0

Bahasa Populer Versus Bahasa Indonesia

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:23 PM in
 Loe, Gue. Dua kata yang pastinya sangat akrab di telinga kita khususnya yang tinggal di wilayah urban perkotaan, namun berbagai siaran di layar kaca kita yang banyak mengangkat tema-tema kaum muda satu dasawarsa terakhir, telah secara massif mempopulerkan dua kata itu hingga ke pelosok-pelosok desa dan telah mereposisi penggunaan kata kamu dan saya. Dalam keseharian masyarakat khususnya di ibu kota Jakarta menggunakan kamu atau anda untuk menyebut orang kedua, merupakan hal yang sangat langka utamanya di kalangan anak muda yang populer dengan sebutan Anak Baru Gede (ABG), atau mereka yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai anak gaul. Saya masih ingat betul sebuah film yang mengangkat tema kehidupan remaja berjudul Anak Baru Gede (ABG), seingat saya film tersebut banyak sekali memberikan pengaruh terhadap kehidupan dan pergaulan remaja di daerah saya, banyak bahasa-bahasa atau istilah-istilah yang tak lazim digunakan dimasyarakat saat itu menjadi trend dikalangan anak muda yang tengah menjadi obyek gempuran produk-produk media pertelevisian, bukan hanya perilaku berbahasa namun juga sikap pergaulanpun mengalami perubahan, sehingga menjadi anak gaul merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi mereka yang juga tengah disibukkan agenda pencarian jati diri. Hingga akhirnya bermunculan berbagai istilah-istilah baru yang menjadi simbol identitas sosial, jadi selain penampilan, bahasa dan gaya berbicara juga menjadi tolak ukur gaul tidak gaulnya seorang remaja atau anak muda. Itulah kekuatan bahasa media yang mampu memberikan propaganda terhadap alam bawah sadar mereka yang belum cukup mampu berfikir kritis.

Bahasa Gaul

Penggunaan bahasa-bahasa populer atau yang sering disebut bahasa gaul dikalangan kaum muda merupakan sebuah fenomena yang baru terjadi pasca reformasi bergulir, dimana simpul-simpul kebebasan berekspresi mulai digalakkan. Pada era Orde Baru bahasa merupakan sebuah atribut sosial yang dikontrol oleh rezim, berbudi bahasa merupakan salah satu istilah dari karya orde baru yang secara sistematis mengkondisikan masyarakat untuk senantiasa bungkam dan buta untuk mengkritik pemerintah. Seseorang yang ingin menyuarakan aspirasinya harus meggunakan bahasa yang sopan dan santun menurut kaedah penguasa, sekali bersuara yang bernada kritik terhadap pemerintah maka paling tidak ia akan dijebloskan ke dalam jeruji besi, atau yang lebih ekstrim jiwa akan melayang secara tragis. Namun sebuah pengakuan tentunya juga perlu sebagai benuk objektifitas penulis, bahwa Soeharto merupakan presiden yang sangat mencintai bahasa Indonesia hingga tidak mau mempelajari bahasa asing.

Ketika hendak merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kita tidak akan pernah menemukan kata gaul, namun ada beberapa kata yang kurang lebih mengandung suku kata dari kata gaul tersebut, seperti bergaul dan menggauli, namun itu bukan berarti kata bergaul dan menggauli berasal dari kata dasar gaul, karena kata yang sangat populer tersebut memang bukan berasal dari bahasa Indonesia yang baku melainkan merupakan satu karya modernisasi bahasa yang dilakukan oleh para kaula muda, entah siapa yang pertama kali memperkenalkan berbagai istilah populer tersebut saya tidak tahu pasti, namun ada indikasi bahwa tumbuhnya bahasa-bahasa populer tersebut berawal dari sekelompok anak muda yang ingin bebas mengekspresikan dirinya dari kungkungan berbagai institusi-intitusi sosial, mungkin terinspirasi dari komunitas anak punk di Amerika Serikat, dan bahasa gaul ala negeri Paman Sam yaitu slank yang juga cenderung tidak sesuai dengan kaedah bahasa Inggris (grammar) yang baku. Atau hipotesis lain mengatakan bahwa lahirnya bahasa populer akibat adanya interaksi kebudayaan yang begitu massif sehingga mendorong terjadinya diaspora bahasa yang kemudian melahirkan bahasa populer sebagai produk dari dialog budaya tersebut.

Spekulasi-spekulasi tersebut murni berasal dari penulis dan memang tidak ilmiah, karena hanya bermodalkan pisau analisa yang miskin sumber, namun dari kenyataan bahwa penggunaan bahasa populer kini lebih mendominasi dikalangan kaum muda dari pada bahasa Indonesia tentunya menjadi problematika tersendiri, untuk membendung hal tersebut untuk tidak mengatakan mustahil memang sangat sulit, meskipun hanya populer dalam bahasa verbal, namun penulis menilai bahasa populer dengan berbagai istilah-istilah yang sering digunakan sehari-hari sangat minim adab kesopanan, kata-kata seperti loe, gue, dan banyak lainnya terasa memiliki nilai sentimen yang negatif dan tidak relevan dengan budaya berbahasa oriental ala Indonesia.

