1

Cinta di Simpang Kuasa, Ideologi dan Keyakinan (Resensi Novel Jejak)

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:39 AM in ,


Cinta adalah bahasa universal milik semua insan, ia merasuk ke dalam sukma sehingga seringkali tak mampu dijangkau oleh logika. Cinta adalah sebuah konsepsi yang tak butuh didefinisikan, apalagi diinstitusikan, cinta adalah mahluk liar yang paling sulit untuk dijinakkan, karena ia seringkali datang secara tiba-tiba melalui berbagai aras dari sisi kemanusiaan hingga keTuhanan. Dalam banyak kisah, cinta yang merupakan sisi paling luhur dari kehidupan, menjadi titik temu berbagai kutub perbedaan yang ada, dari perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Bahkan dalam sebuah pertarungan kuasa yang menjadi sebab konflik dan peperangan dari masa ke masa, cinta selalu saja hadir melakukan harmonisasi, menampakkan wajah terdalam dari kemanusiaan.

Pepi Al-Bayqunie seorang intelektual muda NU asal Makassar, mencoba menghadirkan wajah kemanusiaan itu dalam buku yang berjudul “Jejak”, sebuah novel roman yang mengangkat kehidupan sebuah komunitas agama lokal di Sulsel. Walaupun tidak secara vulgar menyebut komunitas lokal itu dalam narasinya, namun sistem tanda dan simbolitas yang dibangun untuk menggambarkan komunitas lokal yang menjadi salah satu latar inti dari kisah percintaan yang diangkat, menunjuk komunitas To Lotang yang dalam Novel ini disebut dengan term Tobare.

Di Sulawesi-selatan terdapat beberapa komunitas agama lokal yang masih bertahan hingga kini, komunitas lokal tersebut umumnya hidup jauh dari komunitas mainstream, baik secara agama maupun kebudayaan. Sebut saja komunitas agama To Lotang atau To Wani yang dapat kita jumpai di Kabupaten Sidrap Sulawesi selatan, komunitas tersebut merupakan satu di antara beberapa komunitas lokal di Sulsel yang sukses mempertahankan eksistensinya ditengah desakan arus agama dan kebudayaan yang datang dari luar. 

Islam sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) yang masuk ke Nusantara sejak ratusan tahun yang lalu, bertemu dengan berbagai corak agama dan keyakinan masyarakat lokal di berbagai wilayah, pertemuan yang terjadi antara Islam dan berbagai wajah lokalitas itu umumnya terjalin secara kultural, Islam di masa-masa awal kedatangannya di Indonesia, dibawa oleh para spiritualis (Wali-sufi) yang dengannya Islam hadir dengan paras kerahmatannya. Islam yang secara formal datang dari jazirah Arab nun jauh di sana, disebarkan tidak melalui otoritas politik, melainkan melaui dialog kultural yang berlansung secara gradual dan damai. 

Di era sekarang, wajah Islam yang direfleksikan oleh kaum muslimin sedang di uji dalam belantika kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Isu terorisme yang seringkali diasosiasikan dengan ajaran Islam, seolah ingin mendistorsi wajah kerahmatan Islam. Kekerasan dan teror yang selama ini dilakukan oleh oknum-oknum yang mengaku beragama Islam, memunculkan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama yang mengusung fundamentalisme dan ekstrimisme. Padahal hal tersebut sama sekali bukanlah bagian dari ajaran Islam, melainkan sesuatu yang lahir dari mereka yang memiliki iman sedemikian tebal tetapi mengalami gagal faham.

Dalam novel “Jejak” Irfan seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universita terkemuka di Sulawesi selatan, melakukan serangkaian perjalanan untuk menguak berbagai misteri yang selama beberapa waktu menghantui kehidupannya, perjalanan tersebut tidak hanya tebatas dalam arti fisik, tetapi juga perjalanan menelusuri gugusan makna dalam dialektika kehidupan yang dijalaninya, dimulai ketika hasrat cintanya kepada seorang perempuan bernama I Coppo Bungaeja semakin menunjukkan gerak dan isyarat positif. 

Belakangan terungkap bahwa I Coppo Bungaeja merupakan anak gadis keturunan seorang pemimpin tertinggi komunitas agama Tobare. Kisah romantika Irfan dan I Coppo Bungaeja berlanjut pada sebuah perjalanan kultural-spiritual akan komunitas lokal Tobare yang harus hidup dengan cara mimikri. Secara kultural mereka tak jauh beda dengan penganut agama Islam pada umumnya, namun secara formal mereka oleh Negara “dipaksa” menganut hindu sebagai agama pada kolom KTP mereka, mereka menerima itu semata untuk memperolah akses sosial, politik dan pendidikan sebagai warga Negara yang sah, juga sebagai strategi pertahanan demi keberlanjutan generasi. Sedang ke”Tobare”an mereka menjadi identitas privat yang hanya diketahui oleh masyarakat sesama komunitas. 

Ketika PKI menjadi kelompok yang dimusihi oleh Negara di masa orde baru, komunitas Tobare juga mengalami masa-masa sulit, dimana mereka dituduh berasosiasi dengan kelompok PKI. Inkuisisi, pengasingan hingga pembunuhan pernah menjadi sejarah kelam komunitas ini ketika berhadapan dengan penguasa di era orde baru.

Pada penggalan kisah tentang sisi kelam komunitas Tobare di atas, ada sebuah fakta yang ingin disajikan oleh penulis, tentang apa yang benar-benar pernah melanda komunitas lokal To Lotang, saat Negara menempatkan mereka sebagai tersangka dalam kasus yang mereka tak terlibat di dalamnya. Keteguhan mereka dalam menganut keyakinan agama nenek moyang yang telah ada sebelum ke lima agama resmi di republik ini ada, seolah menjadi kutukan yang membuat mereka harus menjadi komunitas marginal di tanah sendiri.

Novel “Jejak” juga menampilkan wajah berbeda dari Sunni-Syiah yang kerap terlibat dalam pertarungan idelogi dan politik. Sehingga seringkali kedua aliran Islam dengan penganut terbesar tersebut menarik jarak satu sama lain, bahkan konflik fisik kerap terjadi dan mengoyak rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) antara keduanya. Perbedaan ideologi dan pemahaman menjadi kambing hitamnya. Untuk mendamaikan konflik tersebut, dalam Novel ini penulis kemudian menyuguhkan sebuah titik awal, saat Islam belum mengenal Sunni-Syiah dan aliran dalam Islam lainnya. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, tanpa atribut agama dan identitas primordial, kehidupan hadir dalam sebuah harmoni.

Dengan kembali ke titik kesadaran awal itu, kita akan menjadi faham, bahwa konflik atas nama agama, suku dan golongan adalah produk sejarah, dimana kuasa menjadi faktor utama penggeraknya. Maka tak seharusnya atas nama kebenaran dan perbedaan, kita saling menegasikan satu sama lain! 

Peresensi        : M. Fadlan L Nasurung
Judul Buku     : Jejak
Penulis            : Pepy Al-Bayqunie
Penerbit          : Pustaka Mafaza, Solo
Cetakan          : 1, Januari 2015
ISBN               : 978-602-7826-10-6
Tebal                : vi + 188 Halaman


|

1 Comments


Bukunya bagus, sangat menarik. Disamping menghibur juga memberi banyak pengetahuan penting

Post a Comment

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.