0
Di Balik English
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
10:00 AM
in
Opini
Hidup
yang tidak terperiksa secara filosofis, adalah hidup yang tak pantas untuk
dijalani (Aristoteles)
Sudah
menjadi mafhum bagi banyak orang bahwa era dimana kita hidup hari ini menuntut
adanya kualifikasi-kualifikasi dasar yang harus dimiliki untuk tak ketinggalan
oleh derasnya arus perubahan. Satu yang sering disebut adalah pengetahuan dan
kompetensi/skill yang merupakan penyumbang terbesar kemajuan peradaban. Di
era globalisasi dimana interaksi dan transformasi sosial, ekonomi, politik,
budaya begitu sangat massif, maka berbekal kemampuan berbahasa asing merupakan
sebuah nilai tawar tersendiri untuk turut ambil bagian dalam
segmentasi-segmentasi perubahan yang strategis. Lalu muncullah bahasa Inggris
sebagai bahasa komunikasi dunia (international language) urutan
nomor wahid, hal itu menjadi wajar mengingat Inggris merupakan negara yang
banyak memiliki wilayah-wilayah koloni yang tersebar di hampir seluruh penjuru
dunia hingga pertengahan abad ke-20, sebut saja negara adidaya Amerika Serikat,
negara-benua Australia, India, dan negara tetangga kita Malaisya.
Yah,
bahasa Inggris adalah warisan kolonialisme yang masih lestari sampai hari ini
dan justru dipuja karena nllai prestigenya yang tinggi, hal itu terjadi
karena setiap kekuasaan apalagi penjajahan akan meninggalkan warisan hegemoni
yang terkadang tak teridentifikasi karena sekian masa telah mewarnai kehidupan
masyarakat yang dijajah. Namun apakah kita akan menggunakan landasan
dendam-traumatik itu untuk tak mempelajari bahasa Inggris hingga kemudian
begitu alergi terhadapnya? Atau kita justru menjadi manusia ahistoris
yang begitu mengagung-agungkan bahasa Inggris sebagai bahasa kehidupan, dan
melupakan bahasa lokal dan bahasa nasional kita?
Tak
dapat dipungkiri modernisme telah menggeser paradigma masyarakat terhadap
berbagai aspek kehidupan, termasuk didalamnya paradigma tentang bahasa Inggris,
ketika dulu sebagian masyarakat kita memandang bahasa Inggris sebagai bahasa
penjajah yang haram dipelajari, maka hari ini belajar bahasa Inggris merupakan
sebuah kemuliaan yang fardhu. kita tidak bisa menutup mata betapa bahasa
Inggris telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dunia karena
menjadi bahasa komunikasi Internasional sehingga interaksi manusia tak
lagi dibatasi oleh bahasa antar bangsa yang berbeda. Dalam banyak
kosakata-kosakata kitapun sering meminjam istilah-istilah berbahasa Inggris
(bahasa serapan). Namun menjadi meperihatinkan ketika kita mempelajari bahasa
Inggris hanya sebagai ilmu murni tanpa ada kepentingan nilai dibaliknya. Karena
ternyata bangsa Inggris mengajarkan bahasanya kepada para pribumi di
wilayah-wilayah koloninya atas kepentingan besar dimana hari ini bahasa Inggris
menjadi bahasa yang semakin membumi.
Berbagai
fenomena kecenderungan medernitas ala barat, menjadi sebuah hal yang berpotensi
mengusik eksistensi nasional dan lokalitas kita, dimana budaya barat menjadi
begitu diidolakan dan seolah-olah memiliki maqam lebih tinggi dari
budaya bangsa kita, bahasa Inggris tentunya memiliki andil sebagai alat
informasi transnasional dimana ia telah diajarkan secara merata dihampir
seluruh pelosok negeri mulai tingkat seragam merah-putih. Bahkan hari ini
bisnis English menjadi salah satu ladang ekspansi capital yang murni
memegang teguh profit oriented, lalu menjamurlah berbagai lembaga
pendidikan non-formal yang menjajakan English dengan harga selangit yag seolah
memberi image bahwa English hanya untuk kalangan berduit,
mungkin paradoks dengan apa yang teman-teman saksikan di Pare-Kediri dimana
bahasa Inggris menjadi begitu accessible bagi siapa saja.
Maka
pertanyaan mengapa kita harus belajar bahasa Inggris? Menjadi sangat penting
agar kita tidak menjadi orang-orang yang berfisik oriental (ketimuran) namun
memiliki kecenderungan dan mentalitas oksidental (kebaratan), yang lebih parah
ketika kita tidak lagi mensyukuri kodrat fisik dan rasial yang telah Tuhan
anugerahkan dan berusaha membaratkannya hanya sekali lagi karena begitu
membebek atas apa yang barat tawarkan.
Bahasa
Inggris masih menjadi foreign language (bahasa asing) sehingga
di dunia pendidikan formal ia diajarkan dengan sangat asing, beda halnya dengan
negara yang telah menjadikan bahasa Inggris sebagai secondary language (bahasa
kedua) seperti malaisya, sehingga ia diajarkan dengan sangat akrab, namun itu
tak menjadi soal selama kita mengetahui proporsi bahasa Inggris sebagai alat
komunikasi dan mempelajari bahasa Inggris dengan tetap menjadi Indonesian dan
diri lokal kita sebagai sebuah identitas kultural yang menjadi organ kehidupan.
Karena mempelajari bahasa Inggris erat kaitannya dengan mempelajari barat
dengan berbagai warna dan sendinya dengan tidak turut menjadi terbaratkan.
Because
English is not everything, maka
mempelajarinya bukan semata-mata untuk tahu dan bisa tetapi juga untuk
memperjuangkan kemaslahatan dan keadilan dengan pengetahuan yang luas,
karena bahasa Inggris merupakan alat eksplorasi khazanah-khazanah keilmuan
modern yang banyak tersebar di negara-negara barat, dan menjadi kewajiban kita
dengan kemampuan bahasa Inggris untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa
Indonesia agar mampu dinikmati oleh banyak orang.