Mengutamakan Bahasa Indonesia

Dalam sejarah bangsa pra kemerdekaan, bahasa Indonesia baru dikenal luas setelah terjadi peristiwa Sumpah Pemuda (1928), yang salah satu isi sumpahnya berbunyi “kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbahasa satu yakni bahasa Indonesia”, setelah peristiwa yang sangat monumental itu, bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyebaran issue dan ide-ide perjuangan melawan penjajahan, beberapa tokoh yang menjadi founding fathers Indonesia seringkali menggunakan bahasa Indonesia dalam orasi-orasi politiknya untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan resistensi terhadap para kolonialis yang telah menjarah bumi pertiwi selama tiga abad lebih, sebut saja bapak proklamator negeri ini, Soekarno yang juga berjuluk singa podium karena kegigihannya berdakwah tentang cita-cita kemerdekaan yang akhirnya dapat terwujud pada 17 agustus 1945, sebagai era baru bagi bangsa Indonesia.

Soekarno pernah berkata “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya”, sebuah ungkapan yang tentunya sangat masyhur, maka dengan dalil tersebut menjaga bahasa Indonesia sebagai salah satu produk sejarah nasional adalah fardhu bagi kita para anak bangsa, tentunya dengan senantiasa mengutamakannya dalam bahasa pergaulan sehari-hari dengan tidak menggusur kedudukan bahasa daerah kita, karena bahasa Indonesia akan senantiasa merefleksikan karakter dan mentalitas bangsa sebagai benteng pertahanan untuk menjaga identitas keindonesiaan dari serangan berbagai arus perubahan yang radikal sebagai ekses globalisasi dan modernisasi yang tengah merajai dunia.

Meskipun bahasa populer juga merupakan satu karya dan kreasi anak bangsa, namun karena melihat aspek historis-kultural bangsa ini yang memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dari berbagai lokalitas kultural yang ada, maka sudah selayaknya sebagai kandidat pemimpin di masa depan para kaum muda lebih mencintai bahasa Indonesia dengan mengutamakan penggunaannya. Salah satu kekayaan bahasa Indonesia yang merupakan cerminan dari pluralias bangsa adalah perbedaan dialeg (logat) dari setiap daerah yang juga memiliki bahasa lokal (daerah) masing-masing, bahasa lokal tersebut turut mempengaruhi corak dan mode berbahasa Indonesia. Hal itu menjadi bukti bahwa bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu dari kekayaan khazanah budaya bangsa yang multikultural. Bahasa merupakan produk kebudayaan yang sangat intim dengan masyarakat, karena menyangkut tata kehidupan yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk tanda, simbol dan bunyi, maka identitas sebuah bangsa dapat ditelusuri dari bahasanya. Dan kita tidak ingin generasi muda bangsa mengalami lost of identity karena tidak mengetahui akar budaya bangsanya, akibat miskin pengetahuan terhadap salah satu instrument utamanya yakni bahasa Indonesia. Maka jangan sampai bahasa populer yang tengah membudaya di kalangan kaum muda menjadi bahasa tandingan yang perlahan akan mereposisi penggunaan bahasa Indonesia. Jadi mari bersama-sama menggalakkan semangat berbahasa Indonesia.



|
0

Polemik Penyambutan Mahasiswa Baru

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:33 PM in
Tahun ini nampaknya suasana penerimaan Mahasiswa Baru (MABA) akan kembali terasa hambar, semenjak diberlakukannya peraturan tentang pelarangan Orientasi Siswa Pengenalan Kampus (OSPEK), atau yang sekarang berubah menjadi Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK). OSPEK yang dulunya dilakukan oleh mahasiswa senior dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) kini beralih menjadi wewenang pihak birokrasi kampus, semenjak dugaan maraknya aksi kekerasan dan perpeloncoan dalam prosesi OSPEK, agenda tahunan tersebut kini nyaris dihapuskan, walaupun telah diganti menjadi sekedar seremonial pengenalan kampus, tetap saja kebijakan tersebut memandulkan fungsi lembaga kemahasiswaan sebagai wadah silaturrahim bagi mahasiswa yang baru menginjak dunia kampus.

Jelas saja dampak yang timbul dari peniadaan OSPEK membuat hubungan emosional senior-junior menjadi agak renggang, malahan tidak jarang ada Mahasiswa Baru yang cenderung kurang menghargai seniornya, ini bukan berarti bahwa OSPEK mengajarkan paham senioritas yang menuntut junior untuk selalu patuh dan taat pada perintah seniornya, namun lebih kepada pendidikan untuk senantiasa menghargai mereka yang lebih tua. Berstatus sebagai mahasiswa tentunya memiliki nilai lebih dari sebelumnya sebagai seorang pelajar sekolah tingkat menengah, karena mahasiswa harus memegang prinsip independensi dan melaksanakan tanggung jawab intelektual. Lalu bagaimana hal itu dapat terwujud ketika pihak kampus (pemegang kebijakan) memperlakukan para mahasiswanya tidak ubahnya seperti para pelajar SMA?

Dalam tradisi kaderisasi kampus yang selama ini berusaha dipertahankan seperti halnya OSPEK, mahasiswa baru tidak hanya diajarkan tentang etika dan norma sebagai mahasiswa, tetapi juga meransang proses berfikir kritis serta membentuk mentalitas sebagai seorang calon intelektual yang tentunya memiliki tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Karena yakin dan percaya bangku perkuliahan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan geliat intelektualitas para mahasiswa yang memang merupakan masa subur lahirnya calon-calon pemimpin bangsa di masa depan, karena memang dalam kurikulum akademik di semua kampus tidak mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa.

