak dalam perangkap kritisisme yang meniscayakan keberanian untuk menafsirkan realitas, paradigma kemudian menjadi pisau analisa yang tajam untuk membedah berbagai fenomena kehidupan, ditambah secuil pengetahuan semiotika.

Mesin propaganda raksasa bernama Televisi telah menjadi pedoman menata berbagai berbagai lini kehidupan di ruang-ruang publik hingga area privat di dapur bahkan secret room tempat peraduan keintiman hasrat dan birahi digelar. Lalu apa hubungannya dengan sinetron? betul bahwa reformasi menghendaki terciptanya kehidupan masyarakat yang dinamis-transformatif dengan dukungan berbagai sumber-sumber informasi dan akses komunikasi yang semakin menafikan hijab ruang dan waktu. Sinetron dengan domain cerita-cerita roman remaja-anak sekolah menjadi sangat digemari oleh para kaum muda yang masih berkutat dalam agenda-agenda seeking meaning dan pencarian jati diri. Belum selesai pada proses menemukan makna-maka yang tersirat dari rentetan peristiwa dalam hidup hingga belum sepenuhnya memahami konsep kedirian subtantif, mereka kemudian menerima sebuah informasi audio-visual tentang cara hidup remaja-anak muda yang ideal ala sinetron, maklum saja mereka yang belum memiliki modal kritisisme akan menganggap hal itu sebagai trend zaman dari modernisasi gaya hidup, mereka lalu mulai menjadikan sandiwara-sandiwara itu menjadi realitas diri, mereka ikut dan merestui sandiwara itu sebagai sebuah realitas alternatif yang sepatutnya mereka ikuti. sandiwara percintaanpun menjadi sangat menginspirasi kehidupan masa muda yang dianggap sebagai ajang perayaan coba-coba, mulailah rekayasa perubahan dijalankan dengan skenario yang begitu apik-sistemik.

Mencoba hidup glamour seperti yang ajarkan sinetron, menjalin hubungan asmara bebas nilai yang diperankan oleh para aktor-aktris tampan dan cantik perpektif kapitalisme, racun yang seolah-olah obat, itulah buah dari era kebebasan berekpresi dan keterbukaan kran-kran informasi yang cenderung bebas nilai. dimana skenario para sutradara seolah nampak lebih indah dari skenario Tuhan, padahal hanya kepalsuan yang banyak direfleksikan secara tak sadar menjadi keaslian realitas. Kisah-kisah roman menjadi tereduksi sangat dalam dimana manusia cuma menjadi objek eksploitasi capital, mendistorsi kisah roman dalam kitab seribu satu malam yang menggetarkan dada sekaliber laila-majnun, atau tenggelamnya kapal van der wick ala Ulama sekaligus sastrawan Buya Hamka dan kisah percintaan lain yang menempatkan manusia pada posisi agung sebagai mahluk yang dianugrahi potensi cinta, cinta yang memanusiakan, cinta yang mengantarkan penganutnya menuju kedekatan kepada Sang Hiyang Tayang (Tuhan:jawa kuno), bukan cinta ala kapitalisme yang hanya menjadi motif dari syahwat materil. Kerinduan akan kisah-kisah roman yang membangun cukup terobati dengan Ayat-ayat cinta, Ketika cinta bertasbih, hingga kisah cinta agung penuh hikmah Ainun-Habibie.


Sinetron-sinetron Remaja (Sumber : prempew.blospot.com)


Westernisasi, mungkin akan jadi kambing hitam terjadinya pergeseran-pergeseran mode dan tata-laku kehidupan, lihat bagaimana kota menjadi sebuah miniatur modernitas ala barat, bebas dan sangat terbuka, hingga kaedah-kaedah agama, etika, moral menjadi sangat tabu di sana. Mungkin tidak seluruhnya, tapi begitulah kenyataan dominan yang ada. Mobilitas sosial yang sangat tinggi, interaksi inter-personal yang begitu massif, mendorong percepatan proses sosialisasi informasi dan nilai yang sangat aktif, sehingga batas-batas etis-normatif tak lagi begitu diperhatikan. Bagaimana pergaulan tanpa batas nilai menjadi variabel sebab mewabahnya free sex di kalangan remaja, Narkoba yang sudah mulai menjajaki pasar-pasar seragam merah-putih hingga abu-abu, hingga menjamurnya komunitas-komunitas freeman yang menghendaki kebebasan atas hak-hak individu secara mutlak, yang terbaru adalah geng-geng motor yang cukup meresahkan masyarakat. Itu hanya sebuah potret minim data kuantitatif, sebuah telaah yang hanya berusaha mencibir ambruknya tatanan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan dan humanisme, kearifan jawa, madura, bugis, sunda, betawi, batak, dayak, minang, dan 300-an etnik lain yang menjadi sumber spirit kemanusiaan bermasyarakat.

