Beberapa
tahun terakhir perkembangan dunia hiburan layar kaca begitu memberikan ruang
yang lapang bagi mereka yang ingin exist menjadi wayang-wayang dalam
berbagai segmentasi sandiwara, pasar produksi film meningkat, ketika
dunia layar kaca Amerika serikat menjadi sangat populer dengan
raksasa Holliwoodnya, India dengan Bolliwoodnya, Jepang dengan cartoon-animasinya,
Korea dengan genre romannya, maka Indonesia polpuler dengan
Sinetronnya, berbagai macam tema-tema percintaan akan senantiasa menghiasi
layar kaca Indonesia sejak pagi ketika embun masih menyinggahi pucuk-pucuk daun
lentik, hingga ketika lonceng tengah malam telah dibunyikan di pos-pos
penjagaan mencegah kerawanan barang hilang terutama dimusim paceklik.
Aku
masih duduk disekolah dasar ketika suguhan kisah percintaan anak usia sekolah
ditayangkan diruang 'rapat' keluarga tempat merajut kehangatan
setelah sehari suntuk bersua dengan aktifitas sekolah dan menjadi pengembala
kecil di sawah bersama teman-teman, hingga menghabiskan sore bermain
petak-umpet dipadang ilalang yang akan segera terhenti seketika azan magrib
berkumandang, waktu itu reformasi belum lama bergulir, perubahan begitu sangat
terasa dalam kehidupan kami sebagai bocah-bocah yang masih memandang segala
sesuatu dengan sangat polos, tayangan-tanyangan baru di televisi seolah
mengekspresikan tibanya era kebebasan dan keterbukaan, yah, era dimana segala
bentuk kreatifitas dan ekspresi seni mendapat tempat agung. Maka mulailah
segala sesuatu berubah, perubahan waktu itu ibarat air bah yang bisa membuat
siapa saja terseret oleh arusnya.
Cinta
SMU, Anak Baru Gede (ABG), sinetron remaja yang sedikit banyak telah
mempengaruhi cara pandang dan pergaulan ana seusiaku ketika mulai menginjak
sekolah menengah pertama yang kata orang adalah masa pubertas yang akan membawa
perubahan-perubahan mendasar dalam persepsi kepada lawan jenis, hingga berefek
pada perubahan tingkah laku dan gaya berpakaian, lalu mulai belajar menyukai
citra lawan jenis, hingga mulai berani mengapresiasi keindahannya dengan
berbagai ekspresi ala ukuran usia, selangkah lebih maju mulai terpesona hingga
mengklaim bahwa itu adalah 'suka' dan 'cinta' (cinta monyet katanya) yah, mungkin
itu sesuatu yang alamiah bagi mereka yang menganggap bahwa perubahan-perubahan
itu murni berasal dari dorongan dalam diri seiring bertambahnya usia, perubahan
itu merupakan kodrat yang sudah menjadi hukum kehidupan, tetapi apakah produk
perubahan juga masuk dalam kedah ketetapan Tuhan (takdir)? atau produk
perubahan itu bisa didesain untuk kepentingan-kepentigan tertentu, dulu ketika
aku masih sangat polos dengan cara pandang hitam-putih pasti akan memilih yang
pertama, namun sekarang setelah terjebak dalam perangkap kritisisme yang
meniscayakan keberanian untuk menafsirkan realitas, paradigma kemudian menjadi
pisau analisa yang tajam untuk membedah berbagai fenomena kehidupan, ditambah
secuil pengetahuan semiotika.