Melihat perkembangan gerakan mahasiswa dua tahun terakhir yang cenderung mandul mengindikasikan tumbuhnya kader-kader baru perjuangan mahasiswa memang sedang dalam masa paceklik. Konstalasi dunia perguruan tinggi yang mulai dicekcoki agenda privatisasi dengan ideologi developmentalisme membuat kampus-kampus berlomba-lomba membangun gedung-gedung mewah dan megah layaknya hotel-hotel berbintang, hal itu sebenarnya sama sekali baik jika memang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi, namun menjadi sangat ironis ketika hanya sebagai ajang fantasy pendidikan.
Sudah semestinya pihak kampus senantiasa memberikan ruang bagi terciptanya keberhidupan intelektualitas dan gerakan mahasiswa, bukan malam memenjarakan para mahasiswanya dalam opium pengetahuan yang miskin analisis dan praksis.



|
0

Rejeki Nomplok Para Koruptor

Posted by Fadhlan L Nasurung on 11:28 PM in

Moment hari besar ternyata memberikan berkah tersendiri bagi para pelaku kriminal yang sedang menjalani masa-masa tahanan di jeruji besi, tak terkecuali para koruptor. Dua hari besar nasional dan keagamaan (Proklamasi RI Ke-67 dan Idul Fitri) yang baru saja berlalu memberikan angin segar kepada para terpidana korupsi dengan dikuranginya masa tahanan mereka dari yang semestinya. Kebijakan remisi memang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan republik ini, entah dengan dalih kemanusiaan atau pemasyarakatan nyatanya kebijakan tersebut cenderung tidak bijak, ditengah bergeloranya semangat anti korupsi. Kalau memang pemerintah serius dalam memberantas korupsi, maka peraturan tentang remisi bagi para terpidana kasus korupsi harus direvisi bahkan kalau bisa dihapuskan.

Dalam pernyataanya Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan bahwa tidak ada koruptor yang bebas karena remisi, namun dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2012 sebanyak 583 koruptor telah memperoleh remisi atau pengurangan masa tahanan sedangkan 32 koruptor telah dibebasakan. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah masih setengah hati dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi yang merupakan penyebab kebangkrutan negara dalam berbagai aspek. Bayangkan saja seorang koruptor yang hanya divonis 5 tahun penjara, dengan remisi maksimal 6 bulan tiap tahunnya atau tiap hari besar, jangankan sepertiga masa tahanan, justru koruptor tersebut akan bebas-merdeka dengan hanya menjalani kurungan kurang dari seperdua dari masa tahanan. Wah, kalu begitu sama halnya dengan menjadikan hari yang sangat bersejarah dan mulia menjadi hari kemerdekaan dan kemenangan bagi para koruptor dengan berkah remisi dari para pemegang kebijakan negeri ini.

Walaupun kebijakan remisi disertai dengan syarat dan kualifikasi-kualifikasi yang dinilai ketat, namun tetap saja pengurangan hukuman bagi para perampok uang rakyat adalah hal yang justru tidak manusiawi. Proklamasi dan idul fitri yang mulia dan suci tidak sepantasnya dinodai oleh sebuah kebijakan yang menyakiti hati masyarakat, momentum proklamasi seharusnya menjadi titik terang untuk mempertegas jati diri bangsa yang sama sekali tidak memberikan kompromi terhadap perilaku yang menyengsarakan rakyat seperti korupsi, ditambah lagi moment idul fitri yang sejatinya merupakan saat yang paling tepat untuk membenahi segala kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, bukan malah disalah artikan menjadi ajang memberi maaf bagi para koruptor dengan pengurangan masa kurungannya, Sudah saatnya rakyak berani menggugat dan  menegur para wakil dan pemimpinnya yang terkadang khilaf dan lalai,



|
0

Perceraian Kini Jadi Trending Lifestyle

Posted by Fadhlan L Nasurung on 5:41 AM in
 _Bukan Gosip_

Saya bukanlah seorang penggemar Infotaiment, namun sekilas mendengar maraknya kasus perceraian dikalangan selebritis, membuat saya jadi prihatin terhadap kondisi kehidupan rumah tangga masyarakat yang bisa saja terpropaganda dengan kasus-kasus yang menimpa para publik figur tersebut, layaknya berita pernikahan, berita perceraian juga sedang menjadi incaran serius para wartawan media infotaiment, layaknya barang dengan nilai jual tinggi, berita perceraian juga kini menjadi komoditi yang banyak digemari kalangan wanita dewasa dan kaum ibu, nampaknya sebagian  selebriti di negri ini telah kehilangan esensi dari pernikahan, hanya menjadikan acara kawin-cerai sebagai agenda menaikkan rating popularitas.

Ternyata bukan hanya dikalangan selebriti, trend perceraian juga menimpa masyarakat umum, dari data Kementrian Agama RI kasus perceraian di Indonesia naik 10% tiap tahunnya, lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang hanya 6%. Dari beberapa kalangan menilai ada beberapa faktor penyebab maraknya perceraian diantaranya karena faktor ekonomi, maraknya perselingkuhan, problem seksual, dan ketidak harmonisan hubungan rumah tangga yang banyak melahirkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semua itu terjadi karena nilai pernikahan telah mengalami reduksi akibat krisis moral yang sedang menimpa negeri ini, hal ini merupakan indikasi dari transformasi budaya yang tidak sehat,  budaya barat yang hanya menjadikan pernikahan sebagai kaedah formalitas nampaknya menjadi rujukan dari banyak kalangan yang menganggap pernikahan telah kehilangan sakralitasnya.

