0

Rasisme di Layar Kaca Kita

Posted by Fadhlan L Nasurung on 4:29 AM in
Menggunakan produk ini akan menjadikan kulit anda nampak putih dan bersinar, putih itu indah, benarkah? satu baris kalimat itu akan senantiasa menyapa kita disela-sela menikmati suguhan parade layar kaca di ruang keluarga, ruang kerja, hingga ruang-ruang bersantai melepas penat dan lelah, mungkin banyak diantara kita yang tak lebih menganggap hal itu sebagai salah satu bentuk strategi marketing pemilik produk, atau sebagian malah acuh dan tak menyimak dengan seksama tawaran menggiurkan tersebut. lalu benarkah putih adalah salah satu wujud rasial paling ideal?



Rasialisme (sumber : buffhans.com)


Putih merupakan suatu penggambaran wujud rasial dari kelompok masyarakat yang hidup didataran continental, dengan ciri-ciri fisik persis seperti apa yang banyak dikampanyekan oleh iklan-iklan produk kecantikan di media informasi dewasa ini, untuk konteks Indonesia tampilan fisik yang terfokus pada warna kulit telah menjadi perbincangan hangat dikalangan sosiolog dan antropolog, melihat realitas keberagaman yang juga menjadi ciri khas dari pluralitas bangsa, dan saya kira kita semua sepakat bahwa diskriminasi berbau SARA adalah hal yang akan mencederai pengakuan kebhinekaan (ldentitas, lokalitas, ras, suku dan budaya) dalam bangsa Indonesia.

Namun sangat paradoks ketika kita justru merestui terjadinya diskriminasi dalam bentuk propaganda media yang menghantam ruang bawah sadar masyarakat yang hanya mengunggulkan satu kelompok atau ras tertentu, lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang berada di timur (Papua, Maluku dan sebagian Nusa tenggara) mengapa superioritas kulit putih begitu menghakimi kodrat rasial mereka? Hingga kita sebagai masyarakat yang mengaku berkesadaran modern juga mengidap sindrom imitating untuk memutihkan warna kulit dengan berbagai macam produk-produk pemutih muktahir, padahal kita menyadari bahwa sebagian besar dari masyarakat Indonesia memiliki gen dengan kecenderungan warna kulit kecoklatan atau ras Melayu (Johann Friedrich Blumenbach).

Rasisme secara umum diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20 sebagai sebuah istilah yang menggambarkan adanya sentimen kelompok ras yang satu dengan kelompok ras yang lain, ia selalu merujuk pada bagaimana hubungan antar manusia seringkali dipengaruhi oleh latar identitas dan tampilan fisik masing-masing, dan terkadang perbedaan identitas dan tampilan fisik (warna kulit) menjadi tembok sosial yang membatasi hubungan antar personal hingga kelompok dimana mereka masih mengidap sindrom difference shock (latah menyikapi perbedaan), namun lebih jauh rasisme radikal diciptakan sebagai alat kekuasaan untuk mengakui supremasi kelompok tertentu. Dalam sejarahnya Rasisme menjadi legitimasi kekejaman tentara Nazi dibawah otak besi hitler untuk melakukan genosida terhadap orang-orang yahudi yang dianggapnya sebagai bangsa inlander yang pantas menerima perlakuan tidak manusiawi.

Televisi Rasis?

Televisi sudah menjadi sebuah dunia dimana referensi hidup terkadang dicaplok dari sana, bahkan ia telah menjadi sebuah ruang pendidikan virtual yang menyajikan banyak pelajaran kepada masyarakat, entah apa yang diajarkan bernilai positif atau negatif sesuai dengan tendensi kepentingan dibaliknya, tidak hanya itu konsep fisik yang selalu mengidealkan apa yang hadir di layar kaca secara tidak sadar telah membawa kita menuju ruang keterasingan (alienasi) dengan tidak menerima keakuan diri yang sebenarnya, dan justru menjadi objek eksploitasi modal seperti apa yang pernah diperingatkan Karl marx.

Ketika kita sibuk mengkampanyekan anti rasisme dalam berbagai macam segmen perjuangan, kita justru kecolongan dengan hadirnya sekolah kotak dengan layar yang senantiasa menghidangkan justifikasi rasisme ditengah-tengah keluarga, saudara dan teman-teman kita, diruang privat dan publik. Lalu kapan kita akan benar-benar akan menjadi manusia yang tidak lagi melihat segala sesuatu hanya berlandaskan tampilan fisik? Atau memang benar bahwa syahwat kapitallah yang menggerakan roda kesadaran kita untuk memilih dan menentukan kemerdekaan hidup. Dan lagi-lagi kita sama sekali tak sedang merdeka dan bebas!

Sebelum jauh melihat realitas eksternal, terlebih dahulu kita harus kembali untuk tidak bersikap rasis kepada diri pribadi kita, dimana bentuk dan tampilan fisik yang kita miliki merupakan sebuah kodrat yang harus kita terima dan syukuri dengan senantiasa memberikan kontribusi positif dalam penegakan hak-hak kemanusiaan tanpa memandang atribut-atribut sosial yang melekat pada diri kita masing-masing.

Itulah bentuk gegap-gempita dari sebuah kotak yang mampu merefleksikan manusia dengan kehidupannya, bahkan hari ini sosok fisik dan peran-peran karakter, sifat, serta kecenderungan yang ada pada layar kaca menjadi model bagi manusia-manusia modern yang juga ingin “memoderenkan” fisik dan perilaku kehidupannya demi melestarikan konsumerisme dan meramaikan pasar-pasar produksi life style dan fashion. Sehingga mentalitas rasis-tribal akan senantiasa menyejarah dan hidup dalam ruang-ruang peradaban manusia, mesikipun harus menyalahi kaedah-kaedah pluralitas dan keadaban. Karena manusia akan berlaku underestimate (meremehkan) manusia lainnnya.

Di era globalisasi dimana transformasi nilai begitu massif, meminimalisir isu-isu rasisme perlu mendapat perhatian serius, karena seiring perkembangan teknologi informasi, sosialisasi tentang nilai-nilai egalitarianisme tentunya mendapat tempat yang sangat vital, dan itu dapat terwujud tentunya ketika para pemilik organ-organ produksi penyiaran dapat lebih bijaksana dalam mengemas tampilan dan sajian layar kaca (televisi) sehingga dapat memberikan pendidikan moral dan karakter bagi masyarakat, tidak melulu selalu mengikuti nalar pasar yang profit oriented, tanpa memikirkan dampak sosial-budaya bagi masyarakat.


|

0 Comments

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.