Mesin
propaganda raksasa bernama Televisi telah menjadi pedoman menata berbagai
berbagai lini kehidupan di ruang-ruang publik hingga area privat di dapur
bahkan secret room tempat peraduan keintiman hasrat dan birahi digelar. Lalu apa hubungannya dengan sinetron? betul
bahwa reformasi menghendaki terciptanya kehidupan masyarakat yang
dinamis-transformatif dengan dukungan berbagai sumber-sumber informasi dan
akses komunikasi yang semakin menafikan hijab ruang dan waktu. Sinetron dengan
domain cerita-cerita roman remaja-anak sekolah menjadi sangat digemari oleh
para kaum muda yang masih berkutat dalam agenda-agenda seeking meaning dan
pencarian jati diri. Belum selesai pada proses menemukan makna-maka yang
tersirat dari rentetan peristiwa dalam hidup hingga belum sepenuhnya memahami
konsep kedirian subtantif, mereka kemudian menerima sebuah informasi audio-visual tentang
cara hidup remaja-anak muda yang ideal ala sinetron, maklum saja mereka yang
belum memiliki modal kritisisme akan menganggap hal itu sebagai trend zaman
dari modernisasi gaya hidup, mereka lalu mulai menjadikan sandiwara-sandiwara
itu menjadi realitas diri, mereka ikut dan merestui sandiwara itu sebagai
sebuah realitas alternatif yang sepatutnya mereka ikuti. sandiwara
percintaanpun menjadi sangat menginspirasi kehidupan masa muda yang dianggap
sebagai ajang perayaan coba-coba, mulailah rekayasa perubahan dijalankan dengan
skenario yang begitu apik-sistemik.
Mencoba
hidup glamour seperti yang ajarkan sinetron, menjalin hubungan asmara bebas
nilai yang diperankan oleh para aktor-aktris tampan dan cantik perpektif
kapitalisme, racun yang seolah-olah obat, itulah buah dari era kebebasan
berekpresi dan keterbukaan kran-kran informasi yang cenderung bebas nilai.
dimana skenario para sutradara seolah nampak lebih indah dari skenario Tuhan,
padahal hanya kepalsuan yang banyak direfleksikan secara tak sadar menjadi
keaslian realitas. Kisah-kisah roman menjadi tereduksi sangat dalam dimana
manusia cuma menjadi objek eksploitasi capital, mendistorsi kisah roman dalam
kitab seribu satu malam yang menggetarkan dada sekaliber laila-majnun, atau
tenggelamnya kapal van der wick ala Ulama sekaligus sastrawan Buya Hamka dan
kisah percintaan lain yang menempatkan manusia pada posisi agung sebagai mahluk
yang dianugrahi potensi cinta, cinta yang memanusiakan, cinta yang mengantarkan
penganutnya menuju kedekatan kepada Sang Hiyang Tayang (Tuhan:jawa kuno), bukan
cinta ala kapitalisme yang hanya menjadi motif dari syahwat materil. Kerinduan
akan kisah-kisah roman yang membangun cukup terobati dengan Ayat-ayat cinta,
Ketika cinta bertasbih, hingga kisah cinta agung penuh hikmah Ainun-Habibie.
Sinetron-sinetron Remaja (Sumber : prempew.blospot.com)
Westernisasi,
mungkin akan jadi kambing hitam terjadinya pergeseran-pergeseran mode dan
tata-laku kehidupan, lihat bagaimana kota menjadi sebuah miniatur modernitas
ala barat, bebas dan sangat terbuka, hingga kaedah-kaedah agama, etika, moral
menjadi sangat tabu di sana. Mungkin tidak seluruhnya, tapi begitulah kenyataan
dominan yang ada. Mobilitas sosial yang sangat tinggi, interaksi inter-personal
yang begitu massif, mendorong percepatan proses sosialisasi informasi dan nilai
yang sangat aktif, sehingga batas-batas etis-normatif tak lagi begitu
diperhatikan. Bagaimana pergaulan tanpa batas nilai menjadi variabel sebab
mewabahnya free sex di kalangan remaja, Narkoba yang sudah mulai
menjajaki pasar-pasar seragam merah-putih hingga abu-abu, hingga menjamurnya
komunitas-komunitas freeman yang menghendaki kebebasan atas hak-hak
individu secara mutlak, yang terbaru adalah geng-geng motor yang cukup
meresahkan masyarakat. Itu hanya sebuah potret minim data kuantitatif, sebuah
telaah yang hanya berusaha mencibir ambruknya tatanan sosial yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kearifan dan humanisme, kearifan jawa, madura, bugis, sunda,
betawi, batak, dayak, minang, dan 300-an etnik lain yang menjadi sumber spirit
kemanusiaan bermasyarakat.