Dalam Islam tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, yaitu sebuah tatanan kehidupan rumah tangga yang tenang, rukun, damai, serta penuh cinta dan kasih sayang. Secara substansi konsep tersebut juga sejalan dengan ajaran tentang pernikahan dari semua agama. Tingginya angka perceraian di Indonesia seakan menjadi bukti terjadinya banyak  disorientasi dalam pernikahan. Menikah seakan-akan hanya menjadi atribut sosial, bukan lagi menjadi sarana ibadah untuk menyempurnakan sunnah dan saling memuliakan antar sesama manusia. Meskipun dalam ajaran agama Islam Perceraian adalah boleh dan halal namun perkara tersebut dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis shahih. Maka ketika rumah tangga yang tengah dirundung masalah masih bisa dipertahankan, memilih untuk rujuk adalah jalan terbaik, sedangkan perceraian adalah jalan terakhir apabila keutuhan rumah tangga hanya akan membawa madharat di kedua belah pihak.

Jangan sampai kita hanya menjadi orang-orang yang hanya mengikuti trend zaman yang sedang mengalami demoralisasi, ketika mereka yang sedang silau dunia menjadikan kawin-cerai seolah-olah sebagai trending lifestyle, maka mari kita kembali kepada hakikat dan tujuan pernikahan yang mulia.




|
0

Akar Konflik Sosial-Komunal di Makassar

Posted by Fadhlan L Nasurung on 10:07 AM in

Setiap kali keluar kota atau daerah (luar sulawesi) tak jarang saya diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang terasa sangat tidak mengenakkan, Kok di Makassar sering terjadi tawuran? Apa karena watak dan tabiat oran-orang di  sana keras dan suka kekerasan? Dan ada banyak lagi jenis pertanyaan lain yang terasa kurang sedap terdengar, namun dua pertanyaan itulah yang paling mengganggu pikiran. Walaupun terasa menyinggung perasaan namun semua pertanyaan tersebut ternyata punya manfaat, setelah itu saya sering berfikir, menduga-duga dan berspekulasi tentang penyebab maraknya konflik sosial-komunal di Makassar atau Sulawesi selatan pada umumnya, walaupun ada sebagian orang yang menggeneralisir Makassar sebagai Sulawesi-selatan.

Patologi Sosial Masyarakat Makassar

Kota Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi-Selatan merupakan salah satu wilayah urban yang mulai dipadati oleh penduduk dari berbagai daerah sejak sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya bertambah akibat urbanisasi, sejalan dengan semakin gencarnya pemerintah kota melakukan pembangunan kawasan perindustrian, perdagangan, dan pariwisata, dengan peran utama pemodal atau investor baik lokal maupun asing. Makassar yang telah memperkenalkan dirinya sebagai kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia Timur, kini mengejar status baru sebagai kota dunia, sebuah harapan yang membanggakan memang, tapi mari kita melihat lebih dekat patologi sosial masyarakatnya yang tentunya menjadi tolak ukur keberhidupan kota yang terkenal dengan julukan kota daeng tersebut.

Sebagai kota metropolitan, Makassar tentunya memiliki magnet yang menjadi daya tarik masyarakat untuk berbondong-bondong mencari penghidupan di sana, secara kuantitas masyarakat yang berdomisili di Makassar sebahagian besar adalah comer (masyarakat pendatang), baik dari daerah-daerah di provinsi Sulawesi-selatan, maupun dari kota-kota satelit yang mengelilingi kota Makassaar yang terdiri dari masyarakat suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.  Umumnya masyarakat pendatang adalah pegawai (Pemerintahan dan sektor pendidikan), karyawan, buruh dan mahasiswa. Untuk kalangan mahasiswa juga berasal dari wilayah-wilayah Indonesia bagian Timur seperti Flores, Bima dan Maluku.

Di tengah hiruk-pikuk kota Makassar dengan semangat pembangunannya, mungkin ada beberapa pihak yang secara serius memperhatikan perkembangan sosial masyarakat dengan segudang persoalan dan polemik. Salah satu yang paling akrab adalah konflik sosial-komunal yang marak terjadi, dan apabila tidak segera mendapat solusi, hal tersebut dapat menjadi bom waktu yang akan merusak tatanan sosial-kemasyarakatan. “Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah wilayah, maka semakin tinggi potensi konfliknya”, itulah salah satu teori konflik yang sering menjadi dalil terjadinya berbagai konflik berbau SARA, untuk konteks Makassar nampaknya teori tersebut memang shahih, mengingat seringnya terjadi konflik horizontal yang bermotif kedaerahan.

Nasionalisme Kedaerahan

Konflik horizontal yang sering terjadi di Makassar umumnya bukan merupakan konflik antar etnis (suku), tetapi merupakan konflik akibat sentimen dan fanatik kedaerahan yang mayoritas  melibatkan kalangan mahasiswa, sebut saja beberapa daerah yang sering terlibat konflik seperti, Palopo (Luwu Raya), Bone, Bulukumba, Jeneponto, dan sesekali Bima. Beberapa daerah tersebut merupakan daerah asal mayoritas masyarakat kota Makassar, utamanya kalangan pemuda dan mahasiswa. Masyarakat pendatang dari daerah-daerah tersebut cukup berimbang, sehingga tidak terlihat adanya kelompok yang dominan, hal tersebut ternyata justru meningkatkan gengsi dan sikap fanatisme kedaerahan, sehingga  terkadang menjadi pembakar api konflik karena masing-masing merasa sebagai kelompok mayoritas. Tidak ada yang tahu pasti kapan konflik komunal ini berawal, namun dari banyak kasus yang terjadi pemicu utama konflik adalah perkelahian antar pemuda atau mahasiswa yang kadang merupakan konflik perseorangan, namun karena atas nama solidaritas kedaerahan maka konflik tersebut berlanjut menjadi seolah-olah konflik antar daerah, selain kerugian material, konflik tersebut tidak jarang menjatuhkan korban jiwa.

