0

Imlek dan Pesan Moral Berbangsa

Posted by Fadhlan L Nasurung on 12:06 AM in ,
Dulu di zaman orde baru Imlek menjadi hal yang asing bagi masyarakat Indonesia, rezim Suharto melarang segala bentuk perayaan yang berbau Tionghoa. Pasca reformasi bergulir tahun 2000 presiden Abdurrahman Wahid mencabut inpres yang menjustifikasi terjadinya marginalisasi warga Tionghoa, bahkan Kong Hu Cu kemudian ditetapkan sebagai agama resmi Negara setelah bertahun-tahun dianaktirikan oleh penguasa. Setelah itu perayaan tahun baru Imlek setiap tahunnya menjadi sebuah fenomena yang turut menyumbangkan kekayaan khazanah budaya Nusantara dengan berbagai parodi, seremoni dan pernak-pernik yang memperkuat kodrat kebhinekaan bangsa ini.

Sebagai Negara yang menganut demokrasi Indonesia sudah seharusnya menciptakan sebuah kehidupan keagamaan yang damai dan harmonis, dimana berbagai macam agama, aliran keyakinan dan kepercayaan dapat hidup secara rukun dan damai tanpa harus tercederai oleh fanatisme atas dasar truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) dari masing-masing penganut, apalagi berujung pada konflik horizontal yang telah banyak memakan korban jiwa. Toleransi, tenggang rasa dan sikap saling menghargai menjadi kata kunci bagi bangsa ini untuk tidak mengulang sejarah panjang diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, menjadi bangsa yang dewasa dalam memaknai rahmat pluralitas yang ada.
 
Agama Kong Hu Cu yang berangkat dari ajaran Konfusianisme senantiasa mengajarkan ketauladanan bagi manusia dengan tatanan etika dan moral untuk menciptakan kehidupan yang harmoni dalam bentuk relasi spiritual antara manusia dengan Tuhan (Tian Dao) dan relasi sosial antara manusia dengan manusia lainnya (Ren Dao), meskipun banyak kalangan yang menilai bahwa Kong Hu Cu bukanlah sebuah agama melainkan ajaran-ajaran luhur dari Konfusius yang merupakan seorang guru spiritual, tetapi tentunya pemaknaan terhadap suatu ajaran akan berbeda antara penganut dan yang bukan penganut ajaran tersebut. 

Hari raya Imlek tahun ini hadir dalam suasana bangsa Indonesia yang sedang dilanda musibah banjir di berbagai daerah, kabar duka dan derita kiranya tidak mengurangi hikmad perayaan hari raya warga Tionghoa tersebut, walaupun kita tak turut merayakan, minimal Imlek menjadi salah satu momentum positif untuk membangun kepekaan sosial dan kesadaran politik di tahun kuda yang juga menjadi tahun politik bagi bangsa ini. Sadar bahwa musibah yang kerap menghujani bangsa ini bisa merupakan akibat dari faktor alamiah, human error, dan tentunya bencana kebijakan yang tak lagi memperhatikan kondisi sosial masyarakat dan kondisi ekologi Negara ini. 

Setelah Kong Hu Cu entah agama dan aliran kepercayaan apa lagi yang akan merasakan keadilan sosial menjadi warga Negara Indonesia yang merdeka dalam menjalankan ritual keyakinan tanpa perlu resah akan ancaman dari pihak tertentu, kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah dan penganut Syi’ah di Sampang-Madura semoga menjadi episode terakhir dari kejamnya perilaku intoleransi di tengah-tengah masyarakat bangsa ini.

Perayaan hari raya Imlek tidak hanya menjadi milik para penganut Kong Hu Cu, akan tetapi menjadi sebuah media refleksi bersama tentang nasib kebhinekaan dan masa depan bangsa, kodrat pluralitas yang telah Tuhan berikan kiranya menjadi potensi besar untuk menata kehidupan sosial keagamaan yang lebih rukun dan damai, menciptakan relasi inter-agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas dan nasionalitas. Bersama-sama memperjuangkan terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan hukum, serta politik dan pemerintahan yang bebas dari virus korupsi. 

