0
Sekolah Tanpa Batas
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
3:22 PM
in
Opini
Memaknai
Sekolah
Tahu tidak bahwa dulu
pada awal sejarahnya, sekolah adalah taman pendidikan yang luas dan terbuka,
sekolah yang dalam bahasa Yunani berarti waktu luang (scholae) dibentuk untuk
menjadi sarana belajar sejumlah siswa, untuk mendpat pendidikan lebih di
samping pendidikan yang di berikan ke dua orang tua mereka. Sekolah pada fase
itu dalam imaji penulis adalah sekolah tanpa beban dan tekanan, sekolah yang
membahagiakan sekaligus mendorong peserta didiknya untuk berangan dan bermimpi
tentang kehidupan yang mereka cita-citakan.
Di era sekarang, ketika
mendengar kata “sekolah” fikiran kita akan langsung tertuju pada deretan
bangunan yang berisi meja dan kursi, papan tulis dan perangkat-perangkat pembelajaran
lainnya. Sejak mengenal dunia sekolah, kita mulai berteman dengan huruf,
angka-angka, teori hingga tumpukan kertas dan buku-buku, sekolah mengkondisikan
kita untuk mencintai itu semua, atau paling tidak “memaksa’ kita untuk mau
sekedar tahu (to know), kemudian mendorong kita untuk mau memahami (to
understand). Mereka yang bersekolah pelan tapi pasti akan mulai diusik oleh
berbagai tuntutan akan prestasi, keberhasilan dan kesuksesan, tentunya dengan
menggunakan definisi yang di anut oleh sekolah selama ini.
Saat ini dalam dunia
pendidikan formal kita, institusi pendidikan bernama sekolah mulai dibentuk
dari tingkat usia dini (PAUD), hal itu berangkat dari obsesi besar dunia
pendidikan kita untuk merancang generasi terpelajar dan terdidik sejak usia
dini, generasi yang dicita-citakan menjadi penerus bangsa di masa depan, oleh
karenanya sekolah seolah menjadi yang paling bertanggungjawab untuk mengisi
setiap detil dari entitas kemanusiaan seorang yang mengenyam bangku
persekolahan. Sayangnya kerapkali hal itu berlangsung dalam relasi
dominasi-subordinasi, para peserta didik seringkali didikte untuk meminati
berbagai macam judul-judulan pengetahuan dan keterampilan, walaupun naluri dan keinginan
mereka tak menunjukkan ke arah yang dimaksud oleh si pemegang otoritas (guru
sebagai pelaksana kurikulum dan pemerintah sebagai pembuat kurikulum
pendidikan).
Padahal sejatinya siswa
haruslah diajak untuk memahami potensi yang mereka miliki, membina, membimbing
dan mengarahkan mereka untuk mengembangkan potensi tersebut, dimana ketika
proses yang terjalin antara guru-murid menciptakan komunikasi dan interaksi
yang efektif serta relasi yang positif, lambat laun merekapun akan menyukai dan
mencintai proses yang sedang dan mereka lalui. Yah, suka dan cinta menjadi
capaian tertinggi bagi mereka yang ingin menikmati proses dalam makna yang seluas-luasnya, karena
setiap proses tanpa dilandasi suka dan cinta, seringkali hanya menghasilkan
susah-payah, beruntung jika tidak berakhir dengan kegagalan. Penting mengajarkan
para siswa untuk menghargai dan mencintai proses, tidak melulu terpaku pada
hasil, sehingga siswa akan belajar memaknai kegagalan sebagai bagian dari
proses, bukan akhir yang membuatnya patah semangat bahkan putus asa. Memberi
keyakinan kepada mereka agar tidak melihat semua yang terjadi hanya sebagai
hasil, tetapi sebagai akumulasi dari proses yang mungkin belum selesai.
Sekolah seharusnya
menjadi miniatur kehidupan, dimana mereka yang mengenyam pendidikan di sana
dapat merasakan kehadiran dirinya di tengah-tengah alam semesta dan beraneka
rupa realitas kehidupan ummat manusia, proses belajar tidak hanya terpenjara
dalam teks yang termaktub dalam kitab-kitab pelajaran, lebih jauh para pendidik
mengantar para siswa untuk melihat kehidupan (realitas) secara lebih utuh dan
dalam, proses belajar tidak berhenti pada seeking
knowledge (mencari pengetahuan) tetapi lebih jauh pada seeking meaning (mencari makna) dan bulding self skill (membangun keterampilan diri) agar generasi
sekolah dapat belajar memaknai kehidupan berikut segala hal yang terjadi di
sekitarnya, serta memiliki kompetensi diri agar mampu bersaing dalam kompetisi
yang semakin ketat saat memasuki dunia kerja. Semua idealitas itu menuntut adanya
suprastruktur dan infrasttuktur pendidikan yang baik dan tersedianya tenaga
pendidik yang cerdas, kreatif dan imajinatif, serta memiliki kapasitas
multidimensi, tidak terbatas hanya pada subjek (pelajaran) yang diajarkannya.