Ada yang menduga bahwa konflik komunal-kedaerahan tersebut merupakan konflik lama dari sejarah feodalisme masyarakat Sulawesi-selatan, pendapat lain mengatakan bahwa konflik yang terjadi adalah desain para elit politik atau mereka yang sedang berkuasa sebagai media pengalihan issue untuk men-goal-kan kebijakan-kebijakan yang dapat memicu pro-kontra, entah benar atau tidak nyatanya konflik tersebut sangat merugikan dan memalukan karena dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa di masa depan.

Oleh karena itu cita-cita Makassar sebagai kota dunia harus terlebih dahulu memperhatikan kondisi sosiologis masyarakatnya, jangan sampai pembangunan yang semarak dan menjadi magnet sosial, justru menjadi titik mula lahirnnya berbagai konflik akibat kesenjangan sosial yang terjadi, alih-alih menjadi kota dunia dengan segudang prestasi, malah justru menjadi “kota dunia kekerasan”.
  

|
0

Lebaran ala Sahabatku

Posted by Fadhlan L Nasurung on 7:09 AM in

Takbir menggema di seantero negeri, membangunkan jiwa-jiwa yang lelap dalam nikmat ibadah, euforia-bahagia mensuasana di setiap sudut-sudut rumah, kaum muslim bersorai Allahu akbar, Allahu akbar wa lillah ilham, marhaban ya syawal. Membuka hari baru di bulan kemenangan adalah kegembiraan di setiap hati mereka yang telah menempuh ujian shiam, ramadhan berlalu dengan menitip hikmah, agar setiap insan mampu menjaga kualitas dan kuantitas ibadah, karena ramadhan mengandung spirit  ketaatan.
Handpone berdering, sepertinya ia turut menikmati indah semarak idul fitri, rangkaian kata membanjiri kotak masuk pesan, mewakili ungkapan maaf  dari wajah dan lisan-lisan yang tak sempat bertatap-bersua. Akun jejaring sosial pun tak mau kalah meriah, turut memediasi ungkapan-ungkapan idul fitri.

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiamana wa shiamakum
Minal aidin wal faidzin
As’alukal afwa zahiran wa bathinan

Sebuah harmoni sosial tercipta, semua orang menjadi dermawan, saling memohon maaf dan memaafkan satu sama lain, namun dalam kondisi dan suasana berbeda, ku sampaikan.

Salam hangat
Buat kalian para sahabatku
yang tak mengerti apa itu mudik
atau yang tak tahu kemana harus bermudik
karena tak mengenal rumah-keluarga
lebaran kembali datang menyapa
maka tiba saat mengais berkah
ruang kehidupan kalian kembali terbuka
karena sekarang adalah musim berderma
bagi mereka yang mendamba pahala
rumah-rumah ibadah
jalan-jalan kota
hingga kantor-kantor pemerintah
ramai oleh mereka yang memberi zakat-sedekah
maka berbahagialah
dengan nikmat Tuhan yang tak terduga
menjabah segala doa
dari mereka yang diterpa derita
akibat arogansi kuasa
Selamat hari lebaran, salam kemenangan wahai sahabat
dunia memang tak seindah yang kita bayangkan
karena surga menanti di hari kemudian
ramadhan telah pergi
mengantar sebuah diari
memori dan kisah-cerita tentang ramadhan di hari-hari mu
bergembiralah kalian
fakir miskin, anak yatim, anak jalanan dan terlantar yang tidak dipelihara oleh negara
nikmatilah berlebaran yang berkeadilan ...


|
0

Halal bi Halal dan Transformasi Sosial

Posted by Fadhlan L Nasurung on 1:33 AM in ,
Ramadhan tahun ini telah berlalu,  segudang cerita dan kisah yang mewarnai perjalanan sebulan penuh menjalankan ibadah shiam merupakan memori yang akan senantiasa mengawal kualitas dan kuantitas amaliah serta ibadah kita, paling tidak untuk mengkondisikan suasana ramadhan sebagai motivasi untuk menjaga konsistensi beribadah dan beramal shaleh, berakhirnya ramadhan bukan berarti berakhir pula ritus peribadatan yang penuh hikmad, karena ramadhan layaknya madrasah ruhaniah yang bersifat periodik yang salah satu hikmah terbesarnya adalah untuk mendidik jiwa dan menempa fisik agar senantiasa  tunduk pada perintah sang Empunya yakni Allah SWT.

Ramadhan berlalu syawal pun menjemput, berbagai agenda perayaan untuk menyemarakkan hari raya idul fitri digelar, mulai dari agenda mengunjungi sanak famili, kerabat dan para sahabat untuk meremajakan jalinan silaturrahim serta saling maaf-memaafkan atas kesalahan dan dosa-dosa yang pernah diperbuat.

Tradisi Nusantara

Idul fitri yang oleh masyarakat Indonesia juga menyebutnya sebagai lebaran, merupakan sebuah momentum suci dimana manusia kembali kepada fitrah (asal kejadian) yang berarti kembali kepada kesucian, sebagaimana doa yang senantiasa dipanjatkan pada hari raya umat islam tersebut, taqabbalallahu minna wa minkum, shiamana wa shiamakum (Semoga Allah menerima ibadah kami dan ibadah kalian, serta  puasa kami dan puasa kalian) dan  minal aidzin wal faidzin (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali suci dan memperoleh kemenangan) yang oleh sebagian orang mengartikannya dengan mohon maaf lahir dan batin, hal ini karena Idul fitri oleh masyarakat Indonesia identik dengan moment saling maaf-memaafkan, namun hal itu menjadi  wajar mengingat akses pengetahuan tentang berbagai istilah-istilah keislaman sangat terbatas, sehingga masyarakat hanya menafsirkan secara menduga-duga, apa lagi didukung oleh suasana berlebaran masyarakat yang telah mentradisi.