Dimuat di Rubrik Perspektif Tribun Timur Edisi Februari 2015

|
1

Cinta di Simpang Kuasa, Ideologi dan Keyakinan (Resensi Novel Jejak)

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:39 AM in ,


Cinta adalah bahasa universal milik semua insan, ia merasuk ke dalam sukma sehingga seringkali tak mampu dijangkau oleh logika. Cinta adalah sebuah konsepsi yang tak butuh didefinisikan, apalagi diinstitusikan, cinta adalah mahluk liar yang paling sulit untuk dijinakkan, karena ia seringkali datang secara tiba-tiba melalui berbagai aras dari sisi kemanusiaan hingga keTuhanan. Dalam banyak kisah, cinta yang merupakan sisi paling luhur dari kehidupan, menjadi titik temu berbagai kutub perbedaan yang ada, dari perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Bahkan dalam sebuah pertarungan kuasa yang menjadi sebab konflik dan peperangan dari masa ke masa, cinta selalu saja hadir melakukan harmonisasi, menampakkan wajah terdalam dari kemanusiaan.

Pepi Al-Bayqunie seorang intelektual muda NU asal Makassar, mencoba menghadirkan wajah kemanusiaan itu dalam buku yang berjudul “Jejak”, sebuah novel roman yang mengangkat kehidupan sebuah komunitas agama lokal di Sulsel. Walaupun tidak secara vulgar menyebut komunitas lokal itu dalam narasinya, namun sistem tanda dan simbolitas yang dibangun untuk menggambarkan komunitas lokal yang menjadi salah satu latar inti dari kisah percintaan yang diangkat, menunjuk komunitas To Lotang yang dalam Novel ini disebut dengan term Tobare.

Di Sulawesi-selatan terdapat beberapa komunitas agama lokal yang masih bertahan hingga kini, komunitas lokal tersebut umumnya hidup jauh dari komunitas mainstream, baik secara agama maupun kebudayaan. Sebut saja komunitas agama To Lotang atau To Wani yang dapat kita jumpai di Kabupaten Sidrap Sulawesi selatan, komunitas tersebut merupakan satu di antara beberapa komunitas lokal di Sulsel yang sukses mempertahankan eksistensinya ditengah desakan arus agama dan kebudayaan yang datang dari luar. 

Islam sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) yang masuk ke Nusantara sejak ratusan tahun yang lalu, bertemu dengan berbagai corak agama dan keyakinan masyarakat lokal di berbagai wilayah, pertemuan yang terjadi antara Islam dan berbagai wajah lokalitas itu umumnya terjalin secara kultural, Islam di masa-masa awal kedatangannya di Indonesia, dibawa oleh para spiritualis (Wali-sufi) yang dengannya Islam hadir dengan paras kerahmatannya. Islam yang secara formal datang dari jazirah Arab nun jauh di sana, disebarkan tidak melalui otoritas politik, melainkan melaui dialog kultural yang berlansung secara gradual dan damai. 

Di era sekarang, wajah Islam yang direfleksikan oleh kaum muslimin sedang di uji dalam belantika kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Isu terorisme yang seringkali diasosiasikan dengan ajaran Islam, seolah ingin mendistorsi wajah kerahmatan Islam. Kekerasan dan teror yang selama ini dilakukan oleh oknum-oknum yang mengaku beragama Islam, memunculkan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama yang mengusung fundamentalisme dan ekstrimisme. Padahal hal tersebut sama sekali bukanlah bagian dari ajaran Islam, melainkan sesuatu yang lahir dari mereka yang memiliki iman sedemikian tebal tetapi mengalami gagal faham.

Dalam novel “Jejak” Irfan seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universita terkemuka di Sulawesi selatan, melakukan serangkaian perjalanan untuk menguak berbagai misteri yang selama beberapa waktu menghantui kehidupannya, perjalanan tersebut tidak hanya tebatas dalam arti fisik, tetapi juga perjalanan menelusuri gugusan makna dalam dialektika kehidupan yang dijalaninya, dimulai ketika hasrat cintanya kepada seorang perempuan bernama I Coppo Bungaeja semakin menunjukkan gerak dan isyarat positif. 

Belakangan terungkap bahwa I Coppo Bungaeja merupakan anak gadis keturunan seorang pemimpin tertinggi komunitas agama Tobare. Kisah romantika Irfan dan I Coppo Bungaeja berlanjut pada sebuah perjalanan kultural-spiritual akan komunitas lokal Tobare yang harus hidup dengan cara mimikri. Secara kultural mereka tak jauh beda dengan penganut agama Islam pada umumnya, namun secara formal mereka oleh Negara “dipaksa” menganut hindu sebagai agama pada kolom KTP mereka, mereka menerima itu semata untuk memperolah akses sosial, politik dan pendidikan sebagai warga Negara yang sah, juga sebagai strategi pertahanan demi keberlanjutan generasi. Sedang ke”Tobare”an mereka menjadi identitas privat yang hanya diketahui oleh masyarakat sesama komunitas. 