Lalu
‘pacaran’ menjadi begitu biasa dan wajar bagi anak-anak kosmopolis, banyak
orang tua memandang hal itu sebatas dinamika masa transisi usia. Nilai,
karakter, etika dan moralitas menjadi nilai kesekian, yang penting tidak
mendapat stigma anak ketinggalan zaman, kampungan dsb. Betapa kampung menjadi
sebuah terminologi yang terbelakang dan dilecehkan di kota yang katanya menjadi
mesin peradaban.
Yah,
aku tak berani mengatakan bahwa pacaran itu haram karena aku bukan ahli agama
lagi tak memiliki lembaga fatwah, aku hanya seorang pemuda sok cerdas yang
sedikit demi sedikit belajar menatap realitas dengan sebuah kepentingan.
Kepentingan bahwa nilai luhur harus tetap dijaga dan dilestarikan betapapun
perubahan menghempaskannya, Dari lubuk nurani terdalam sungguh para orang tua
pasti tak ingin buah hatinya terpedaya oleh konsep-konsep nihilistik yang
mengasingkan manusia dari kesadaran transenden-spiritual karena silau oleh
nafsu-syahwat yang sengaja diumbar di ruang-ruang publik. Kita manusia
bermoral, relasi pria-wanita sudah seharusnya menjunjung martabat dan moralitas
kemanusiaan, bukan binatang yang tak mengerti tata etika karena wajar tak
memiliki akal.
Masihkah
kita akan pura-pura buta, tak mengerti dan faham, bahwa kisah-kisah roman yang
ingin kita skenariokan sebenarnya membuka peluang menciderai kesucian Cinta,
cinta tak butuh bualan-bualan yang tak mampu menantang rasionalits-berfikir.
Kata-kata cinta itu bukan barang obral yang bisa begitu murah dijajakan di
pinggir-pinggir trotoar jalan, cinta itu hanya hadir dari sebuah ketulusan niat
dan keikhlasan hati untuk mau bersumpah setia tak akan pernah menodai
kesuciannya hingga ikrar disampaikan didepan para saksi saat akad upacara suci
digelar.
Jalani
ritus percintaan dengan hal-hal bisa saling membangun, mengingatkan, nasehat-menasehati
untuk kebaikan dan kebenaran, saling menjaga jarak dari hal-hal yang mungkin
berpotensi melahirkan prasangka dan dorongan negatif, tradisikan
aktivitas-aktivitas yang produktif sebagai model-protipe dan warna menjalani
masa-masa penjajakan yang semoga beujung pada sebuah ikatan suci (pernikahan).
Meluangkan
waktu untuk membangun keintiman dalam hikmad diskusi yang memancing emosi
keingintahuan berlebih …
Mengisi
waktu senggang dengan menyusuri rentetan rak-rak buku yang kadang membuat
keringat membasahi semangat membaca yang meluap ...
Atau
dengan hanya bertegur-sapa lewat jaringan seluler yang cukup sedikit mewakili
tatap-muka yang mungkin untuk melatih sabar dari dini (dialog selular) …
Hingga
ketika Kita harus dihijab oleh serangkaian agenda yg membuat kita saling
menarik diri dari cerita-cerita pertemuan di teras depan rumah (kajian
pelataran)...
Semua
itu merupakan hal-hal paling romantis dimana kita pernah saling mengambil peran
walau dengan skenario Tuhan yang mungkin akan berbeda ...
Cinta
telah menyegarkan kering, mengobati gersang dan dahaga akan realitas transenden
tempat persemayaman iman kepada Sang empunya Jiwa dan Cinta ...