Lalu ‘pacaran’ menjadi begitu biasa dan wajar bagi anak-anak kosmopolis, banyak orang tua memandang hal itu sebatas dinamika masa transisi usia. Nilai, karakter, etika dan moralitas menjadi nilai kesekian, yang penting tidak mendapat stigma anak ketinggalan zaman, kampungan dsb. Betapa kampung menjadi sebuah terminologi yang terbelakang dan dilecehkan di kota yang katanya menjadi mesin peradaban.

Yah, aku tak berani mengatakan bahwa pacaran itu haram karena aku bukan ahli agama lagi tak memiliki lembaga fatwah, aku hanya seorang pemuda sok cerdas yang sedikit demi sedikit belajar menatap realitas dengan sebuah kepentingan. Kepentingan bahwa nilai luhur harus tetap dijaga dan dilestarikan betapapun perubahan menghempaskannya, Dari lubuk nurani terdalam sungguh para orang tua pasti tak ingin buah hatinya terpedaya oleh konsep-konsep nihilistik yang mengasingkan manusia dari kesadaran transenden-spiritual karena silau oleh nafsu-syahwat yang sengaja diumbar di ruang-ruang publik. Kita manusia bermoral, relasi pria-wanita sudah seharusnya menjunjung martabat dan moralitas kemanusiaan, bukan binatang yang tak mengerti tata etika karena wajar tak memiliki akal.

Masihkah kita akan pura-pura buta, tak mengerti dan faham, bahwa kisah-kisah roman yang ingin kita skenariokan sebenarnya membuka peluang menciderai kesucian Cinta, cinta tak butuh bualan-bualan yang tak mampu menantang rasionalits-berfikir. Kata-kata cinta itu bukan barang obral yang bisa begitu murah dijajakan di pinggir-pinggir trotoar jalan, cinta itu hanya hadir dari sebuah ketulusan niat dan keikhlasan hati untuk mau bersumpah setia tak akan pernah menodai kesuciannya hingga ikrar disampaikan didepan para saksi saat akad upacara suci digelar.

Jalani ritus percintaan dengan hal-hal bisa saling membangun, mengingatkan, nasehat-menasehati untuk kebaikan dan kebenaran, saling menjaga jarak dari hal-hal yang mungkin berpotensi melahirkan prasangka dan dorongan negatif, tradisikan aktivitas-aktivitas yang produktif sebagai model-protipe dan warna menjalani masa-masa penjajakan yang semoga beujung pada sebuah ikatan suci (pernikahan).

Meluangkan waktu untuk membangun keintiman dalam hikmad diskusi yang memancing emosi keingintahuan berlebih …

Mengisi waktu senggang dengan menyusuri rentetan rak-rak buku yang kadang membuat keringat membasahi semangat membaca yang meluap ...

Atau dengan hanya bertegur-sapa lewat jaringan seluler yang cukup sedikit mewakili tatap-muka yang mungkin untuk melatih sabar dari dini (dialog selular) …

Hingga ketika Kita harus dihijab oleh serangkaian agenda yg membuat kita saling menarik diri dari cerita-cerita pertemuan di teras depan rumah (kajian pelataran)...

Semua itu merupakan hal-hal paling romantis dimana kita pernah saling mengambil peran walau dengan skenario Tuhan yang mungkin akan berbeda ...

Cinta telah menyegarkan kering, mengobati gersang dan dahaga akan realitas transenden tempat persemayaman iman kepada Sang empunya Jiwa dan Cinta ... 



|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.