Ketika PKI menjadi kelompok yang dimusihi oleh Negara di masa orde baru, komunitas Tobare juga mengalami masa-masa sulit, dimana mereka dituduh berasosiasi dengan kelompok PKI. Inkuisisi, pengasingan hingga pembunuhan pernah menjadi sejarah kelam komunitas ini ketika berhadapan dengan penguasa di era orde baru.

Pada penggalan kisah tentang sisi kelam komunitas Tobare di atas, ada sebuah fakta yang ingin disajikan oleh penulis, tentang apa yang benar-benar pernah melanda komunitas lokal To Lotang, saat Negara menempatkan mereka sebagai tersangka dalam kasus yang mereka tak terlibat di dalamnya. Keteguhan mereka dalam menganut keyakinan agama nenek moyang yang telah ada sebelum ke lima agama resmi di republik ini ada, seolah menjadi kutukan yang membuat mereka harus menjadi komunitas marginal di tanah sendiri.

Novel “Jejak” juga menampilkan wajah berbeda dari Sunni-Syiah yang kerap terlibat dalam pertarungan idelogi dan politik. Sehingga seringkali kedua aliran Islam dengan penganut terbesar tersebut menarik jarak satu sama lain, bahkan konflik fisik kerap terjadi dan mengoyak rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) antara keduanya. Perbedaan ideologi dan pemahaman menjadi kambing hitamnya. Untuk mendamaikan konflik tersebut, dalam Novel ini penulis kemudian menyuguhkan sebuah titik awal, saat Islam belum mengenal Sunni-Syiah dan aliran dalam Islam lainnya. Bahkan lebih jauh dari itu, ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, tanpa atribut agama dan identitas primordial, kehidupan hadir dalam sebuah harmoni.

Dengan kembali ke titik kesadaran awal itu, kita akan menjadi faham, bahwa konflik atas nama agama, suku dan golongan adalah produk sejarah, dimana kuasa menjadi faktor utama penggeraknya. Maka tak seharusnya atas nama kebenaran dan perbedaan, kita saling menegasikan satu sama lain! 

Peresensi        : M. Fadlan L Nasurung
Judul Buku     : Jejak
Penulis            : Pepy Al-Bayqunie
Penerbit          : Pustaka Mafaza, Solo
Cetakan          : 1, Januari 2015
ISBN               : 978-602-7826-10-6
Tebal                : vi + 188 Halaman


|
0

Anomali Media Sosial

Posted by Fadhlan L Nasurung on 5:46 AM in


Fenomena media sosial (social media) dan jejaring sosial (social network) di internet terjadi lebih dari satu dekade terakhir, efek sosial yang ditimbulkannyapun sangat signifikan, masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkatan usia turut masuk ke dunia baru yang dirancang sebagai dunia ke dua (second world) itu, berkembanglah istilah dunia maya (cyber space) untuk mengidentifikasi duni baru ini, sebuah dunia dengan ruang interaksi yang tak lagi dibatasi oleh kaedah spasial. Inilah dunia yang mampu membuat manusia terpana, bahkan untuk waktu yang lama. Seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berselancar di dunia maya, menemukan segala apapun yang ada dan yang mungkin ada dalam ruang virtual itu, untuk hal yang satu ini kita bisa mengandalkan om google, mesin pencari (search engine) yang paling banyak digunakan oleh pengguna fasilitas internet.

Harus diakui bahwa masyarakat kita secara umum pada mulanya mengenal internet melalui media sosial, ia menjadi instrumen yang paling andil dalam menggiring masyarakat masuk ke ranah baru bernama dunia virtual, hanya saja di Indonesia internet pertama kali di perkenalkan kepada masyarakan luas tidak melalui institusi milik negara ataupun institusi pendidikan, melainkan melaui jalur bisnis (privatisasi). Kita umumnya pertama kali berjumpa dengan internet di Warung Internet (warnet) yang menjamur sejak satu dekade terkahir, namun kini internet menjadi sesuatu yang mudah dijumpa dimana-mana, di lembaga-lembaga pendidikan, instansi pemerintahan, ruang-ruang publik, hingga warung kopi.

