0
Malino di Titik Harmoni dan Ironi
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
7:47 AM
in
Refleksi
Gapura
tegak berdiri dihiasi sebuah kalimat sambutan “Malino Kota Bunga”, tak perlu
lama untuk menemukan jawaban, karena dara-dara cantik nan menawan adalah
bunga-bunga yang membuat para pengunjung akan merasa betah berlama-lama untuk
bereksplorasi. Penat dan panasnya udara kota Makassar sejenak hilang, berganti
udara dingin yang membuat kita terkadang harus menggigil sambil memeluk diri
sendiri, jajaran pohon-pohon pinus menyambut dengan penuh kesejukan, merekalah
yang masih setia memberi suplai kesegaran bagi nafas kehidupan manusia di kota
ini.
Malino
adalah kota kecil yang kerap menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah,
daerah ini selain terkenal dengan keindahan wisata alamnya, juga sering menjadi
tempat destinasi perundingan-perundingan politik hingga penyelesaian konflik.
Yah, kesejukan alam dan kesegaran udaranya senantiasa mendinginkan
emosi dan ego untuk menjernihkan pikiran dalam menyelesaikan berbagai
persoalan. Berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Anging Mammiri, sejak ratusan
tahun silam wilayah ini sudah menjadi destinasi para raja-raja dengan berbagai
macam hajat, persoalan-persoalan yang menyangkut kerajaan dan masyarakat banyak
menemukan titik terang di sini, perundingan-perundingan para raja juga sering
berlangsung di sini.
Pasca
deklarasi kemerdekaan Indonesia, tahun seribu 1946 belanda dengan sayap
Netherlands Indie Civil Administration (NICA) melakukan agresi militer ke-II
dan kembali berhasil menduduki wilayah timur Indonesia secara de facto dan de
jure, Malino kemudian menjadi tempat penyelenggaraan perundingan untuk membahas
rencana pembentukan Negara-negara federasi di daerah-daerah kawasan timur
Indonesia yang kita kenal sebagai Konferensi Malino, saat itu Gubernur Jendral
Hindia Belanda Van Mook menghadirkan 39 perwakilan dari 15 daerah dari
Kalimantan (Borneo) dan Timur besar (Sulawesi, Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara
dan Papua) yang merupakan cikal-bakal dari Republik Indonesia Serikat (RIS)
[1].
Masih
hangat di benak kita ketika mantan wakil presiden Republik Indonesia Yusuf
Kalla menjadi inisiator perjanjian damai dari konflik sosial-komunal yang
terjadi di Poso, Sulawesi tengah, Malino kembali menjadi tempat perundingan
yang akhirnya melahirkan butir-butir kesepakatan damai yang diwakili oleh
tokoh-tokoh masyarakat dari pihak yang berkonflik. Sebelumnya upaya
rekonsiliasi menemukan jalan terang ketika perundingan damai konflik Ambon juga
diselenggarakan di kota yang menjadi jalur utama bagi para
penggiat adventure, penyuka tantangan dan pecinta-pecinta pemandangan eksotik
lembah dan puncak gunung bawakaraeng ini. Malino berada pada sebuah titik
harmoni geografis-historis, maka tak heran banyak yang memilih tempat ini untuk
mengobati lelah aktifitas kerja, menyelami keintiman pasca nikah yang penuh
hikmad, meremajakan jalinan emosional keluarga, membangun keakraban
dalam komunitas, hingga mempererat relasi dengan kolega bisnis.
Betapa
Tuhan telah menjadikan bumi sebagai hamparan yang merupakan refleksi dari citra
keagungan-Nya. Malino adalah ikon negara dan bangsa yang harus senantiasa kita
jaga kelestarian alamnya, regulasi-regulasi tentang lingkungan hidup harus
mampu menjadi tameng dari syahwat eksploitasi yang tak terkontrol, kita telah
cukup banyak menyaksikan ironi kerusakan alam yang membuat kita tak lagi mampu
berjumpa dengan ragam jenis flora dan fauna yang telah melewati ambang
kepunahan, tentunya kita tak ingin eksistensi kita hanya mampu dijangkau
melalui fosil-fosil sejarah oleh generasi-generasi beberapa puluh hingga ratus
tahun yang akan datang, karena kita tak lagi mampu bersahabat dengan alam.
Ada
angin semilir
Ada
sungai mengalir
Ada
pohon-pohon menjulang dengan rimbun daun menari
Dan
laut, gunung, planet-planet yang tak pernah bergeming, senantiasa bertasbih,
mendeklamasikan kebesaran & keagungan-Nya.
"
Catatan Ketika Menjumpai Malino "
[1]
Sumber : Wikipedia