0
Belajar Berfilsafat
Posted by Fadhlan L Nasurung
on
2:42 AM
in
Filsafat
Kadang sebuah
kontemplasi akan melahirkan spekulasi-spekulasi terhadap berbagai hal,
menghadirkan diri dalam sebuah prasangka, atau membawa diri menuju
dugaan-dugaan yang polos, tak jarang kita menjadi pesimistik, semua itu ngawur
dan tidak ilmiah, lalu kita mulai menzholimi diri dengan menganggap adalah hal
yang lancang ketika berani berfikir tanpa pengetahuan yang super. Padahal
secara sadar atau tidak sadar pada saat itu kita telah membebaskan nalar kita
untuk menjelajahi cakrawala imajinasi yang luas tanpa harus diperhadapkan pada
batasan-batasan atau defenisi-definisi logis-ilmiah dan kawan-kawannya. Dan
tanpa sadar pula pada saat itu sebenarnya kita sedang berfilsafat.
Manusia
: Mahluk yang Berfilsafat
Banyak orang yang
mengklaim bahwa berfilsafat adalah sebuah aktifitas eksklusif milik para
pemikir kelas tertentu, berfilsafat adalah aktifitas dari kerja otak yang
sangat melelahkan dan menyita waktu. sehingga jurusan filsafat di hampir
seluruh universitas swasta ataupun negri di Indonesia adalah jurusan yang
paling sepi peserta didik. Bahkan banyak mahasiswa yang sebisa mungkin
akan menghindari mata kuliah filsafat karena dihantui momok stereotipe
terhadap filsafat. Secara sederhana berfikir berarti berfilsafat, meskipun
dalam perkembangannya berfilsafat lebih dimaknai sebagai sebuah proses berfikir
yang rasional, kritis, radikal dan sistematis. namun menyederhanakan pengertian
filsafat adalah sesuatu hal yang perlu untuk menghindari esklusifitasnya. Jadi
semua orang sebenarnya selalu berfilsafat dalam kualitas yang berbeda-beda,
sehingga mengatakan bahwa semua manusia adalah filsuf bukanlah argumentasi
bohong, kecuali bagi mereka yang tidak mau mendayahgunakan dan memaksimalkan
potensi akal yang jauh lebih unggul dari kecanggihan teknologi manapun di abad
millenium ini. Hanya saja mereka yang meiliki pemikiran atau ide yang luar
biasalah yang berhasil mencatatkan namanya dalam deretan pemikir-pemikir
(Filsuf) yang sampai hari ini karya-karyanya masih menjadi bahan bacaan dan
pembelajaran sebagai referensi pengetahuan di berbagai belahan jagat.
Socrates pernah
menghadirkan sebuah konsep atau lebih tepatnya proyek pengetahuan tentang logos
dan mitos, logos dimaknai sebagai pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan
dapat dibuktikan secara ilmiah, sedangkan mitos hanya berupa
kepercayaan-kepercayaan yang distigmatisasi tidak rasional dan tidak dapat
dibuktikan melalui pendekatan ilmiah. Sebagai bapak filsafat Socrates tentunya
memahami betul konstalasi dunia pemikiran pada saat itu, sehingga dia bisa saja
mencipta konsepsi-konsepsi sesuai dengan kecenderungan nalarnya. Melihat
konteks Indonesia dengan lokalitas-lokalitas kultural yang plural, menggunakan
konsepsi tersebut akan menggusur kekayaan nalar lokal yang merupakan identitas
diri masing-masing empunya, Mengingat betapa banyak produk lokalitas kita yang
divonis sebagai mitos, tidak masuk akal dan tidak logis oleh para pemikir
oksidental. Bukan karena memang benar-benar tidak masuk akal atau tidak rasional
tetapi justru nalar berfikir merekalah yang tidak mampu menjangkaunya,
dan seringkali kita merestui hal tersebut dan tidak lagi pernah mau mengenal,
mengetahui dan memahami akar kultur oriental yang menjadi pondasi ke-dirian
kita secara lebih mendalam.
Saatnya mendekonstruksi
dominasi opini bahwa hanya seorang dengan kemampuan berfikir rasionallah
yang memiliki otoritas untuk menentukan ilmiah dan non-ilmiah, logis dan tidak
logisnya suatu idea atau pengetahuan, bahkan pemaksaan opini bahwa merekalah
yang berhak memonopoli kebenaran. Manusia adalah mahluk yang merdeka berfikir
tanpa harus terikat asas legal-formal serta kualifikasi-kualifikasi tertentu,
karena yang terpenting adalah bagaimana berfikir secara sadar diatas realitas
dan ide dengan tidak megabaikan naluri kemanusiaan dan nurani sebagi mahluk
yang ber-hati. Ilmu dan pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral, di sana .akan
selalu terkandung nilai-nilai yang menjadi acuan dan memiliki tujuan, maka
mengetahui bagaimana dan untuk apa suatu ilmu atau pengetahuan itu lahir adalah
hal yang wajib bagi mereka yang tidak ingin terjebak dalam kekakuan dan
kebekuan berfikir. Dalam sejarahnya filsafat memang seringkali melahirkan
gejolak, dari gejolak pemikiran hingga gejolak sosial yang menjatuhkan banyak
korban para pemikir itu sendiri. Pernah dalam fakta sejarah sebuah otoritas
agama dengan piciknya menghukumi seorang filsuf hanya karena perbedaan
interpretasi kosmologi. akibat kecurigaan bahwa keberadaan filsafat akan
mereposisi peran agama yang bersifat dokmatis-theologis, padahal sejatinya
filsafat justru ingin menguatkan posisi agama yang kala itu mengalami degradasi
yang sangat dalam akibat kejumudan dan kepicikan berfikir akibat kalap teks.
Saya yakin semua agama memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
mendayahgunakan potensi akal pikiran dan nalar untuk meciptakan
kemaslahatan-kemaslahatan bagi semesta kehidupan.
Bukanlah sebuah
ketabuan ketika setiap manusia melakukan dekonstruksi-aktif terhadap setiap
diskursus pemikiran yang paradigmatik, karena subyektifitas nalar adalah
keniscayaan yang akan senantiasa hadir menyertai lahirnya ide dari seorang
pemikir. "Cogito ergo sum" adalah produk subyektifitas nalar
Descartes, yang mendeterminasi berfikir sebagai sumber eksistensi atau menjadi
sebab sebuah eksistensi. Secara pragmatis hal itu sepenuhnya tidak salah, namun
perlu ditinjau kembali dengan pendekatan yang lebih proporsional, yakni tidak
semata-mata menjadikan akal dengan segala potensinya menjadi sumber atau
pondasi eksistensi dengan mengesampingkan potensi lain yang telah Tuhan
anugerahkan kepada manusia. Karena manusia bukan sekedar "Hewan yang
berfikir" tapi juga dia yang memiliki hati dan nurani suci yang jauh dari
sifat kebinatangan. Sejatinya fisafat yang menggunakan akal sebagai instrument
utama tidak akan pernah bertentangan dengan hal yang bersifat kasuistik. karena
filsafat bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran yang lahir dari kesadaran
kritis dan tidak semata-mata dogmatis. Ketika sebagian orang mengatakan bahwa
berfilsafat akan menjauhkan diri dari Tuhan yang Maha abstrak, justru
sebaliknya, filsafat akan membawa kita kepada keber-Tuhan-an yang bukan
semata-mata karena faktor biologis dan warisan dokmatis, namun keber-Tuhan-an
yang hakiki, dengan tetap berpedoman pada tuntunan wahyu Illahiah.