Tersebutlah Mark Zuckerberg seorang anak muda jenius asal Amerika Serikat yang menemukan “mahluk” bernama facebook, sejenis jejaring sosial yang dapat menghubungkan banyak orang dalam sebuah jaringan yang saling terkoneksi dengan berbagai macam keunggulan dari generasi sebelumnya,  Friendster. Pasca penemuan facebook (2004), internet diserbu oleh bejubel manusia yang juga ingin meransek masuk dan terlibat dalam hingar bingar media sosial. Jadilah dunia maya menjadi ramai oleh manusia dari berbagai penjuru jagad, ramai bukan dalam makna fisik, seperti keramaian yang kita temukan di tempat-tempat umum, tetapi ramai dalam makna terjalinnya interaksi antar manusia lintas wilayah dan identitas dalam skala besar dan waktu yang singkat. Saat ini facebook masih menjadi jejaring sosial dengan user (pengguna) terbanyak di seluruh dunia.

Setelah kemunculan facebook, jenis jejaring sosial lain yang kini populer di Indonesia juga turut membuntuti, belakangan muncul pula Twitter, Path, Instagram, WhatsApp, Line dan entah apa lagi berikutnya. Media-media sosial tersebut memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing.

Dunia Sosial Baru

Kehidupan di media sosial menjadi sebuah paras baru realitas sosial masyarakat kita, di sana kita dapat dengan mudah menemukan fenomena sosial yang sedang berkembang, bahkan dunia maya seringkali menjadi representasi kehidupan dari dunia nyata, lewat dunia maya berbagai pertarungan di alam nyata manusia digelar. Pada tahun 2008 ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia maya secara khusus facebook dikabarkan turut andil dalam memenangkan Presiden kulit hitam pertama Amerika tersebut. Obama berhasil memaksimalkan fungsi facebook sebagai salah satu media kampanyenya.
Hal yang sama juga terjadi saat Pemilu Presiden di Indonesia tahun kemarin, head to head antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, membuat pertarungan dukungan di dunia maya menjadi penuh dengan hiruk pikuk, saling klaim kelebihan dan keunggulan capres pilihan, saling ungkap kesalahan dan keburukan capres di pihak lawan, hingga saling fitnah-memfitnah beredar dalam belantara dunia maya. 

Awalnya hal itu berlangsung dalam iklim persaingan kreatifitas untuk mencitrakan dan menampilkan capres pilihan dengan wajah terbaiknya, teapi hal itu berubah menjadi perang urat syaraf ketika masing-masing pendukung, baik secara individu maupun kelompok saling serang dengan senjata argumen hingga fakta ala masing-masing penukung, tujuannya hanya dua, yang pertama sebagai kekuatan legitimasi dukungan terhadap calon idola dan yang kedua sebagai justifikasi negatif terhadap kubu lawan. Saat itu informasi tentang ke dua pasang kandidat menjadi yan paling di cari dan bernilai jual tinggi, kebenaran dan validitas informasi menjadi urusan kesekian, yang terpenting informasi tersebut dapat digunakan untuk bertahan dan menyerang di medan pertarungan, pertarungan yang sebenarnya terjadi di dunia maya, tetapi memiliki pengaruh yang begitu signifikan terhadap dunia di kehidupan nyata. 

Dalam berbagai kasus, hal yang terjadi di dunia maya kerapkali bertransformasi ke dalam kehidupan di dunia nyata. Seringkali sebuah relasi, baik yang bersifat personal maupun relasi bisnis menjadi sukses karena bermula dari interaksi lewat  sosial media. Sedang di kutub berbeda, seringkali hubungan pertemanan harus berakhir hanya karena persoalan yang terjadi di media sosial, bahkan sebuah kasus pelangaran hukum kadangkala bermula di media sosial, hingga yang paling parah pertengkaran dan percekcokan di media sosial berujung pada perkelahian, penganiayaan hingga penghilangan nyawa. 

Nasib sial menimpa seorang tukang sate bernama Muhammad Arsyad (24), karena perbuatannya yang dinilai melanggar UU Pornografi dan pencemaran nama baik Presiden Joko Widodo, dia harus merasakan pahitnya mendekam di jeruji besi beberapa waktu lalu. Kasus serupa yang masih hangat dan sedang dalam proses hukum menimpa Fadli Rahim (33) salah seorang pegawai negeri di Kabupaten Gowa, karena kritiknya terhadap Bupati Gowa Ichsan Yasin limpo melalui jejaring sosial Line, ia harus menerima  hukuman penjara karena tuduhan pencemaran nama baik, kasusnya kini mendapat perhatian banyak kalangan. Semua itu sebuah fakta otentik, bahwa media sosial seringkali membawa implikasi hingga ke kehidupan yang nyata, entah positif maupun negatif. Sehingga dibutuhkan kearifan dalam memanfaatkannya.

|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.