0
Aksara Romantika
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
11:04 PM
in
Filsafat
Inilah
lembar penuh tanda dan kata, mencoba berwacana tentang romantika dengan bahasa
yang mungkin sedikit lebay, dan pesan yang mungkin tak sampai. Yah,
maklumi saja, karena memang sang penulis bukanlah orang yang pandai merangkai.
Sungguh tulisan ini hanya bermodalkan keberanian, dengan secuil pengetahuan,
kedangkalan pemahaman, dan kelemahan intuisi, dengan sedikit intrik pengalaman
pribadi.
Ini
tentang sesuatu yang mungkin tak kita mengerti adanya, yang membuat kita
bertanya-tanya, dan memang aneh selayaknya, hingga terkadang kita ragukan
kebenarannya, karena mungkin kita yang tak sepantasnya. Sesuatu itu
bernama Romantika, yang terkadang tak mampu dijangkau oleh logika, karena ia
bersemayam dalam kerumitan yang niscaya, maka biarlah subyektifitas berbicara.
Setiap
manusia memiliki rasa dengan potensi suka dan cinta. Suka tidaklah berarti
cinta, karena masing-masing memiliki tingkat totalitas rasa yang berbeda. Suka
merupakan kecenderungan rasa terhadap sesuatu yang lahir secara alamiah,
sedangkan Cinta merupakan akumulasi rasa suka yang telah mengkristal
sedemikian rupa, ia bersifat naluriah, tak dapat direkayasa, apa lagi dipaksa.
Menjelaskan
cinta secara teoritis adalah sebuah kegilaan, karena cinta masuk dalam kategori
sesuatu yang tak terjelaskan (unexplainable), sungguhpun ada yang mampu
berteori tentang cinta, itu hanya sekedar usaha nekat yang entah akan menemui
penerimaan atau malah gugatan-penolakan. Bagi mereka yang mungkin tak percaya
akan existnya Cinta, akan menganggap hal itu sebagai sebuah prasangka,
dugaan belaka, dan spekulasi semata. Tetapi bagi mereka sang pecinta, cinta
merupakan kebenaran yang tak terelakkan, dengan klaim bahwa karena cinta ada
maka segala sesuatu itu ada (Causality).
Berbicara
tentang cinta, maka kita akan memasuki sebuah dimensi kehidupan yang sangat
dramatis, ia telah banyak menelan korban raga dan jiwa, karena
banyak yang rela terjatuh karena cinta, mabuk karena cinta, diperbudak oleh
cinta, bahkan ada yang rela dan harus mati demi cinta. Sebenanya tidak ada yang
salah dengan cinta, yang banyak terjadi adalah kesalahan dalam mencinta. Ada
yang mendeklarasikan cinta karena motif nafsu belaka, ada yang
mendeklamasikan cinta karena motif materi semata, serta adapula yang mengaku
cinta karena cinta telah benar-benar memenuhi rongga rasa dalam
dirinya.
Harus
berkata apa lagi, huruf-huruf tak lagi mampu menjelma kata, karena apa yang
bernama rasa adalah entitas tak terdefinisi. Sesungguhnya kata tak sepenuhnya
dapat memanifestasikan rasa, hanya mampu sebatas merepresentasi dengan sedikit
sentuhan-sentuhan estetis, dan polesan retoris.
Maka
ketika beranjak menuju sebuah konklusi rasa, logika perlu mengambil tempat
untuk mengeksplorasi lebih jauh dan dalam, karena terkadang ungkapan rasa
hanyalah bualan penuh dusta, meminjam makna-makna yang menggetarkan dada, bak
jelata mengharap derma.
Ekstasi
cinta kadang menimpa mereka yang begitu menghamba kepada cita, bahagia, dan
suka. Dalam kedangkalan analisa mereka larut dalam euforia penuh
absurditas. Mengharukan memang, karena cinta akan menguras segenap energi rasa
dengan begitu polos, sehingga terkadang kita akan terbawa kedalam sebuah
kondisi penuh dilema. Hingga akhirnya ketika cinta ternyata tak lagi mampu
mencipta suasana hikmad, kita akan mudah mengidap ambivalensi, bahkan rentan
mengalami kegalauan. Galau merupakan kondisi dimana jiwa dan pikiran berada
diambang ketidakpastian, karena ego, emosi, dan rasa telah saling tumpang
tindih, sehingga kestabilan psikis menjadi tertanggu.
Oleh
karena fitrah manusia senantiasa ingin dicinta, maka Tuhan telah menganugerahi
kita dengan segenap potensi kepekaan, agar mampu menangkap sasmita bahwa
dimensi rasa ibarat sebuah panggung orkestra, dimana lantunan nada dan lirik
akan membentuk sebuah estetika suara yang membahana, mengundang decak kagum dan
takjub.
Kata
merupakan satu variabel yang mungkin mampu memediasi rasa dan merefleksikan
citra, sebelum sampai pada titik kulminasi dimana magma cinta tak lagi mampu
membendung hasrat untuk memiliki dia yang dicinta, karena memendam hanya akan
menyengsarakan jiwa.
Mencintai
adalah sebuah ritus hidup yang sakral, jangan biarkan ia ternoda oleh
profanitas nafsu sesat dan sesaat, hingga hanya akan menjadi epos sejarah yang
kusam penuh bercak hitam, cerita cinta tak perlu didramatisir layaknya kisah
laila-majenun atau romeo dan juliet, meskipun keduanya mewakili drama cinta
dari timur dan barat. Cinta bukan untuk berakhir air mata duka, tetapi untuk
membawa suka dan cita dalam hikmad ibadah hidup, memaknai cinta sebagai sebuah
entitas illahiah akan mengantarkan kita pada kesadaran bahwa cinta hanya berhak
dialamatkan kepada Dia Sang pemilik cinta, yang akan senantiasa memberi cinta
kepada para hamba-Nya yang melakukan aktivitas, rutinitas, ritualitas dan
aktualitas diri hanya karena dalih Cinta. Maka biarkan cinta menjadi alasan
mengapa kita harus hidup dan mati, karena cinta adalah aksara Tuhan yang
bersemayam di lauhul mahfudz, hanya mampu terjamah oleh cakrawala mahabbah,
hakikat, dan ma’rifah.