2
Reaktualisasi Spirit Perjuangan Rasulullah
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
11:40 PM
in
Opini
Dalam Ensiklopedia Islam Maulud
atau Milad (Bahasa Arab: mawlid an-nabi'), adalah peringatan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW, diperingati setiap
tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriah, namun perayaannya diselenggarakan
sepanjang bulan rabiul awal, bahkan adapula yang masih merayakan setelahnya. Hampir di seluruh negara-negara Islam dan
negara berpenduduk muslim maulid diperingati sebagai bentuk ungkapan cinta dan
penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Di indonesia perayaan maulid yang sudah
mentradisi sejak ratusan tahun yang lalu memiliki corak yang sangat khas,
setiap daerah memiliki tradisi maulid yang beragam dan berbeda satu sama lain
sesuai dengan lokalitas budaya setempat. Peringatan maulid pada umumnya diisi
dengan pembacaan syair-syair shalawat, barazanji, dibaan, pengajian dan ceramah
agama. Sedangkan di wilayah Indonesia lainnya peringatan maulid seringkali
menjadi event tahunan yang dibingkai
dengan berbagai kegiatan-kegiatan serta pagelaran-pagelaran yang merakyat, dengan tetap mengedepankan aspek syiar agama dan agenda sosial.
Tradisi seremonial Maulid (sumber : www.bolsel.com)
Sosialisme Maulid
Menurut sejarah Maulid pertama kali dirayakan secara massal
pada masa Salahuddin Al-ayyubi untuk membangkitkan semangat juang ummat islam,
dalam perjalanan sejarahnya menjadi sebuah tradisi yang diperingati setiap
tahunnya. Pentradisian maulid yang telah menjadi budaya tersendiri kiranya
tidak hanya dijadikan sebagai rutinitas tahunan yang seremonialistik. ketika
kita ingin mengkaji esensi maulid maka kita harus kembali membuka lembaran
sejarah perjuangan Rasulullah dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek
agama, sosial, politik dan ekonomi. Rasulullah sebagai prototipe manusia ideal
paling shahih sudah sepatutnya
menjadi rujukan untuk membangun karakter dan mentalitas bangsa yang tengah
dilanda krisis dimensional. Bukan maksud membuat sebuah kohesi antara ajaran
Rasulullah dan sosialisme marxis, karena sosialisme yang penulis maksud lebih
kepada sosialisme dalam makna yang menempatkan manusia sebagai mahluk sosial
yang senantiasa memberi sumbangsih positif bagi manusia lain.
Maulid yang selama ini dipahami sebagai tradisi keislaman,
dapat direkonstruksi menjadi sebuah gerakan moral dalam menghadapi
ketidakpastian sosial yang melanda negara ini, dan memang idealnya demikian.
Memperingati maulid berarti membangkitkan mentalitas dan mengaktualisasikan
kembali spirit perjuangan Rasulullah sebagai manusia sempurna (insan kamil) yang telah berhasil membangun
sebuah peradaban kemanusiaan yang cemerlang yang tak seorang pun dapat
memungkirinya. Sehingga karakter, kepribadian (ahlak) dan ajaran Beliau banyak
mengilhami manusia baik mereka beragama Islam ataupun mereka yang non-Islam untuk senantiasa
berkontribusi aktif untuk menjalankan
peran-peran sosial-kemanusiaannya.
Secara tradisional peringatan maulid
yang kaya dengan nuansa religiuitas sosial menjadi salah satu sentrum gerakan
pelestarian budaya-budaya lokal yang makin tergerus arus globalisasi dan
modernitas ala barat. Sosialisme maulid dapat dibuktikan pada saat memasuki
bulan rabiul awal dalam penanggalan kalender Hijriah, betapa banyak rakyat
miskin yang berbondong-bondong menyambut dengan harapan dapat mengurangi beban
penderitaan mereka, walau sekedar membungkam rasa lapar dan dahaga, peringatan
maulid yang digelar dengan agenda-agenda sosial, dapat menolong mereka yang
sedang terjepit kebutuhan hidup, namun akan sangat paradoks ketika peringatan
maulid yang biasanya dibingkai dengan acara seremonial lalu tanpa disertai
agenda-agenta pengentasan kemiskinan.
Di tengah problematika kemanusiaan
yang melanda dunia khususnya Indonesia yang semakin complicated, di butuhkan sebuah wacana solutif yang mengedepankan
prinsip-prinsip keadilan sosial dan egalitarianisme. Sebelum kaum marxis
berbicara tentang Sosialisme dan kesetaraan (egaliter) jauh berabad-abad
sebelumnya, Nabi Muhammad yang diutus dengan mengawali ajarannya di sebuah
kawasan tandus semenanjung arabia yaitu tepatnya Makkah Al-Mukarram telah
menguraikan secara kompleks hakikat kemanusiaan itu. Dalam bukunya Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam
Sejarah, Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama, sebuah hal yang sangat ilmiah dan
realistis mengingat betapa besar andil dan peran beliau dalam membangun peradaban
ummat manusia. Rasulullah datang dengan membawa semangat revolusi sosial,
menghapus dikotomi kasta dan stratifikasi sosial yang berjaya pada saat itu,
menghapuskan paham materialism (penyembahan terhadap hal yang sifatnya
kebendaan) dan monopoli kekayaan. Dan yang hadir kemudian adalah bahwa manusia
sama di Mata Tuhan, yang membedakan bukanlah simbol dan atribut sosial, tetapi
hal yang lebih substansi yakni kualitas diri (ketakwaan) masing-masing.
Peringatan maulid nabi yang kadang masih mengundang pro dan
kontra dikalangan ummat islam seharusnya didudukkan pada tataran perbedaan
interpretasi dan pemaknaan ajaran agama. tidak kemudian selalu ditarik-ulur
pada wilayah justifikasi benar-salah yang cenderung menajamkan sikap fanatisme.
Maulid sejatinya harus dipandang sebagai tradisi positif yang dapat menjadi
media syiar islam, karena Islam sebagai agama memiliki ajaran yang moderat dan
inklusif dan senantiasa menjawab kebutuhan sosial masyarakatnya bukan justru
merestui terjadinya kesenjangan dan ketimpangan sosial di masyarakat, karena
hal itu akan mencederai fungsi agama yang datang untuk merekonstruksi bangunan dan
sistem sosial-kemasyarakatan.
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang majemuk baik
secara bahasa, suku dan budaya, dan Islam datang bukan untuk menghapus semua
nilai-nilai pra-Islam yang telah mentradisi dari masa lalu hingga sekarang,
namun justru untuk mengakomodir dan melakukan rekonstruksi sedemikian rupa
sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, seperti
halnya maulid yang merupakan karya Ulama dan pejuang Islam di masa silam,
seringkali berkolaborasi dengan tradisi-tradisi lokal masyarakat sehingga
melahirkan sebuah corak budaya yang khas bernafaskan Islam, dan hal itu
sepatutnya harus selalu kita lestarikan dan kembangan sesuai dengan kebutuhan
sosial dengan tetap mengacu pada koridor-koridor ajaran agama yang termaktub
dalam Al-quran dan hadist serta konsensus para Ulama. Karena adalah sebuah
harmoni ketika universalitas Islam dapat bersinergi dengan lokalitas budaya.