Sejarah
Ber-PMII
Bukan
hal yang sepele menyebut diri seorang kader, meski banyak yang akan bersenang
hati menganggapnya sebagai identitas yang prestisius, namun dengan sedikit
menelisik lebih dalam berbagai definisi-definisi yang ada, maka mencoba
memaknainya dengan pendekatan yang lebih subtansial bukanlah hal yang lancang,
karena menurut saya kata tersebut bukan hanya untuk gelaran identitas seseorang
sebagai bagian dari sebuah lembaga secara administratif-struktural, tetapi
lebih kepada gelaran identitas untuk mereka yang senantiasa berkontribusi aktif
membangun, mengembangkan, dan memajukan sebuah organisasi dengan kesadaran
pengabdian yang tinggi, maka kader lebih kepada gelaran identitas untuk
kualitas bukan sekedar formalitas kelembagaan, maka menyebut diri sebagai
seorang kader dari sebuah organisasi memiliki beban moril dan tanggung jawab
intelektual dalam aksi yang nyata, berdasarkan diskursus tersebut maka aku tak
tahu pasti apakah aku termasuk kader PMII dalam makna yang subtantif atau hanya
dalam kaedah administratif.
Kurang
lebih dua tahun aku mengemban identitas sebagai kader salah satu organisasi
mahasiswa terbesar di Indonesia ini (PMII), alasan awal ketika memilih PMII
memang dilandasi oleh adanya kesamaan ideologi yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah
yang menjadi pondasi bangunan organisasi ini, sehingga ketika kuberanjak
menjadi seorang mahasiswa tak perlu berpusing-pusing untuk menentukan
organisasi apa yang akan menjadi wadah mengembangkan kualitas kedirianku,
mengingat masih mengakarnya dokmatisasi pesantren yang juga menganut faham Ahlu
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang kemudian membentuk mentalitas dan nalar muda
sebagai tempatku menyemai potensi diri, maka sebelum menjadi anggota pun
kedekatan kultural dan spiritual telah menjadi magnet tersendiri yang akhirnya
menyatukan aku sebagai seorang individu dengan PMII sebagai sebuah organisasi
besar.
Memang
dalam banyak kasus mereka yang bergabung di PMII awalnya karena faktor biologis
dan dogmatis, ada karena dorongan orang tua atau anggota keluarga yang juga
kader PMII atau seorang warga nahdliyyin (warga NU), ada karena keterikatan
ideologis dengan almamater tempat ia pernah menimba ilmu yang berpaham Aswajah
atau merupakan lembaga pendidikan di bawah naungan Nahdlatul Ulama, ada juga
karena faktor kultural, misalnya dalam hal cara pandang dan praktek keagamaan
(Tahlilan, barazanji, yasinan dsb) yang merupakan tradisi keagamaan yang selama
ini dilestarikan oleh PMII, sehingga mereka merasa tidak asing dengan PMII,
bahkan ada pula yang tidak memiliki kedekatan secara biologis, dogmatis, maupun
kultural dengan PMII tetapi memiliki spirit perjuangan yang merupakan ruh
ber-PMII, sehingga memutuskan untuk menjadikan PMII sebagai wadah yang akan
menentukan keberhidupan intelektualitas dan spiritualitasnya. Uniknya ada
mahasiswa yang bergabung di PMII hanya karena mengikuti ajakan teman untuk
menghadiri kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), ada yang karena
ingin membahagiakan dan tak ingin menyakiti hati senior karena menolak
ajakannya, hingga yang hanya terpaksa ikut karena ancaman dan tendensi
seniornya pula. Berbagai hal dan faktor pendorong tersebut hanya merupakan
media dalam strategi dan tradisi kaderisasi yang selama ini dibangun, walaupun
kualitas spirit bergabung di PMII akan mempengaruhi proses indoktrinasi dan
ideologisasi, namun yang paling menentukan kualitas dan eksistensi seorang
kader adalah proses ber-PMII yang akan menjadi corong seleksi dimana akan
menentukan siapa yang telah siap dan memang belum siap untuk terlibat dalam
proses pendewasaan nalar dan mental serta siapa yang akan menjadi pejuang dan
siapa yang menjadi pecundang, sehingga tak dapat dipungkiri tidak semua yang
pernah mengucap bai’at (sumpah) untuk mengabdikan diri kepada PMII tetap dalam
konsistensinya untuk terlibat aktif dalam setiap agenda gerakan, ada yang sibuk
dengan dunia akademik di bangku perkuliahan, ada yang terlena dengan dunia
romantisme sebagai kaum muda, dan ada pula yang larut dalam candu hedonisme
metropolitan, semua itu terjadi bukan semata-mata karena adanya human
error, tetapi karena adanya pola yang perlu dibenahi dalam proses kaderisasi
dan membuat setiap agenda organisasi memiliki daya tarik, sehingga mereka tak
lagi merasa sebagai orang-orang yang terasing dari komunitas, tetapi sebagai
bagian dari lembaga yang juga memiliki peran strategis, maka dengan kesadaran
diri mereka akan senantiasa aktif dalam berbagai agenda dan kerja organisasi.