Pasca idul fitri masyarakat Indonesia akan akrab dengan term halal bi halal, ketika hendak merujuk ke berbagai sumber kesejarahan Islam,  halal bi halal walaupun diambil dari kata bahasa Arab namun secara umum istilah tersebut tidak populer bahkan kurang dikenal dikalangan masyarakat Arab sendiri, lagi pula tradisi ini sama sekali tidak ditemukan baik pada masa Rasulullah maupun masa setelahnya, meskipun tradisi silaturrahim dengan saling kunjung-mengunjungi pasca idul fitri juga dilakukan oleh seluruh masyarakat islam di berbagai negara, namun acara tahunan ini memang menjadi salah satu tradisi keislaman asli dari Indonesia, sebagian pendapat mengatakan bahwa tradisi halal bi halal merupakan akulturasi dari ajaran islam dengan budaya jawa. Kapan dan dimana kegiatan ini pertama kali diselenggarakan tak ada yang tahu pasti, namun beberapa sumber mengatakan yang pertama kali mengadakan halal bi halal adalah KGPAA Mangkunegara I dari Keraton Surakarta (lahir 8 April 1725) atau lebih dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, dengan tujuan untuk mengefisienkan waktu dan tenaga serta menghemat biaya dari pada harus melakukan kunjungan silaturrahim ke berbagai tempat dengan menguras waktu, tenaga dan biaya maka setelah shalat Idul Fitri diadakalah semacam pertemuan antara raja dengan berbagai unsur pejabat dan prajurit kerajaan serta handai taulan. Maka secara tertib para punggawa dan prajurit kerajaan melakukan sungkem kepada Pangeran dan permaisuri. 

Dalam perkembangannya acara ini pun menjadi tradisi yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat jawa namun juga oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dari berbagai kalangan masyarakat hingga menjadi agenda rutin tahunan di instansi-instansi pemerintahan, bahkan juga diselenggarakan oleh masyarakat negeri jiran Malaisya yang merupakan saudara serumpun.

Dimensi Sosial

Secara leksikal halal bi halal berarti boleh dengan boleh, namun karena kata  halal sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia maka bolehlah kita mengartikannya halal dengan halal, menurut AG.H Sanusi Baco Lc : Halal bi halal berarti bertemunya dua Insan dalam keadaan saling merelakan untuk saling memaafkan terhadap berbagai kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat satu sama lain baik lahir maupun batin, jadi bukan termasuk halal bi halal ketika ada di antara kaum muslim/muslimah yang secara lisan mengaku telah maaf–memaafkan namun di hatinya masih terdapat karang benci atau kedengkian yang mengganjal, namun malah yang terjadi adalah halal bi haram bahkan lebih parah adalah haram bi haram, karena tidak adanya totalitas untuk secara ikhlas saling memaafkan satu dengan yang lain.

Kreasi budaya sperti halal bi halal, merupakan satu kekayaan lokal yang semestinya tidak hanya sebatas acara seremonial tahunan pasca idul fitri yang kadang masih cenderung elitis, namun juga seharusnya menjadi satu media penyadaran tentang pentingnya hablu min annas (hubungan sesama manusia) baik oleh sesama masyarakat lebih-lebih pemimpin dengan masyarakatnya. Halal bi halal mengandung dimensi sosial yang sarat dengan nilai-nilai egaliter, dimana masing-masing orang berkewajiban meruntuhkan ego dirinya untuk tulus meminta maaf dan memaafkan orang lain. Spirit halal bi halal tidak hanya terbatas pada hubungan antar personal, tetapi lebih jauh sebagai sarana dan momentum berbenah bagi para pemegang dan pengawas kebijakan negeri ini untuk memperbaiki hubungan satu sama lain, dalam rangka mengurai simpul-simpul sosial-ekonomi-politik yang kusut akibat tata kelola pemerintahan yang hanya bersifat prosedural, agenda tahunan yang juga diselenggarakan di berbagai lembaga dan instansi ini, juga selayaknya menjadi ajang memperbaiki dan mencairkan hubungan antar elit partai di musim pilkada dan pilgub yang tentunya menimbulkan ketegangan dan sentimen politik antar parpol, sebagai bentuk kedewasaan berpolitik yang akan menjadi mir’ah (cermin) bagi masyarakat.

Halal bi halal memang  cenderung dikhususkan seusai idul fitri, namun nilai-nilai dan spirit yang terkandung di dalamnya tidak bersifat lokal-temporal, dan juga dapat menjadi sebuah momentum positif terjadinya transformasi sosial ditengah maraknya konflik sosial-komunal yang terjadi di masyarakat yang merupakan indikasi dari error of human relationship, meskipun masih menjadi ladang perdebatan dikalangan umat Islam namun lebih memakni halal bi halal sebagai salah satu kekayaan khazanah budaya bangsa akan menempatkannya pada proporsi yang semestinya, karena Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai sosial-kemasyarakatan tidak terbatas pada urusan kedekatan relasional dengan Sang Khalik.

