1
Cinta di Simpang Kuasa, Ideologi dan Keyakinan (Resensi Novel Jejak)
Cinta adalah bahasa
universal milik semua insan, ia merasuk ke dalam sukma sehingga seringkali tak
mampu dijangkau oleh logika. Cinta adalah sebuah konsepsi yang tak butuh
didefinisikan, apalagi diinstitusikan, cinta adalah mahluk liar yang paling
sulit untuk dijinakkan, karena ia seringkali datang secara tiba-tiba melalui
berbagai aras dari sisi kemanusiaan hingga keTuhanan. Dalam banyak kisah, cinta
yang merupakan sisi paling luhur dari kehidupan, menjadi titik temu berbagai kutub
perbedaan yang ada, dari perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Bahkan dalam
sebuah pertarungan kuasa yang menjadi sebab konflik dan peperangan dari masa ke
masa, cinta selalu saja hadir melakukan harmonisasi, menampakkan wajah terdalam
dari kemanusiaan.
Pepi Al-Bayqunie seorang
intelektual muda NU asal Makassar, mencoba menghadirkan wajah kemanusiaan itu
dalam buku yang berjudul “Jejak”, sebuah novel roman yang mengangkat kehidupan
sebuah komunitas agama lokal di Sulsel. Walaupun tidak secara vulgar menyebut
komunitas lokal itu dalam narasinya, namun sistem tanda dan simbolitas yang dibangun
untuk menggambarkan komunitas lokal yang menjadi salah satu latar inti dari
kisah percintaan yang diangkat, menunjuk komunitas To Lotang yang dalam Novel
ini disebut dengan term Tobare.
Di Sulawesi-selatan terdapat
beberapa komunitas agama lokal yang masih bertahan hingga kini, komunitas lokal
tersebut umumnya hidup jauh dari komunitas mainstream, baik secara agama maupun
kebudayaan. Sebut saja komunitas agama To Lotang atau To Wani yang dapat kita
jumpai di Kabupaten Sidrap Sulawesi selatan, komunitas tersebut merupakan satu
di antara beberapa komunitas lokal di Sulsel yang sukses mempertahankan
eksistensinya ditengah desakan arus agama dan kebudayaan yang datang dari luar.
Islam sebagai agama
universal (rahmatan lil alamin) yang masuk ke Nusantara sejak ratusan tahun
yang lalu, bertemu dengan berbagai corak agama dan keyakinan masyarakat lokal
di berbagai wilayah, pertemuan yang terjadi antara Islam dan berbagai wajah
lokalitas itu umumnya terjalin secara kultural, Islam di masa-masa awal
kedatangannya di Indonesia, dibawa oleh para spiritualis (Wali-sufi) yang
dengannya Islam hadir dengan paras kerahmatannya. Islam yang secara formal
datang dari jazirah Arab nun jauh di sana, disebarkan tidak melalui otoritas
politik, melainkan melaui dialog kultural yang berlansung secara gradual dan
damai.
Di era sekarang, wajah
Islam yang direfleksikan oleh kaum muslimin sedang di uji dalam belantika
kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Isu terorisme yang seringkali
diasosiasikan dengan ajaran Islam, seolah ingin mendistorsi wajah kerahmatan
Islam. Kekerasan dan teror yang selama ini dilakukan oleh oknum-oknum yang
mengaku beragama Islam, memunculkan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama
yang mengusung fundamentalisme dan ekstrimisme. Padahal hal tersebut sama
sekali bukanlah bagian dari ajaran Islam, melainkan sesuatu yang lahir dari
mereka yang memiliki iman sedemikian tebal tetapi mengalami gagal faham.
Dalam novel “Jejak”
Irfan seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universita terkemuka di
Sulawesi selatan, melakukan serangkaian perjalanan untuk menguak berbagai
misteri yang selama beberapa waktu menghantui kehidupannya, perjalanan tersebut
tidak hanya tebatas dalam arti fisik, tetapi juga perjalanan menelusuri gugusan
makna dalam dialektika kehidupan yang dijalaninya, dimulai ketika hasrat
cintanya kepada seorang perempuan bernama I Coppo Bungaeja semakin menunjukkan
gerak dan isyarat positif.
Belakangan terungkap
bahwa I Coppo Bungaeja merupakan anak gadis keturunan seorang pemimpin
tertinggi komunitas agama Tobare. Kisah romantika Irfan dan I Coppo Bungaeja
berlanjut pada sebuah perjalanan kultural-spiritual akan komunitas lokal Tobare
yang harus hidup dengan cara mimikri. Secara kultural mereka tak jauh beda
dengan penganut agama Islam pada umumnya, namun secara formal mereka oleh Negara
“dipaksa” menganut hindu sebagai agama pada kolom KTP mereka, mereka menerima
itu semata untuk memperolah akses sosial, politik dan pendidikan sebagai warga
Negara yang sah, juga sebagai strategi pertahanan demi keberlanjutan generasi. Sedang
ke”Tobare”an mereka menjadi identitas privat yang hanya diketahui oleh
masyarakat sesama komunitas.
Ketika PKI menjadi kelompok yang dimusihi oleh Negara di masa
orde baru, komunitas Tobare juga mengalami masa-masa sulit, dimana
mereka dituduh berasosiasi dengan kelompok PKI. Inkuisisi, pengasingan hingga
pembunuhan pernah menjadi sejarah kelam komunitas ini ketika berhadapan dengan penguasa
di era orde baru.
Pada penggalan kisah
tentang sisi kelam komunitas Tobare di atas, ada sebuah fakta yang ingin disajikan
oleh penulis, tentang apa yang benar-benar pernah melanda komunitas lokal To
Lotang, saat Negara menempatkan mereka sebagai tersangka dalam kasus yang
mereka tak terlibat di dalamnya. Keteguhan mereka dalam menganut keyakinan agama
nenek moyang yang telah ada sebelum ke lima agama resmi di republik ini ada,
seolah menjadi kutukan yang membuat mereka harus menjadi komunitas marginal di
tanah sendiri.
Novel “Jejak” juga
menampilkan wajah berbeda dari Sunni-Syiah yang kerap terlibat dalam
pertarungan idelogi dan politik. Sehingga seringkali kedua aliran Islam dengan
penganut terbesar tersebut menarik jarak satu sama lain, bahkan konflik fisik
kerap terjadi dan mengoyak rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) antara keduanya. Perbedaan ideologi dan
pemahaman menjadi kambing hitamnya. Untuk mendamaikan konflik tersebut, dalam
Novel ini penulis kemudian menyuguhkan sebuah titik awal, saat Islam belum mengenal
Sunni-Syiah dan aliran dalam Islam lainnya. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika
Tuhan menciptakan manusia pertama, tanpa atribut agama dan identitas
primordial, kehidupan hadir dalam sebuah harmoni.
Dengan kembali ke titik
kesadaran awal itu, kita akan menjadi faham, bahwa konflik atas nama agama,
suku dan golongan adalah produk sejarah, dimana kuasa menjadi faktor utama penggeraknya.
Maka tak seharusnya atas nama kebenaran dan perbedaan, kita saling menegasikan satu
sama lain!
Peresensi
: M. Fadlan L Nasurung
Judul
Buku : Jejak
Penulis
: Pepy Al-Bayqunie
Penerbit
: Pustaka Mafaza, Solo
Cetakan : 1, Januari 2015
ISBN : 978-602-7826-10-6
Tebal : vi + 188 Halaman