Menyoal
Struktur dan Kultur
Tanggal
17 april 2012 kemarin PMII telah menginjak usia 52 tahun, dalam usia yang tidak
lagi muda, PMII tentunya banyak merekam jejak perjalanan sejarah dengan juga
terlibat aktif dalam pergulatan sosial dan keagamaan, meretas gagasan
kebangsaan serta berperan nyata dalam berbagai agenda gerakan perlawanan dan
kemanusiaan, namun berbagai problem internal bukan hal yang luput dari
organisasi yang berbendera biru-kuning ini, disiorientasi struktur maupun
kultur yang terjadi belakangan ini menjadi salah satu ancaman terbesar yang
akan meronrong eksistensi organsasi, polemik yang terjadi dalam struktur
organisasi dapat dilihat dari kurangnya perhatian pengurus besar (PB) terhadap
nasib para pengurus yang bergerak di akar rumput (Grass root) mulai
dari Rayon, Komisariat hingga Cabang yang merupakan ring utama kaderisasi,
padahal sejatinya pengembangan sumberdaya kader harusnya mendapat perhatian
lebih pada wilayah strategis tersebut karena hal itu merupakan salah satu
strategi gerakan pencerdasan nalar dan pembentukan mentalitas kader, hal lain
yang juga sangat memprihatinkan yaitu berkisar pada wilayah yang sangat rawan
dengan aroma politik praktis, hal itu sangat terlihat saat Kongres ke-17 PMII
di Banjarmasin bulan april 2011 yang lalu, arena kongres layaknya panggung
politik yang menginjak-injak idealisme yang selama ini diteriakkan dalam
forum-forum kaderisasi, bahwa berpolitik dalam perspektif PMII adalah
menjunjung tinggi nilai kejujuran dan sportifitas serta menghindari pragmatisme
politik (misalnya politik uang), ada yang mengindikasikan bahwa dibalik
pertarungan memperebutkan kursi ketua PB PMII ada beberapa pihak yang menggandeng
partai politik sebagai penyuplai dana untuk pemenangan salah satu calon, tidak
sedikit yang menganggap hal ini sebagai sebuah dinamika berorganisasi yang
wajar terjadi, maka ketika itu benar maka robeklah bendera indepedensi dan
rusaklah tatanan idealisme yang selama ini dibangun dan berusaha dipertahankan,
karena keyakinan bahwa PMII tidak ingin melahirkan kader yang haus jabatan dan
kuasa, tetapi kader yang haus akan keadilan dan rasa kemanusiaan yang dijunjung
tinggi.
Persoalan
kultural yang melanda PMII juga menjadi salah satu faktor terjadinya kemandegan
dalam gerak roda organisasi, suasana keilmuan dan nuansa religiuitas mulai
memudar seiring terjadinya pergeseran orientasi dalam pola kaderisasi, tradisi
intelektual seperti membaca, kajian dan diskusi merupakan hal yang langka saat
ini, kondisi yang sama juga melanda tradisi keagamaan yang sepi ummat, praktek
keagamaan islam tradisional seperti yasinan dan barazanji yang selama ini
menjadi identitas beragama ala PMII, kini hanya menjadi tema perdebatan dalam
forum-forum diskusi keislaman, sehingga zikir, pikir dan amal shaleh hanya
sebentuk idealitas dengan manifestasi kosong, padahal kita semua menyepakati
dan mengiyakan bahwa PMII adalah organisasi kader yang bergerak dalam
pengembangan intelektualitas, spiritualitas dan harakah (gerak), bukan
organisasi massa yang bergerak pada wilayah politik praktis yang hanya
mementingkan kuantitas dan bukan kualitas, sehingga yang menjadi orientasi
gerak adalah bagaimana mengorganisasi sebanyak mungkin orang untuk kepentingan
menduduki posisi dan jabatan politik dan merebut kuasa. Ketika kondisi kultural
ini tidak segera direformasi maka yakin dan percaya kita (anggota & kader
PMII) sedang bergerak atau tepatnya digerakkan untuk mengikuti arus perebutan kuasa
yang digalakkan oleh para elit politik dengan hegemoni materinya.