Dimuat di harian Tribun-timur edisi Jumat 24 Agustus 2012
Dan harian Fajar edisi Selasa 28 agustus 2012



|
0

Manifesto PMII

Posted by Fadhlan L Nasurung on 9:13 AM in

17 april 1960 mengawali tonggak sejarah perjuangan
Gerakan mahasiswa Ahlu Sunnah wal jamaah
Biru Kuning
Kedalaman cakrawala keilmuan
Keluasan wawasan pengetahuan
Kesejukan spirit rahmat seluruh alam
Bintang Sembilan
Simbolisasi sejarah perjuangan
Sejak Rasulullah Muhammad SAW
Sang revolusionis sejati
Menegakkan Agama Allah SWT
Khulafaur rasyidin
Representasi para sahabat Nabi
Melanjutkan perjuangan Rasulullah
Hingga wali yang sembilan
Mewarisi tradisi pengetahuan para ulama
Melestarikan tradisi Islam NUsantara
Tameng Pergerakan
Mengawal setiap agenda sosial-kemasyarakatan
Menggerakkan aksi kepedulian
Menjadi sahabat kaum tertindas
Zikir, Pikir  & Amal Shaleh
Kedekatan relasional dengan sang khalik
Geliat intelektualitas organik
Aktualisasi diri dengan agenda menyebarkan kemaslahatan
Untuk Indonesia yang berkeadilan

|
0

Indonesia Kita & Kita Indonesian

Posted by Fadhlan L Nasurung on 8:01 AM in

Dari Sabang sampai Merauke berjejer pulau-pulau, sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia ...

Yah itulah sebuah lirik lagu yang sedikit bisa menggambarkan indonesia secara demografi-territori, sebuah determinasi ruang yang selama beberapa dekade ini menjadi dalil atas exist claim negara-bangsa yag bernama Indonesia. Adalah James richardson logan yang disebut-sebut pertama kali memperkenalkan nama Indonesia untuk menggambarkan sebuah kawasan yang berada disemenanjung samudera hindia di wilayah timur bumi yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Secara harfiah Indonesia yang berasal dari bahasa latin berarti kepualuan hindia (Indo-Nesos), ada pula yang memberikan pemaknaan sebagai wilayah kepulauan yang terletak di samudera Hindia.

Indonesia yang menganut konsepsi nation-state (negara-bangsa), merupakan imagined community, yang awalnya lahir dari imajinasi sekelompok imaginer untuk membentuk sebuah institusi sosial dalam bentuk negara-bangsa karena melihat adanya common sense senasib sepenanggungan akibat derita penjajahan yang dirasakan oleh masyarakat, hal itulah yang kemudian melahirkan ide persatuan dan gagasan berbangsa yang kemudian bernama Indonesia. 

Dari aspek kesejarahan tidak ada satu catatan pun dalam tradisi kesusastraan klasik yang menyebut nama Indonesia, karena nama tersebut baru diperkenalkan pada tahun 1850 dan populer ketika terjadi peristiwa sumpah pemuda 1928, sehingga untuk mengikat rasa nasionalisme dipakailah nama Indonesia sebagai identitas kebangsaan dalam upaya membangkitkan semangat resistensi terhadap penjajahan yang kala itu mulai memberikan akses pendidikan bagi kalangan pribumi melalui kebijakan yang dikenal dengan politik etis, meski buah dari kebijakan tersebut hanya bisa dinikmati oleh kalangan priyayi (bangsawan) dan mereka yang mengabdi pada pemerintah Hindia-Belanda, namun hal tersebut tidak melumpuhkan geliat intelektual para pemuda utamanya dari kalangan pesantren (santri). Maka momentum tersebut tidak disia-siakan dan digunakan untuk menyebarkan paham nasionalisme kepada generasi muda yang dikemudian hari menjadi para pejuang dan proklamator kemerdekaan, salah satu tokoh yang paling berpengaruh pada saat itu adalah Umar Said Cokroaminoto yang juga sebagai salah satu guru para pendiri bangsa.

Gajah Mada seorang mahapati Majapahit dalam sumpah Palapanya yang monumental justru menyebut nama Nusantara sebagai konsepsi perekat wilayah-wilayah kekuasaan feodal majapahit yang merupakan cikal-bakal wilayah geografis Indonesia, dari sisi relevansinya Nusantara (Jawa kuno : Rangkaian pulau-pulau) mungkin lebih cocok digunakan sebagai nama pemersatu dari lokalitas-lokalitas yang terpisah secara territori, mulai dari sabang di ujung barat-utara, Pulau rote di ujung selatan, dan Merauke di ujung timur, baik dari sisi historis maupun estetis. Namun sejarah pula yang telah memberikan warisan identitas yang tentunya tidak serta merta hadir, namun melalui proses elaborasi yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan, maka banggalah dengan nama Indonesia.

