0
Imlek dan Pesan Moral Berbangsa
Dulu
di zaman orde baru Imlek menjadi hal yang asing bagi masyarakat Indonesia,
rezim Suharto melarang segala bentuk perayaan yang berbau Tionghoa. Pasca
reformasi bergulir tahun 2000 presiden Abdurrahman Wahid mencabut inpres yang
menjustifikasi terjadinya marginalisasi warga Tionghoa, bahkan Kong Hu Cu
kemudian ditetapkan sebagai agama resmi Negara setelah bertahun-tahun
dianaktirikan oleh penguasa. Setelah itu perayaan tahun baru Imlek setiap
tahunnya menjadi sebuah fenomena yang turut menyumbangkan kekayaan khazanah
budaya Nusantara dengan berbagai parodi, seremoni dan pernak-pernik yang
memperkuat kodrat kebhinekaan bangsa ini.
Sebagai
Negara yang menganut demokrasi Indonesia sudah seharusnya menciptakan sebuah
kehidupan keagamaan yang damai dan harmonis, dimana berbagai macam agama, aliran
keyakinan dan kepercayaan dapat hidup secara rukun dan damai tanpa harus
tercederai oleh fanatisme atas dasar truth
claim (klaim kebenaran) dan salvation
claim (klaim keselamatan) dari masing-masing penganut, apalagi berujung
pada konflik horizontal yang telah banyak memakan korban jiwa. Toleransi,
tenggang rasa dan sikap saling menghargai menjadi kata kunci bagi bangsa ini
untuk tidak mengulang sejarah panjang diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi
Manusia, menjadi bangsa yang dewasa dalam memaknai rahmat pluralitas yang ada.
Agama
Kong Hu Cu yang berangkat dari ajaran Konfusianisme senantiasa mengajarkan
ketauladanan bagi manusia dengan tatanan etika dan moral untuk menciptakan
kehidupan yang harmoni dalam bentuk relasi spiritual antara manusia dengan
Tuhan (Tian Dao) dan relasi sosial
antara manusia dengan manusia lainnya (Ren
Dao), meskipun banyak kalangan yang menilai bahwa Kong Hu Cu bukanlah
sebuah agama melainkan ajaran-ajaran luhur dari Konfusius yang merupakan
seorang guru spiritual, tetapi tentunya pemaknaan terhadap suatu ajaran akan
berbeda antara penganut dan yang bukan penganut ajaran tersebut.
Hari
raya Imlek tahun ini hadir dalam suasana bangsa Indonesia yang sedang dilanda
musibah banjir di berbagai daerah, kabar duka dan derita kiranya tidak
mengurangi hikmad perayaan hari raya warga Tionghoa tersebut, walaupun kita tak
turut merayakan, minimal Imlek menjadi salah satu momentum positif untuk
membangun kepekaan sosial dan kesadaran politik di tahun kuda yang juga menjadi
tahun politik bagi bangsa ini. Sadar bahwa musibah yang kerap menghujani bangsa
ini bisa merupakan akibat dari faktor alamiah, human error, dan tentunya
bencana kebijakan yang tak lagi memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan kondisi
ekologi Negara ini.
Setelah
Kong Hu Cu entah agama dan aliran kepercayaan apa lagi yang akan merasakan
keadilan sosial menjadi warga Negara Indonesia yang merdeka dalam menjalankan ritual
keyakinan tanpa perlu resah akan ancaman dari pihak tertentu, kasus kekerasan
terhadap warga Ahmadiyah dan penganut Syi’ah di Sampang-Madura semoga menjadi
episode terakhir dari kejamnya perilaku intoleransi di tengah-tengah masyarakat
bangsa ini.
Perayaan
hari raya Imlek tidak hanya menjadi milik para penganut Kong Hu Cu, akan tetapi
menjadi sebuah media refleksi bersama tentang nasib kebhinekaan dan masa depan
bangsa, kodrat pluralitas yang telah Tuhan berikan kiranya menjadi potensi
besar untuk menata kehidupan sosial keagamaan yang lebih rukun dan damai,
menciptakan relasi inter-agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas dan
nasionalitas. Bersama-sama memperjuangkan terciptanya kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, keadilan hukum, serta politik dan pemerintahan yang
bebas dari virus korupsi.
Dimuat di Rubrik Perspektif Tribun Timur Edisi Februari 2015
Dimuat di Rubrik Perspektif Tribun Timur Edisi Februari 2015