Nalar
Ruang
Di era keterbukaan
informasi saat sekarang ini, akses informasi dan pengetahuan tidak hanya didapatkan
melalui pendidikan di bangku sekolah, internet dengan berbagai macam fasilitas
yang disajikan, menjadi sebuah ruang virtual yang terkadang lebih berperan
signifikan dalam membentuk kesadaran siswa, ditambah televisi yang telah menjadi sebuah dunia dimana referensi hidup banyak
ditayangkan di sana, bahkan ia telah menjadi sebuah ruang pendidikan
yang menyajikan banyak
pelajaran kepada masyarakat, tak terkecuali mereka yang masih berstatus “anak
sekolah” dalam bebagai tingkatan, walaupun apa yang disajikan seringkali tak
mengandung makna dan nilai edukasi.
Peran strategis guru sebagai
pendidik di sekolah sebenarnya sedikit terbantu oleh berbagai media informasi
tersebut, hanya saja media informasi seringkali hanya mentransfer informasi dan
pengetahuan (knowledge), tanpa
melakukan transfer nilai (value),
baik nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama, maupun nilai-nlai yang berasal
dari kebudayaan lokal masyarakat. Sehingga peran seorang pendidik menjadi
sangat penting utamanya dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai luhur untuk
membentuk generasi yang berkarakter dan bermoral serta memiliki tata etika yang
baik dalam interaksi sosialnya.
Sejatinya ruang lebih
jauh mencakup bagian terdalam dari alam semesta dan dimensi kemanusiaan kita,
tidak hanya semata pada pemaknaan spasial yang dibatasi oleh kaedah-kaedah
materil, dinding dan tembok yang megah berdiri. Ruang bukan hanya mencakup
dimensi yang mampu kita indrai, tetapi lebih dalam melampau batas-batas fisik
dimana pengetahuan, makna dan kesejatian (hakikat) bersemayam. Perjalanan
seorang pembelajar adalah pencarian makna-makna dibalik realitas, oleh karena
itu semakin banyak kita menjumpai realitas, semakin kita memiliki cara pandang yang terbuka dan
wawasan yang luas, sehingga memungkinkan kita untuk menjangkau realitas di
balik realitas (kebenaran hakiki), karena tak semua yang meiliki pengetahuan
mampu mencapai level tersebut, seperti yang diisyaratkan ungkapan “many have eyes but can not see” (banyak
yang memiliki mata, tetapi tak mampu melihat).
Seorang terpelajar
bukanlah mereka yang hanya menghabiskan waktu di dunia sempit bernama “sekolah”
dan terjebak dalam nalar ruang yang kerapkali membatasi cara pandang
(paradigma), berjibaku dengan waktu untuk mengejar angka-angka indeks prestasi
kumulatif sesempurna mungkin, giat mengerjakan tugas, menghadiri
seminar-seminar dan mengerjakan soal-soal ujian secara cermat kemudian tiba di
garis finish dengan prestasi cumlaude.
Seorang terpelajar adalah mereka yang juga memiliki keyakinan yang kuat,
moralitas yang baik, peka terhadap realitas dan memahami apa yang terjadi di
sekitarnya, bahkan sebisa mungkin terlibat dalam membela kepentingan masyarakat
dan memperjuangkan hak-hak kaum marginal dan tertindas (mustadh’afin), inilah
yang kemudian dalam istilah Ali Syariati disebut rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) atau dalam
terminologi Antonio Gramsci sebagai intelektual organik dan dalam bahasa
Al-quran diistilahkan sebagai insan Ulul Albab, itulah tingkatan kualitas
tertinggi bagi seorang manusia terdidik.
Sekolah tidaklah
terbatas pada tempat dengan gedung-gedung yang biasanya hanya memberi proporsi
sedikit untuk taman dan halaman sebagai refleksi mini dari alam, dimana kantor dan ruang guru terpisah dengan
ruang kelas dimana siswa belajar. Ruang belajar yang berisi bangku, papan
tulis, dan fasilitas audio visual, juga terdapat bangunan tempat ibadah, perpustakaan
, ruang laboratorium, lapangan olahraga (sport
center) hingga ruang pengembangan kraetifitas. Semua deskripsi itu mungkin hanya dijumpai di sekolah-sekolah
berkelas (elit), dimana realitas yang jauh berbeda akan kita jumpai di wilayah-wilayah
yang jauh dari akses kemajuan dan pembangunan, apalagi di daerah tertinggal dan
terisolir, begitulah wajah pendidikan di negeri kita, penuh distingsi dan
disparitas atas nama statifikasi sosial dan ekonomi, tanpa perlu menyebut satu
per satu segala kekurangan yang ada.
Sekolah lebih luas dari
sekedar berbicara soal ruang yang dibatasi oleh identitas ‘’bersekolah”, dalam
makan yang terbatas, karena itu hanya berlaku bagi sekolah dalam dunia
pendidikan formal. Sama halnya dengan guru, guru sejatinya bukanlah identitas
ekslusif milik para pendidik dan pengajar bersertifikat yang mengadikan diri di
sekolah-sekolah formal, guru adalah gelar bagi siapa saja yang mampu memberikan
pengetahuan, pemahaman dan pencerahan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kita akan senantiasa menemukan sekolah dan guru dimanapun kita memijakkan kaki
di bumi ini. Sebagaimana adagium “everyone
is a teacher and every place is a school” (semua orang adalah guru, dan
setiap tempat adalah sekolah).