Lost of Identity

Identitas bangsa Indonesia adalah sebuah entitas yang sarat dengan nilai etis-normatif yang luhur, dengan nalar kultural oriental yang memiliki mentalitas lautan yang kuat dan tangguh, sebagai negara archipelago bangsa Indonesia memiliki akar komunalitas dan kolektifitas yang kuat, jauh dari paham individualisme dan egoisme, mentalitas ini telah melalui siklus perubahan tatanan sosial yang panjang dari komunal primitif, masyarakat feodal, masyarakat agraria hingga memasuki zaman modern yang tribal. Kondisi itu berubah ketika Industrialisasi yang mulai dicanangkan negara-negara barat pada awal abad renaissance, ternyata tidak memberikan dampak yang positif bagi negara-negara yang kaya sumber daya alam, sejak saat itu gerakan ekspansi negara-negara barat untuk memenuhi kebutuhan mesin industrinya berjalan secara liar tanpa mengenal batas demarkasi. Tak ketinggalan Indonesia yang juga kedatangan tamu belanda yang dipimpin Cornelis de houtman untuk pertama kali pada tahun 1596 dalam agenda perburuan rempah-rempah. Jatuh hati dengan kekayaan bumi nusantara mendorong negara kincir angin tersebut melakukan ekspansi ekonomi dengan niat melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas yang paling dibutuhkan masyarakat Eropa. Ternyata hal tersebut merupakan embrio penjajahan yang menjadi andil atas rusaknya tatanan kesejarahan bangsa indonesia akibat kerugian dalam dimensi ruang dan waktu yang dampaknya masih terasa hingga kini.

Salah satu dampak yang paling signifikan dari ekses penjajahan adalah terjadinya kekaburan dalam mendefinisikan identitas diri bangsa karena hilangnya sumber-sumber kesejarahan, serta terputusnya warisan mentalitas dari generasi sebelum masa penjajahan. Bahkan setelah kemerdekaan usaha untuk mengembalikan jati diri bangsa menjadi salah arah ketika sebuah imperium kekuasaan bernama orde baru berkuasa, pencarian identitas tersebut tidak saja mengalami kebuntuan, bahkan tela mengalami distorsi yang sangat jauh, yang akibatnya bukan hanya amnesia pada identitas diri bangsa, tetapi telah melahirkan mentalitas dekaden dalam struktur sosial masyarakat. 

Sebenarnya identitas bangsa ini tetap hidup dalam sebuah dimensi kehidupan masyarakatnya, hanya saja ia menjadi hilang bukan karena benar-benar telah hilang melainkan kita yang telah kehilangan pengetahuan tentang identitas tersebut, salah satunya adalah tercermin dari perilaku sebagian generasi muda bangsa ini yang tengah dilanda candu modernitas ala barat, Yang akhirnya mereposisi identitas kultural dan kebangsaan mereka sendiri akibat lost of identity.

Pesan Optimisme Untuk Bangsa

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya bukan hanya dari segi natural resources tetapi juga memiliki social power sebagai bangsa yang dikaruniai lebih dari 17.000 pulau, 600 lebih suku bangsa yang didalamnya terdapat 300 lebih bahasa, semua itu merupakan modal bagi national building yang harus senantiasa dijaga dari bahaya konflik sosial dan konflik komunal hingga gerakan separatis demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sukarno dalam biografi politiknya senantiasa mendorong masyarakat indonesia untuk selalu bangga terhadap bangsa dan negaranya, istilah inlander yang pada masa kolonial digunakan para penjajah untuk menghina dan merendahkan masyarakat pribumi yang mereka anggap terbelakang, dikubur dalam-dalam oleh sang founding father negara Indonesia tersebut, untuk membangkitkan mentalitas dan rasa nasionalisme dan menolak segala bentuk penjajahan model baru yang berusaha dilancarkan oleh negara-negara barat.

Oleh karena itu mentalitas primitif seperti perilaku kekerasan, korupsi dan sikap materialistik bukanlah merupakan mentalitas bangsa, melainkan warisan hitam penjajahan yang pernah tersemai kurang lebih tiga setengah abad lamanya, dan diduga juga akibat rezim kotor nan otoriter zaman orde baru yang berkuasa selama 32 tahun yang banyak meninggalkan catatan kusam dengan segudang pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

Tentunya kita tidak ingin larut dalam romantika sejarah masa lalu yang kelam, sudah 67 tahun bangsa ini merdeka, euforia proklamasi yang setiap tahunnya kita rayakan semoga memberikan spirit perubahan untuk masa depan bangsa yang oleh Stephen Oppenheimer dalam bukunya yang terkenal menyebut eden in the east (surga di timur) sebagai Indonesia, serta masih banyak lagi karya berupa tulisan dan catatan-catatan para cendekiawan dunia ini yang dengan bangganya menceritakan kebesaran Indonesia dengan hasil penelitiannya, maka sejatinya kita menjadi lebih bangga karena dilahirkan di bumi pertiwi ini.

Sejenak kita bisa menengok kembali fakta sejarah kebesaran bangsa ini melalui banyak karya  literasi kuno, klasik hingga karya ilmiah modern, mulai dari epos kuno terbesar dan terpanjang di dunia lagaligo, cerita kebesaran sriwijaya dan majapahit yang mampu menjadi mercusuar peradaban dunia timur pada masanya, menjadi kerajaan yang disegani oleh kawan maupun lawan di darat dan di laut, hingga dapat menguasai kawasan hingga keseberang lautan nan jauh, serta beberapa karya monumental modern yang dengan jujur terbuka menceritakan fakta peradaban bangsa ini,  Kisah kebesaran bangsa ini adalah warisan sejarah yang tidak mungkin dapat dimanipulasi, ada banyak fakta historis yang akan menjadi saksi kebenarannya. 

Maka kita tak lagi perlu mendefinisikan bangsa ini dari sejarah oksidental, karena secara historis-kultural bangsa ini telah besar sebelum negara-negara kontinental menemukan masa keemasan peradabannya, karena negara-bangsa ini adalah karunia Tuhan yang memang didesain untuk menjadi surga dunia. 

Perpustakaan makam Bung Karno, Blitar-Jatim

Catatan kecil sebagai persembahan Proklamasi RI ke-67 . . .


|

Copyright © 2009 Manusia Cipta All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.