Hal
ini mungkin tidak merepresentasi kondisi semua kader PMII di setiap level dan
di semua cabang di Indonesia karena memang apa yang tertulis di sini merupakan
apa yang teralami secara pribadi dan tentunya sangat subyektif, mungkin ini
hanyalah spekulasi tak ilmiah yang berusaha diungkap oleh seorang kader yang
rindu akan suasana sebuah rumah gerakan bernama PMII yang menurut cerita kaya
dengan nuansa religiuitas dan suasana keilmuan, sehingga setiap penghuninya
akan senantiasa tercerahkan.
Manifestasi
Nalar dan Mental dalam Gerak
Restrukturisasi
merupakan tahapan awal perbaikan sistem organisasi yang sangat vital, karena
struktur merupakan kemudi yang akan menentukan kemana organisasi ini akan
diarahkan, kemudian reinternalisasi kultur ber-PMII, sehingga proses
pengkaderan mulai dari tingkatan paling dasar (MAPABA) bukan sekedar media
perekrutan massa untuk tujuan politik, hal ini bukan berarti PMII harus
bersikap apolitik tetapi bagaimana orientasi pengkaderan adalah untuk agenda
penyadaran bahwa menjadi mahasiswa berarti siap mengemban tanggung jawab
intelektual untuk kemaslahatan, sedangkan berpolitik adalah salah satu sarana
aktualisasi diri dengan tetap menjunjung tinggi nila-nilai pergerakan yang
selama ini diperjuangkan. Maka setelah MAPABA akan di follow up dengan
kesibukan membaca, kajian dan diskusi seputar tema-tema strategis untuk
membentuk kerangka berfikir dan epistemologi, memperluas wawasan dan cakrawala
pengetahuan, membangun mentalitas dan kepekaan sosial, serta mengembangkan
skill kreatif dan inovatif, ketika proses-proses ini dapat terus dikawal, semua
itu akan menjadi bukti nyata sebuah proses kaderisasi yang akan melahirkan
eksponen-eksponen gerakan yang cerdas dan bermental pejuang.
Setelah
beberapa lama berproses dalam ritus membaca buku serta aktif dalam kajian dan
diskusi ala PMII dengan konsumsi seputar tema-tema keagamaan, sejarah,
filsafat, sosial, budaya, ekonomi dan politik perlahan akan nampak lompatan
kecerdasan yang nyata, Semua itu merupakan stimulus yang sangat mempengaruhi
kemajuan intelektualitas kader, karena mengetahui dan memahami masalah
akan membimbing kita dalam menentukan langkah dan arah gerakan. Salah
satu prinsip berorganisasi yang harus dipegang teguh oleh semua kader adalah
bahwa ber-PMII bukan hanya sekedar menjadi bagian dari PMII secara
kultural maupun struktural tetapi bagaimana memberi segala daya untuk
mengembangkan dan memajukan organisasi, salah satunya dengan menyeimbangkan
kualitas nalar dan kolektifitas gerak dengan setia mengawal setiap isu-isu
strategis, serta peka terhadap berbagai realitas sosial yang terjadi, sehingga
organisasi ini akan senantiasa kaya dengan karya dan kuat secara struktur
maupun kultur.
Semua
hal itu merupakan konsepsi yang murni lahir dari kegelisahan karena melihat realitas
PMII hari ini, dan mungkin juga dialami oleh sahabat/wati yang masih memiliki
ruh gerakan, idealitas yang kita miliki untuk memajukan organisasi dan
membumikan kebesaran PMII adalah modal terbesar untuk sama-sama memulai gerak
dalam menghidupkan kembali proses beramal shaleh sebagai manifestasi dari zikir
dan pikir kita sebagai seorang kader.